Kisah Eyang Maolani di Pengasingan Sebab Ditakuti Belanda
Eyang Maolani diasingkan Belanda karena pengaruhnya yang kuat.
Pengaruh Kiai Hasan Maolani atau Eyang Maolani di awal abad ke-19 begitu kuat di Kuningan, Jawa Barat. Dakwah ulama kharismatik yang lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi, Kuningan pada 8 Jumadil Akhir 1196 H atau 21 Mei 1782 M serta dikenal sebagai guru besar Tarekat Syattariyah pada masa itu, bahkan menjadi kekhawatiran tersendiri bagi pihak-pihak tertentu yang memegang posisi di Pemerintahan Kolonial Belanda.
Eyang Maolani pun difitnah telah menyebarkan aliran sesat kepada masyarakat. Selain itu, dia dituduh telah menghasut rakyat supaya memberontak kepada Belanda.
“Menerima laporan seperti itu pihak kompeni langsung tanggap, apalagi mereka baru saja istirahat setelah menghadapi peperangan besar melawan pasukan Diponegoro. Mereka masih trauma dengan kejadian itu,” sebagaimana dikutip dari Mengenang Sang Kyai Sedjati yang ditulis oleh Abu Abdullah Hadziq.
Akhirnya Eyang Maolani pun ditangkap Belanda pada 17 Shafar 1258 H atau 29 Maret 1842 M. Dia dibawa dan ditahan di Cirebon selama tiga bulan. Saat Eyang Maolani ditahan, banyak orang-orang yang menjenguknya.
Saban harinya orang-orang yang ingin menjenguk Eyang Maolani semakin banyak. Hal itu membuat Belanda risih. Pada akhirnya, Belanda memindahkan Eyang Maolani ke Batavia. Meski begitu, setiap harinya orang-orang dari berbagai penjuru daerah masih tetap sering berdatangan ke tahanan Eyang Hasan Maolani di Batavia. Sehingga Belanda pun membawa Eyang Maolani ke Ternate, Maluku Utara dan ke Kaima.
Sekitar 100 hari Eyang Maolani tinggal di Kaima. Setelah di Kaima, Belanda pun mengasingkan Maolani ke Kampung Jawa Tondano. Dia dikumpulkan bersama sejumlah tahanan yang merupakan sisa-sisa pasukan Diponegoro.
Sementara itu keluarga Eyang Maolani yang kesulitan mencari informasi dan keberadaannya akhirnya memperoleh kabar baik. Sebelas tahun setelah ditangkapnya Eyang Maolani Belanda, pihak keluarga memperoleh surat dari Manado (30 kilometer dari Tondano yang berada di Selatan Manado).
Isi surat itu mengabarkan kondisi Eyang Maolani yang masih hidup dan dalam keadaan sehat. Dalam surat itu, juga memberitahukan tentang segala yang menimpa Eyang Maolani setelah ditangkap Belanda.
Surat itu pun membuka komunikasi keluarga dengan Eyang Maulani. Kedua pihak kemudian intens berkirim surat. Di antaranya seperti surat dari Keluarga Eyang Maolani yang berisi permintaan doa dan permohonan maaf karena tak mampu membebaskan Eyang Maolani serta berbagai hal penting menyangkut keluarga. Sementara surat-surat yang dikirim Eyang Hasan lebih banyak berisi nasihat-nasihat terutama prihal agama.
“Surat-surat dari Manado dianggap sangat berharga, maka pihak keluarga berinisiatif untuk mengarsipkannya dan masing-masing keluarga membuat salinannya. Surat-surat dari Manado itulah yang kemudian disebut Surat Amanat,” tulis Abu Abdullah Hadziq.
Aktivitas surat menyurat antara Eyang Hasan dan keluarganya itu pun hanya berlangusng satu tahun mulai yakni pada 1853-1854. Setelah itu tak ada lagi surat yang dikirim langsung oleh Hasan Maolani. Adapun surat terakhir yang datang dari Manado pada 4 Mei 1874 berisi kabar wafatnya Eyang Hasan Maolani.
Surat tersebut ditandatangani tiga orang di kampung Jawa, Kecamatan Tondano Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Yakni Wangsa Taruna, Tuan Pangeran Suryaningrat dan Kepala Kampung Hasan Ghazali.
Hasan Molani wafat dalam pengasingannya oleh Belanda. Dia wafat pada 12 Rabiul Awwal 1291 H atau 30 April 1874 M. Hasan Maolani dimakamkan di Gunung Patar Kempal, Kampung Jawa Kecamatan Tondano Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.
Saat ini lokasi pemakanan menjadi Taman Makam Pahlawan Jaton. Makam Eyang Hasan Maolani terletak bersebelahan dengan makam Kiai Mojo seorang Pahlawan Nasional mantan Panglima perang Diponegoro. Andrian Saputra
No comments:
Post a Comment