Air Mata Rindu Muhammad SAW atas Kampung Halaman Makkah
Makkah memiliki arti penting bagi Rasulullah SAW. Kota tersebut merupakan tanah kelahiran dan tempat beliau dibesarkan. Ketika Rasulullah hijrah ke Madinah, rasa rindu terhadap kampung halamannya di Makkah itu pun kerap tersirat.
Dalam buku "Muhammad Sang Teladan" karya Abdurrohman as-Syarqawi dijelaskan, ketika rasa rindu terhadap Makkah berkecamuk dalam dadanya, Rasulullah menatapi dalam-dalam kedua cucunya yakni Hasan dan Husein.
Ketika kedua anak kecil itu baru pertama kali mampu melangkahkan kakinya, keduanya melangkah dan menaiki pundak Rasulullah SAW.
Sebagai ibunda dari kedua anak kecil itu, Fatimah mendekati mereka untuk mencegah keduanya menaiki pundak Rasulullah SAW.
Namun yang terjadi, Rasulullah justru memerintahkan Fatimah untuk membiarkan Hasan dan Husein menaiki pundaknya. Beliau juga memerintahkan Fatimah untuk tidak menggertak kedua cucunya.
Mendapati perintah itu, Fatimah pun menuruti perintah ayahnya. Dari sanalah kemudian Fatimah memperhatikan adanya gurat-gurat kesedihan dari raut wajah kekasih Allah tersebut. Kemudian Fatimah menanyakan kepada ayahnya mengenai sebab apa yang membuatnya tampak berduka.
Padahal Rasulullah telah berhasil memenangkan pertempuran dari musuh-musuh Islam, telah menumpas Bani Quraizhah yang merupakan kemenangan paling gemilang, lalu apa sebab? Fatimah pun kemudian melihat linangan air mata dari kedua mata Rasulullah mengucur.
Sebab melihat itu, Fathimah pun hendak meninggalkan ayahnya dan mengisyaratkan suaminya, Ali bin Abi Thalib, juga meninggalkan Rasulullah SAW seorang diri.
Fatimah mengisyaratkan kepada Ali bin Abi Thalib untuk meninggalkan Rasulullah bersama Hasan dan Husein saja.
Beberapa waktu kemudian, Rasulullah keluar dari biliknya dan menghampiri Fathimah dengan Ali. Beliau kemudian bertanya kepada keduanya: “Tidakkah kalian berdua teringat bahwa saat ini (kita) menghadapi bulan Dzulqa’dah? Bukankah musim haji telah tiba?”.
Mendengar itu, Fathimah menarik nafas panjang sementara Ali Tampak berbinar-binar tak seperti biasanya. Ali pun menjawab: “Betul, wahai saudara sepupuku. Di sana (Makkah) orang-orang berjejal menuju rumah tua yang dulu pernah dijaga kakek kita Abdul Muthalib. Dan paman kita, Abbas, masih menjalankan tugas menyediakan minuman kepada jamaah haji hingga kini,”.
Dalam kata-kata Ali selanjutnya, beliau menceritakan mengenai romansa kampung halaman yang pernah beliau dan Rasulullah lalui. Bersama keluarga, segenap masyarakat Makkah, dan wilayah Makkah nan-tandus yang di dalamnya ada sebuah pusat kesucian: Ka’bah.
Kemudian, Rasulullah SAW pun mengambil keputusan untuk melaksanakan thawaf pada tahun itu. Beliau bertekad akan memasuki Makkah pada bulan haji dengan sahabat-sahabatnya sebagaimana halnya jamaah yang lain. Lalu, Rasulullah pun menemui para sahabat dari kalangan Muhajirin untuk meminta saran akan rencana itu.
Usai menemui mereka, semuanya akhirnya sepakat untuk pulang ke Makkah dalam sekali waktu setelah menjalani perantauan di negeri baru, Madinah. Ketika kembali ke Makkah itu diceritakan bagaimana seluruhnya sangat bergelora dengan impian-impian mengenai kepulangan ke kampung halaman.
Rasulullah pun begitu. Kerinduan dalam hatinya mengenai tanah kelahiran begitu membuncah. Namun, rasa rindu itu selalu diusahakan untuk dipendam agar tidak diungkit dan menyayat hati saudaranya yang hidup dalam pengungsian juga.
Rasulullah kemudian mengumumkan akan pergi ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji dengan orang-orang Arab di sekitar Ka’bah dalam keadaan damai.
Kepada orang-orang yang ikut serta dalam rombongan haji beliau, Rasulullah SAW berpesan untuk mempersiapkan diri dan menjaga diri dari larangan haji.
Sebab, seluruh rombongan yang hendak memasuki Makkah itu bukan hadir sebagai pasukan perang yang ingin menakhlukkan Makkah.
Namun sebagai seorang jamaah yang hendak menunaikan ibadah. Maka terkumpulah 1.400 orang dengan menggiring 70 ekor hewan kurban yang berminat ikut melaksanakan haji ketika itu.
No comments:
Post a Comment