Gender dan Postmodernisme
DALAM mengawali tema ini ada baiknya kita membedakan antara dua istilah berikut: “sex” dan “gender”. Di mata publik dua kalimat ini memiliki makna yang sama yaitu ‘jenis kelamin’. Demikian juga yang terjadi dalam berbagai penelitian di berbagai bidang seperti psikologi yang kerap tak membedakan antara dua terma ini.
Namun keduanya memiliki konotasi yang berbeda secara ideologis dan filosofis. Pertama, yaitu seks, bersifat natural atau given, seperti alat seksualitas secara biologis dan watak yang mengikuti ciri biologis itu. Sementara gender berkonotasi kebiasaan atau sifat-sifat sebagai human construction dan cultural contruction. Atau gampangnya ia adalah atribut, kebiasaan, atau perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki laki (maskulin) atau perempuan (feminism).
Adapun yang pertama, segala sifat dan cirinya tidak dapat dipertukarkan, sedang pada yang kedua dapat dipertukarkan. Dan pemaknaan kedua inilah yang menjadi pembahasan dalam isu gender hingga saat ini.
Menurut aktivis gender atribut maskulin tidak harus diletakkan pada jenis kelamin laki-laki atau sebaliknya. Karena atribut tersebut tidak bersifat kodrati, melainkan terbentuk dari sosio-kultural yang sifatnya tidak tetap. Dan untuk menyadarkan pada masyarakat asumsi ini, para ‘jurkam’ gender biasanya melakukan dua agenda penting: (i) melakukan penelitian secara terus menerus terhadap genealogi pembentukan tradisi yang disebutnya sebagai budaya partiarkal, dengan tujuan meyakinkan masyarakat bahwa ketidaksetaraan gender itu benar-benar bersifat kultural. (ii) melakukan perubahan dari persepsi, pola pikir, hingga perubahan tradisi yang dianggap berkeadilan gender dengan berbagai gerakan.
Namun sebelum menjadi topik yang hangat dalam isu sosial dan keagamaan, terma gender melewati sebuah babak, dimana orang yang ingin mengkajinya harus melewati babak ini, yaitu diskurusus kefilsfatan. Dalam hal ini gender memiliki sifat dan karateristik sebagaimana kajian filsafat pada umumnya. Jika dalam gender dikatakan bahwa perempuan sebagai objek kajiannya, maka sebagai diskursus kefilsafatan, objek kajian gender adalah pola pikir manusia tentang perempuan, bukan perempuan itu sendiri.
Anasir ini, atau yang sering disebut sebagai gerakan feminisme gelombang kedua, merupakan bagian terpenting dari wacana gender. Namun kendati demikian, sebagaimana yang ditulis oleh Mohammad Muslih dalam bukunya Bangunan Wacana Gender, anasir ini jugalah yang paling tidak disadari oleh para pegiat atau para “jurkam” gender pada umumnya. Meskipun harus kita akui pada wilayah ini gender bisa dikatakan memasuki kawasan elitis yang hanya menjadi pembicaraan kaum terbatas, yakni mereka yang memiliki keterkaitan terhadap kajian kefilsafatan. (lihat Mohammad Muslih, Bangunan Wacana Gender; 8)
Secara khusus wilayah filsafat yang dijadikan sebagai basis gender adalah pemikiran postmodernisme, yang mungkin bisa dikatakan menjadi basis utama ideologinya. Tren postmo beserta ruang lingkupnya berpengaruh secara massif terhadap pisau analisis gender. Sejumlah fillsuf yang berada di bawah panji posmo pun bisa kita katakan turut memiliki pengaruh yang luar biasa terhadap wacana gender ini, layaknya Michel Foucault dengan discoursenya, Jacques Derrida dengan desconstructionnya, atau yang lainnnya.
Setidaknya ada empat tema besar pemikiran yang digaungkan oleh postmo yang kemudian ditunggangi oleh wacana gender ini. Hal itu adalah relativitas, dekonstruksi, rekonstruksi dan prulalitas. Tema dekonstruksi digunakan untuk membongkar genealogi (asal-usul), sumber dan akar-akar budaya yang katanya partriarkal. Sebab pada dasarnya teori dekonstruksi adalah alat untuk mempermainkan dan membongkar berbagai teks. Realita dan kejadian, termasuk budaya partriarkal, dianggap sebagai teks yang layak dibongkar.
Semua upaya ini umunya dilakukan untuk membuktikan kalau setiap yang bentuknya human construction itu sifatnya ‘relatif’, dan inilah teori relativitas yang menjadi karakteristik kedua postmo yang saya sebutkan. Artinya, budaya patriarki, yang merupakan doktrin pengutamaan pria atas perempuan dalam berbagai sector publik, itu bentuknya relatif, tidak sepenuhnya absolut dan bisa diterima. Dan setelah itu barulah mereka masuk pada tema bertajuk ‘rekonstruksi’ untuk menata ulang apa yang menurut mereka kurang pas.
Padahal kalau diteliti dekonstruksi atas akar-akar budaya partrialkal sebenarnya hanya alih-alih, atau dalam istilah Mohammad Muslih, ini hanyalah “sasaran antara”, karena setelah itu, mereka dengan leluasa melakukan berbagai eksperimen yang disebutnya sebagai ‘rekonstruksi’, dengan tujuan menata kembali budaya yang tidak pilih-pilih kasih, budaya yang berkeadilan gender.
Dan yang terakhir mereka memberikan setiap orang untuk menjelaskan apa itu ‘keadilan gender’ menurut tradisi mereka masing-masing. Dan inilah teori terakhir dari empat semangat postmo yang berkaitan dengan gender, yaitu pluralitas.
Maka dalam tataran ini wajar saja jika para pemuka agama merasa keberatan dan turun tangan dalam masalah gender. Sebab pondasi agama yang dibangun di atas nilai-nilai yang bersifat eksklusif dibongkar dan diacak-acak begitu saja atas nama gender yang dibangun dari konstruksi sosial. Dekonstruksi yang digunakan untuk membaca teks-teks biasa kemudian dimanfaatkan untuk pembacaan realitas yang sacral, perkara tsawabit, bahkan metafisik.
Sebagai contoh dalam aplikasi toeri dekonstruksi, sebagian sarjana muslim kontemporer yang mengaku dirinya sebagai feminis berusaha untuk membongkar ayat-ayat al-Quran yang terindikasi adanya bias gender atau tergolong dalam teks misoginis. Hal ini karena teori dekonstruksi merupakan metode pembongkaran terhadap realitas yang mengandung logika oposisi binner, yaitu dua realitas yang dipandang secara berhadap-hadapan, bertolak belakang dan memiliki kedudukan yang berbeda. Paradigma ini menjaskan asumsi adanya hak istimewa bagi yang dipandang subjek dan memandang rendah terhadap objek sebagai pihak kelas kedua atau the other.
Metode inilah yang kemudian diaplikasikan oleh tokoh feminisme Muslim terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan, teks al-Quran dan kaidah hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan perempuan. Setiap ayat yang mereka anggap terdapat ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan segera dibongkar dan ditata ulang karena berparadigma oposisi binner tersebut.
Dan ini tentu saja bertentangan dengan apa yang ada dalam Islam. Menurut Kholili Hasib dalam tulisannya bertajuk “Tafsir Postmodern Feminis Tentang Perempuan” hal ini tidak bisa diterima karena laki-laki dinilai sebagai subjek dan perempuan sebagai objek. Di mana posisi subjek menjadi pihak yang superior, memiliki otoritas dan berhak menguasai perempuan yang dalam hal ini berposisi sebagai ‘the other’. Sementara Islam sama sekali tidak mengenal hal tersebut. Ia tidak membedakan seseorang dari apa jenis kelaminnya; tidak ada keutamaan antara laki-laki dan perempuan di mata Allah. (lihat Delusi Kesetaraan Gender, Dinar Dewi dkk, hal. 121)
Pemikiran Postmo lainnya yang juga dianggap sebagai energi bagi wacana gender adalah pemikiran Habermas yang terkumpul dalam istilah critical theory (teori kritis). Menurut Muslih, selama ini ilmuwan dan masyarakat umumnya menganggap sejarah dan tradisi sebagai sesuatu yang taken for granted (sesuatu yang demikian adanya). Mereka tidak kritis dan tidak lagi mempertanyakan mana yang natural dan mana yang memang human construction dan sosial construction. Bagi Hebrmas dalam teori new-left nya, para ilmuwan tidak cukup jika hanya duduk di meja belajarnya dengan membangun teori-teori, sementara tidak peka terhadap lingkungan sekitarnya. Mereka harus keluar melakukan komunikasi, diskusi dan membangun wacana sehingga bisa menjadi emansipator bagi masyarakatnya.
Secara kesuluruhan semangat posmo telah menjadi dorongan bagi wacana gender. Semangat inilah yang kemudian dipegang dan diaplikasikan oleh sarjana-sarjana muslim di belahan dunia, termasuk Indonesia untuk menelaah gender dalam Islam. Namun ironinya hampir dari mereka semua melampaui batas sehingga mendobrak nilai-nilai yang sudah permanen dalam agama. Salah satunya seperti apa yang saya sebutkan di atas, dengan mengacak-acak teks yang terindikasi bias gender.
Mungkin untuk tulisan berikutnya saya akan beberkan contoh-contoh ancaman yang diterima Islam ketika konsep dan semangat ini dibawa dalam Islam. Semoga Allah memberikan kesempatan. Wallahu a’lam.*
Mahasiswa Tafsir Fakultas Ushuluddin al Azhar, Mesir
No comments:
Post a Comment