Tariq bin Ziyad (1) Mengukir Karang dengan Namanya
Mendung hitam menggelayut di atas bumi Spanyol. Eropa sedang dikangkangi oleh penjajah, Raja Gotik yang kejam. Wanita merasa terancam kesuciannya, petani dikenakan pajak tanah yang tinggi, dan banyak lagi penindasan yang tak berperikemanausiaan.
Raja dan anteknya bersukaria dalam kemewahan sedang rakyat merintih dalam kesengsaraan. Sebagian besar penduduk yang beragama Kristen dan Yahudi, mengungsi ke Afrika, berharap mendapat ketenangan yang lebih menjanjikan. Dan saat itu Afrika, adalah sebuah daerah yang makmur dan mempunyai toleransi yang tinggi karena berada di bawah naungan pemerintahan Islam.
Satu dari jutaan pengungsi itu adalah Julian, Gubernur Ceuta yang putrinya Florinda telah dinodai Roderick, raja bangsa Gotik. Mereka memohon pada Musa bin Nusair, raja muda Islam di Afrika untuk memerdekakan negeri mereka dari penindasan raja yang lalim itu.
Setelah mendapat persetujuan Khalifah, Musa melakukan pengintaian ke pantai selatan Spanyol. Bulan Mei tahun 711 Masehi, Tariq bin Ziyad, budak Barbar yang juga mantan pembantu Musa bin Nusair memimpin 12.000 anggota pasukan muslim menyeberangi selat antara Afrika dan daratan Eropa.
Begitu kapal-kapal yang berisi pasukannya mendarat di Eropa, Tariq mengumpulkan mereka di atas sebuah bukit karang, yang dinamai Jabal Tariq (karang Tariq) yang sekarang terkenal dengan nama Jabraltar. Di atas bukit karang itu Thariq memerintahkan pembakaran kapal-kapal yang telah menyeberangkan mereka.
Tentu saja perintah ini membuat prajuritnya keheranan. “Kenapa Anda lakukan ini?” tanya mereka. “Bagaimana kita kembali nanti?” tanya yang lain.
Namun Tariq tetap pada pendiriannya. Dengan gagah berani ia berseru, “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya pilihan, menaklukkan negeri ini dan menetap di sini, atau kita semua syahid.”
Keberanian dan perkataannya yang luar biasa menggugah Iqbal, untuk menggubahnya dalam sebuah syair berjudul “Piyam-i Mashriq”:
“Tatkala Tariq membakar kapal-kapalnya di pantai Andalusia (Spanyol), Prajurit-prajurit mengatakan, tindakannya tidak bijaksana. Bagaimana bisa mereka kembali ke negeri Asal, dan perusakan peralatan adalah bertentangan dengan hukum Islam. Mendengar itu semua, Tariq menghunus pedangnya, dan menyatakan bahwa setiap negeri kepunyaan Allah adalah kampung halaman kita.”
Kata-kata Tariq itu bagaikan cambuk yang melecut semangat prajurit muslim yang dipimpinnya. Bala tentara muslim yang berjumlah 12.000 orang maju melawan tentara Gotik yang berkekuatan 100.000 tentara. Pasukan Kristen jauh lebih unggul baik dalam jumlah maupun persenjataan. Namun semua itu tak mengecutkan hati pasukan muslim. Bersambung… (her)
No comments:
Post a Comment