Ya Allah, Hidupkan Kembali Ibuku…
Tak ada penyesalan yang hadir di depan. Ia sebagai sunnatullah, selalu hadir belakangan, ketika nasi telah menjadi bubur. Sayangnya, meski disadari demikian adanya, banyak diantara kita yang lalai. Sehingga penyesalan serupa terus terjadi dan berpindah dari satu orang kepada orang lainnya.
Penyesalan biasa hinggap pada mereka yang tak tahu atau sok tahu. Jika tak tahu, mungkin bisa ditolerir. Meskipun amat perlu diketahui apa penyebab ketidaktahuannya. Jika sok tahu, inilah sosok yang perlu kita kasihani kemudian mendoakannya. Pasalnya, jika akut, sok tahu bisa berubah menjadi sombong; merasa pandai dan enggan menerima nasihat dari orang lain.
Anak itu khusyuk dalam munajatnya di suatu siang. Riak mukanya serius, dahinya berkerut, tatapan matanya menerawang, matanya alirkan bulir suci dalam tangis syahdu nan terdengar pilu. Sesalnya terbaca ketika kedua tangannya tak kunjung turun. Lama ia berdoa.
Berselang jenak, masuklah sesosok dewasa ke rumah Allah itu. Menyaksikan ‘keanehan’ pemandangan itu, ia terhenyak. Benaknya penuh dalam tanya. Gerangan apakah yang membuat anak kecil itu berlaku serupa itu. Padahal, usianya terbilang amat belia. Ia yang lebih lama hidup tapi tak pernah sekhusyuk itu dalam panjatkan pinta, dibuat bertanya-tanya entah.
Maka ditungguilah hingga sang anak usai dalam munajat panjangnya. Seusainya, dengan malu dan hati-hati, mendekatlah lelaki dewasa itu. Hendak menyapa, kemudian bertanya untuk obati keingintahuannya.
Lepas mengatur tempat duduk, ketika jarak keduanya tak terlampau jauh, ia membuka kata, “Dik, apa yang kaupinta sedari tadi? Hingga air matamu tumpah, hampir habis?”
Ia yang kecil fisiknya itu, ternyata memiliki sensitifitas nan menjulang. Dijawablah tanya itu, tanpa sedikit pun canggung, “Aku menyesal, Bang.” Seperti siapkan jawab, lelaki dewasa itu langsung mencegat dengan tanya selanjutnya, “Mengapa? Memang, apa dosamu?”
Tumpahlah lagi bulir bening dari mata nan cerah itu. Hingga keduanya terhenti dari tanya-jawab itu. Sekeliling seakan sepakat. Berhenti. Putaran waktu semakin tak terasa lantaran hening antara kedua insan itu.
“Tadi,” mulai si kecil mengisahkan, “aku memohon kepada Allah agar Dia hidupkan lagi ibuku.” Alis lelaki dewasa terangkat dengan sedikit kerutan dahi. Ia menodong, “Ah, mustahil itu terjadi. Memang kenapa kau meminta hal mustahil itu?” Si kecil melanjutkan, “Aku anak yang nakal, Bang. Aku durhaka. Tak pernah mendengar perintah ibu,” ungkapnya terbuka, apa adanya. “Kini, sesalku memuncak. Ibuku telah dipanggil Allah. Aku ditinggalnya sebatang kara,” pungkas anak itu.
Berniat empati, lelaki dewasa itu tak ucap sepatah kata pun. Didekaplah sang anak, bagai adiknya sendiri. Keduanya larut dalam perenungan dan pikiran masing-masing.
Duhai diri, mengertilah. Begitulah sesal mendatangi. Selalu di akhir. Mustahil ia datang di muka. Maka, perbaiki dirilah sebelum semuanya berakhir. Perbaiki diri, agar sesalmu tak terbit kemudian. Sebagaimana dialami anak itu, sebesar apa pun sesalnya, sederas apa jua tangisnya, sekeras dan setulus pintanya, sang ibu yang telah wafat, amatlah mustahil untuk kembali. [Pirman/
No comments:
Post a Comment