Murtad Tanpa Abu Bakar
"Tujuan agama dituruhkan adalah menjaga agama (hifzh ad-dīn): tidak boleh agama dipermainkan, pemeluknya tak boleh dipaksa memeluk agama lain."
Net/Ist
Qosim Nursheha Dzulhadi
SEORANG penulis liberal, Mun’im A Sirry (ditulis MS) menulis satu artikel dengan tajuk “Tak Ada Dalil Hukum Pindah Agama”. Poin aneh dan menyimpang dari artikel MS adalah: tidak hukuman (duniawi) bagi kasus pindah agama. Dalil-dalil dalam buku fikih klasik pun, menurutnya, tidak berdasar.
Anehnya, MS masih menyatakan bahwa mazhab-mazhab fikih bersepakat bahwa orang yang meninggalkan Islam (apostasy) hukumannya berat. Artinya, konsekuensi hukumnya ada. Bahkan, sejatinya, ulama sepakat (ijmā‘) bahwa yang murtad harus dihukum berat. Bahkan mayoritas ulama menyatakan ‘bunuh’ (qatl). Sampai di sini, pandangan MS menyimpang jauh dari pandangan ulama.
Jika tak ada hukuman duniawi pun, MS tetap salah. Agaknya, MS kudu membaca sejarah perang melawan kaum yang murtad (ahl ar-riddah) yang dilancarkan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq dan disetujui oleh para Sahabat radhiyallāhu ‘anhum, utamanya Sayyidina ‘Umar ibn al-Khatthāb. (Lihat, Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhāwī, Jarīmat ar-Riddah wa ‘Uqūbah al-Murtadd fī Dhau’ al-Qur’ān wa as-Sunnah (Kairo: Maktabah Wahbah, 1416 H/1996 M), 45-46.
Jika pun MS menegaskan hanya ada hukuman ukhrawi tidak menjadikan murtad kemudian dibolehkan dalam Islam. Ini jelas kerancuan dalam berpikir. Apalagi sampai mengkritik aplikasi hadits man baddala dīnahu faqtulūhu (siapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah!) (HR. Al-Bukhārī), sampai bebas dari agama apa saja harus dihukum bunuh. Ini jelas makin kacau. Padahal ini konteks untuk umat Islam yang keluar dari Islam, bukan berkaitan dengan agama lain.
Anehnya, MS seolah membuat hukum baru ketika menyatakan, “Maka hadits tersebut perlu dipahami dalam batasan tertentu. Misalnya, bukan hanya mengganti agama, tapi juga melakukan aktivitas memerangi komunitas agama sebelumnya”. Padahal, ini adalah teks hadits panjang, dari Ibn Mas‘ūd yang diriwayatkan al-Jamā‘ah dimana tiga penyebab seorang Muslim dapat dibunuh: membunuh orang lain, orangtua yang berzina, dan yang meninggalkan agamanya dan merusak komunitas. Bunyi lafad hadītsnya, ...at-tāriku li dīnihi, al-mufāriqu li’l-jamā‘ah. Tapi, penulis senang, karena MS berarti mengakui ada hukum duniawi untuk orang yang murtad dari Islam.
Melanggar Maqāhid as-Syarī‘ah
Sejatinya, umat Islam hari ini tengah menghadapi serangan pemurtadan alias kristenisasi. Gerakan ini nyata, riil, bukan isapan jempol belaka. Apalagi, tokoh Kristen, Dr. Sijabat sejak lama sudah menegaskan bahwa objek yang hendak dikristenkan itu tidak lain memanglah umat Islam Indonesia sendiri. (Lihat, Buya Hamka, Umat Islam Menghadapi Kristenisasi dan Sekularisasi (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), 1
Nah, ketika kondisi riil di atas disinyalir tidak bermasalah justru bermasalah. Apalagi memurtadkan orang yang telah beragama jelas melanggar aturan hubungan harmonis antar umat beragama. Justru teori HAM yang disampaikan oleh MS bermasalah. Dimana menurutnya, “…karena beragama atau tidak adalah urusan pribadi, dan tidak boleh dipaksakan dari luar.” Ini jelas murni pengaruh pemikiran HAM Barat. Dalam konteks Indonesia saja ini salah, karena menyalahi Sila Pertama dari Pancasila.
Dari sisi Islam makin salah. Karena tujuan agama dituruhkan adalah menjaga agama (hifzh ad-dīn): tidak boleh agama dipermainkan, pemeluknya tak boleh dipaksa memeluk agama lain. Konon lagi memaksa orang lain masuk ke dalam Islam. Ini jelas dilarang Allah. (QS 2: 256).
Dalam maqāshid as-syarī‘ah, makna dari menjaga agama adalah: menjaga setiap individu Muslim agar agamanya tak dirusak oleh unsur yang merusak aqidahnya dan amalnya, sehingga merusak agama. Secara keseluruhan, menjaga agama umat Islam dengan cara menolak segala unsur yang membatalkan fondasi agama itu sendiri. (Lihat, Syekh Muhammad at-Thāhir ibn ‘Āsyūr, Maqāshid as-Syarī‘ah al-Islāmiyyah (Kairo: Dār as-Salām, 1435 H/2014 M), 89
Menyepelekan hukum murtad dalam Islam jelas merusak konsepsi maqāshid as-syarī‘ah. Apalagi dalam masyarakat Muslim, seperti Indonesia. Dimana salah satu bahaya yang mengancam umat Islam adalah kristenisasi atau pemurtadan.
Maka, jika MS menyebutkan sekian banyak ayat Al-Quran, secara eksplisit mendukung kebebasan beragama (misal: QS 2: 256, 6: 104, 88: 21; 109) dan banyak ayat yang menurutnya mendorong pluralitas agama (misal: QS 2: 62, 5: 69, 5: 48; 49: 13) justru dia makin keliru. Karena ayat-ayat ini semua tidak menyatakan bahwa murtad itu boleh. Tetap, dalam QS 2: 217 Allah mengatakan bahwa musuh-musuh Islam tetap ‘memerangi’ umat Islam. Tujuannya hanya satu: memurtadkan umat Islam. Dan ayat ini tak mungkin ditafsirkan lain. Jadi, jika MS mempersilakan Salmafina dan Deddy Corbuzier untuk menyelami keyakinannya secara bebas dan tenang. Tidak perlu heboh! Jelas ini penyesatan. Dalam Islam, Salmafina harus didakwahi dan dinasihati bahwa agama di luar Islam agama apapun adalah batil, salah. Yang benar hanya Islam. Maka rugi dunia akhirat jika keluar dari Islam (QS 3: 19, 85). Bagi Deddy, kita ucapkan selamat kembali ke fitrah: Anda sudah kembali ke pangkuan Islam. Dada Anda sudah dilapangkan Allah untuk menerima Islam (Qs. 6: 125) dan Anda berada di atas cahaya Allah (QS 39: 22). Bagi Salmafina, kembalilah ke Islam, ke fitrah. Agar dada dan hati Anda tidak sempit, seperti orang naik ke langit dan sampai ke ruang hampa udara: susah nafas, sesak, karena isinya adalah kesesatan (QS 6: 125). Dan keluar dari Islam posisinya adalah ‘kāfir’: amal saleh pun rusak di dunia dan di akhirat. Kemudian masuk neraka dan kekal di dalamnya (QS 2: 217).
Terakhir, penting dicatat bahwa Islam memang tidak memaksa siapapun untuk masuk ke dalamnya. Tidak pula keluar darinya dan pindah ke agama lain. Karena iman yang benar didasarkan pada pilihan tulus dan ketenangan plus kepuasan batin (QS 10: 99; 2: 256). Namun, Islam pun tak menghendaki jika agama dijadikan “mainan”: pagi masuk, sore keluar, hari ini masuk besok keluar. Karena aqidah umat Islam bukan kayak Yahudi: beriman pagi sore kufur (QS 3: 72).
Dan, jika model umat Islam menanggapi problem kemurtadan banyak yang seperti MS ini, maka aqidah Islam semakin butuh kepada pemimpin seperti Abu Bakar. Yang tegas bela aqidah Islam, perangi pemurtadan. Bukan munafiq seperti kaum toleran kepada pemurtadan dan orang murtad. Benarlah apa yang dikatakan oleh Sayyid Abū al-Hasan ‘Alī an-Nadwi, “ Kita berada di zaman kemurtadan yang tanpa Abu Bakar.” Semoga Allah hadirkan generasi yang kuat aqidahnya, kokoh imannya, tegas perangi kemurtadan dan toleran kepada orang lain.*
No comments:
Post a Comment