Kisah Dibalik Bandung Lautan Api
Kamis, 21 Maret 1946. Sebuah Dakota milik RAF (Angkatan Udara Kerajaan Inggris) melayang-layang di atas Kota Bandung. Alih-alih melemparkan bom, justru pesawat angkut tersebut menurunkan ribuan lembar kertas. Isinya: Para ekstrimis Indonesia harus mengosongkan Bandung selambat-lambatnya pada 24 Maret 1946, jam 24.00 dan mundur sejauh 11 km dari tanda kilometer nol.
Asikin Rachman sedang di wilayah Cicadas saat kertas-kertas itu berhamburan dari udara. Betapa terkejutnya pejuang dari Lasykar Hizboellah tersebut ketika membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Giginya gemeretak, darahnya mendidih. “Kami ini dianggap apa sama Inggris? Tanah, tanah kami sendiri. Negeri, negeri kami sendiri. Mengapa harus ikut perintah mereka?” ujar lelaki yang kini berusia 93 tahun itu.
Asikin tidak sendiri. Puluhan ribu pejuang Bandung yang tergabung dalam TRI (Tentara Republik Indonesia) dan lasykar-lasykar rakyat juga merasakan hal yang sama: geram terhadap ultimatum Sekutu itu. Otomatis suasana panas tersebut menjadikan Bandung laksana api dalam sekam.
Guna mencegah situasi tidak menentu, Residen Ardiwinangun selaku Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Jawa Barat hari itu juga berangkat ke Jakarta dengan didampingi oleh pemuda Mashudi. Sesampai di Jakarta mereka lantas menemui Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan meminta petunjuk lebih lanjut. Sjahrir hanya mengatakan bahwa sesungguhnya pemerintah pusat menyarankan agar para pejuang Bandung memenuhi ultimatum Sekutu.
“Tapi kalau saudara-saudara tidak setuju, terserah apa yang mau saudara-saudara lakukan. Mau membumihanguskan Bandung, ya terserah. Bumihanguskan saja!” demikian seperti dikutip Mohamad Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pesan itu lantas diteruskan oleh Ardiwinangun dan Mashudi via telepon pada 22 Maret 1946. Seiring datangnya pesan dari Jakarta tersebut, tiba pula telegram dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta kepada para pejuang Bandung. Isinya tegas: pertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah!
Sore harinya, giliran Kolonel AH Nasution, Komandan Divisi III TRI, berangkat ke Jakarta. Bukannya mempertegas sikap MBT, pemerintah pusat justru memerintahkan Nasution untuk menuruti ultimatum Sekutu. “Itu diperintahkan Perdana Menteri Sjahrir setelah permintaannya agar ada perpanjangan waktu untuk pelaksanaan pemunduran itu ditolak Komandan Tertinggi Sekutu di Jakarta,” tulis Rivai.
Sementara Nasution masih di Jakarta, Jenderal Hawthorn, Komandan Divisi India ke-23, di Bandung merangsek maju. Pada 23 Maret 1946 sekitar jam 16.00, lewat radio dia mengumumkan bahwa Bandung Selatan akan dibersihkan dari unsur-unsur bersenjata. “Kepada warga sipil, Hawthorn meminta untuk tenang dan meninggalkan rumah selama periode tersebut…” tulis John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946.
Nyatanya sebagian besar rakyat Bandung tidak mengindahkan seruan dari Hawthorn. Alih-alih bertahan, mereka berbondong-bondong meninggalkan Bandung menuju wilayah pinggiran. “Bahkan sebelum ada perintah bumi hangus, sebagian dari mereka sudah membakar lebih dahulu rumah-rumahnya sebelum pergi mengungsi,” kenang Asikin.
Pagi 24 Maret 1946, Nasution sudah kembali di Bandung. Dengan berat hati, dia menginstruksikan kepada bawahannya untuk menuruti ultimatum Sekutu seperti diminta pemerintah pusat. Instruksi itu ditolak secara keras oleh para bawahannya yang diwakili oleh Letnan Kolonel Omon Abdurrachman, Komandan Resimen Kedelapan TRI. Nasution pun berang.
“Kamu masuk TRI adalah untuk mematuhi seluruh permintaan atasan! Sebagai Komandan Divisi III, saya memerintahkan kepada kamu: tidak boleh turut dalam gerakan pembakaran dan perusakan-perusakan Kota Bandung!” bentak Nasoetion.
“Baik Kolonel, kalau kami tidak boleh melaksanakan pembakaran dan perusakan, maka sekarang juga saya meletakan jabatan sebagai Komandan Resimen Kedelapan… Saya akan melanjutkan berjuang bersama kaum “ekstrimis”!” ujarnya sambil meletakan tanda pangkatnya di depan Nasution.
Setelah memberi hormat, Omon pun bergerak menuju Markas Resimen Kedelapan. Menurut Rivai, dia selanjutnya terlibat dalam operasi bumi hangus Bandung bersama anak buahnya dan ribuan rakyat Bandung. Tepat jam 12 malam, beberapa titik api mulai terlihat di seluruh penjuru kota disusul kemudian oleh api-api berikutnya. Dan Bandung pun menjadi lautan api.(kk/historia)
Penulis: Hendi Jo
Asikin Rachman sedang di wilayah Cicadas saat kertas-kertas itu berhamburan dari udara. Betapa terkejutnya pejuang dari Lasykar Hizboellah tersebut ketika membaca tulisan yang tertera di dalamnya. Giginya gemeretak, darahnya mendidih. “Kami ini dianggap apa sama Inggris? Tanah, tanah kami sendiri. Negeri, negeri kami sendiri. Mengapa harus ikut perintah mereka?” ujar lelaki yang kini berusia 93 tahun itu.
Asikin tidak sendiri. Puluhan ribu pejuang Bandung yang tergabung dalam TRI (Tentara Republik Indonesia) dan lasykar-lasykar rakyat juga merasakan hal yang sama: geram terhadap ultimatum Sekutu itu. Otomatis suasana panas tersebut menjadikan Bandung laksana api dalam sekam.
Guna mencegah situasi tidak menentu, Residen Ardiwinangun selaku Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) Jawa Barat hari itu juga berangkat ke Jakarta dengan didampingi oleh pemuda Mashudi. Sesampai di Jakarta mereka lantas menemui Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan meminta petunjuk lebih lanjut. Sjahrir hanya mengatakan bahwa sesungguhnya pemerintah pusat menyarankan agar para pejuang Bandung memenuhi ultimatum Sekutu.
“Tapi kalau saudara-saudara tidak setuju, terserah apa yang mau saudara-saudara lakukan. Mau membumihanguskan Bandung, ya terserah. Bumihanguskan saja!” demikian seperti dikutip Mohamad Rivai dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pesan itu lantas diteruskan oleh Ardiwinangun dan Mashudi via telepon pada 22 Maret 1946. Seiring datangnya pesan dari Jakarta tersebut, tiba pula telegram dari Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta kepada para pejuang Bandung. Isinya tegas: pertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah!
Sore harinya, giliran Kolonel AH Nasution, Komandan Divisi III TRI, berangkat ke Jakarta. Bukannya mempertegas sikap MBT, pemerintah pusat justru memerintahkan Nasution untuk menuruti ultimatum Sekutu. “Itu diperintahkan Perdana Menteri Sjahrir setelah permintaannya agar ada perpanjangan waktu untuk pelaksanaan pemunduran itu ditolak Komandan Tertinggi Sekutu di Jakarta,” tulis Rivai.
Sementara Nasution masih di Jakarta, Jenderal Hawthorn, Komandan Divisi India ke-23, di Bandung merangsek maju. Pada 23 Maret 1946 sekitar jam 16.00, lewat radio dia mengumumkan bahwa Bandung Selatan akan dibersihkan dari unsur-unsur bersenjata. “Kepada warga sipil, Hawthorn meminta untuk tenang dan meninggalkan rumah selama periode tersebut…” tulis John RW Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946.
Nyatanya sebagian besar rakyat Bandung tidak mengindahkan seruan dari Hawthorn. Alih-alih bertahan, mereka berbondong-bondong meninggalkan Bandung menuju wilayah pinggiran. “Bahkan sebelum ada perintah bumi hangus, sebagian dari mereka sudah membakar lebih dahulu rumah-rumahnya sebelum pergi mengungsi,” kenang Asikin.
Pagi 24 Maret 1946, Nasution sudah kembali di Bandung. Dengan berat hati, dia menginstruksikan kepada bawahannya untuk menuruti ultimatum Sekutu seperti diminta pemerintah pusat. Instruksi itu ditolak secara keras oleh para bawahannya yang diwakili oleh Letnan Kolonel Omon Abdurrachman, Komandan Resimen Kedelapan TRI. Nasution pun berang.
“Kamu masuk TRI adalah untuk mematuhi seluruh permintaan atasan! Sebagai Komandan Divisi III, saya memerintahkan kepada kamu: tidak boleh turut dalam gerakan pembakaran dan perusakan-perusakan Kota Bandung!” bentak Nasoetion.
“Baik Kolonel, kalau kami tidak boleh melaksanakan pembakaran dan perusakan, maka sekarang juga saya meletakan jabatan sebagai Komandan Resimen Kedelapan… Saya akan melanjutkan berjuang bersama kaum “ekstrimis”!” ujarnya sambil meletakan tanda pangkatnya di depan Nasution.
Setelah memberi hormat, Omon pun bergerak menuju Markas Resimen Kedelapan. Menurut Rivai, dia selanjutnya terlibat dalam operasi bumi hangus Bandung bersama anak buahnya dan ribuan rakyat Bandung. Tepat jam 12 malam, beberapa titik api mulai terlihat di seluruh penjuru kota disusul kemudian oleh api-api berikutnya. Dan Bandung pun menjadi lautan api.(kk/historia)
Penulis: Hendi Jo
No comments:
Post a Comment