"Alquran tulisan tangan ini sedianya akan dihantarkan untuk saudara-saudara Uighur di kota Kashgar. Namun tidak tahu bagaima ceritanya, hanya sampai kota Ozgent dan tersimpan di sana selama 100 tahun. Baru pada tahun 1987 kembali ke Namangan dan disimpan di museum ini," jelas pemandu saya selama di Ubzbhekistan, Mansur Yuldashev, yang membuat saya terkesiap.
Iya, informasi ini membuat saya terkesiap. Pertama, karena mushaf Alqur'an yang sangat besar ini ditulis menggunakan tulisan tangan yang sangat indah. Tak ubahnya cetakan komputer.
Lalu, kertas yang digunakan terbuat dari sutra. Sehingga sangat halus, indah, dan kuat. Kertas ini dibawa dari China untuk dituliskan isi Alqur'an 30 juz dan nantinya setelah selesai akan dikirim lagi ke pemesannya.
Sebagai gambaran, pemesanan buku dan mushaf pada waktu itu ibarat menjahit baju sekarang. Bahan dibawa sendiri, setelah proses penyalinan selesai, akan dikirim ke pemesan.
Yang membuat saya kaget, ternyata posisi kota Kashgar, wilayah yang didiami mayoritas Muslim Uighur yang saya singgahi Januari lalu, dekat sekali dengan wilayah Namangan, Uzbekistan. Jaraknya hanya 500 km. Seperti Jakarta-Solo. Bahkan dulunya wilayah Kashgar dan sekitarnya menjadi bagian dari Kokand Khan. Kerajaan terakhir yang berada di wilayah ini.
Mushaf besar itu tersimpam di dalam museum Kompleks Masjid Sultan Uwais Al Qarani.
Nama terakhir ini pun tak asing. Ia bukan seorang sultan sebenarnya, namun untuk menyebutkan keta'ziman padanya, masyarakat setempat menyebutnya sultan.
Diriwayatkan ada seorang pemuda yang menggendong ibunya dari Yaman untuk berhaji. Ia lalu bertemu ibn Umar dan bertanya, "Apakah yang aku lakukan sudah bisa membalas kebaikan ibuku?"
Yang dijawab "Itu belum berarti apa-apa dibanding setiap tarikan napas menahan sakit yang dirasakannya saat melahirkanmu. Akan tetapi, engkau sudah berbuat baik. Allah akan memberi balasan yang banyak terhadap sedikit amal yang engkau lakukan," tegas Ibn Umar.
Ingat ya riwayat itu? "Disebutkan Uwais Al Qarani dimakamkan di 7 tempat yang berbeda. Ada yang menyebut di Yaman, Irak, dan salah satunya yang ada di sini. Tidak ada yang bisa mengonfirmasi, mana yang betul. Tapi, makam ibunya juga di desa dekat sini," jelas Imam masjid yang saya temui sore itu.
Saya paham mendengar penjelasannya. Islam di Asia Tengah yang menganut Madzhab Hanafi berciri sufistik. Banyak cerita "ajaib" yang dipercaya penduduk setempat. Tak hanya di sini, saya juga mendengar cerita-cerita semacam itu saat ke Turki. Tak perlu diperdebatkan.
Imam masjid ini masih sangat muda. Usianya awal 30-an. Ia mendapat pendidikan agama selama 4 tahun di sebuah madrasah. Di madrasah seperti itulah para calon imam dipersiapkan.
Ada cerita pilu pada masa penjajahan komunis Soviet. Semua masjid dan madrasah ditutup dan dialihfungsikan. Ada yang menjadi rumah biliyar seperti Masjid Bolo Hous yang sangat indah. Pedihnya lagi, mihrab tempat imam memimpin shalat digunakan sebagai bar untuk menaruh vodka.
Ada yang digunakan sebagai gudang dan kandang binatang seperti kompleks pemakaman Imam Bukhari. Ada yang digunakan sebagai gedung pertunjukan. Yang lain dihancurkan atau dibiarkan mangkrak hingga rubuh sendiri.
Mendengar cerita kekejaman komunis Soviet ini mengingatkan saya apa yang terjadi pada saudara-saudara Muslim saat ini. Pola yang digunakan mirip. Agama dan budaya yang dihancurkan. Hingga umat kehilangan pegangan.
Semua kepiluan masa pendudukan komunis Soviet bisa disaksikan di museum yang berada di dalam bangunan yang dulunya adalah Goyibnazar Qozi Medrassah yang didirikan oleh Is'hoqxon To'ra Ibrat pada 1860.
Sebuah video memutarkan bagaimana para tokoh agama dan ilmuwan ditangkapi, dipenjara, bahkan dieksekusi tanpa melalui pengadilan. Buku-buku ilmu pengetahuan dan kitab-kitab agama termasuk Alqur'an dibakar. "Tidak ada Tuhan. Yang ada hanya Lenin dan Stalin," propaganda yang didengungkan pada masa itu.
Is'hoqxon To'ra Ibrat adalah salah satu korbannya. Ia seorang ilmuwan, sastrawan, qadi (hakim setempat), sekaligus wartawan yang membawa mesin cetak pertama ke wilayah itu. Ia ditangkap dan dipenjara hingga syahid. Jasadnya tak pernah ditemukan keluarganya.
Namun untuk mengenangnya sesuai tradisi setempat, dibangun sebuah replika makam dengan membawa tanah dari kuburan masal yang diduga untuk menguburkan para tahanan korban kekejaman komunis Soviet.
Banyak buku yang ditulis Ibrat. Termasuk koran Turkistan yang diproduksi dan dibagikan gratis. Bekas-bekas hujrah (ruang kelas) di madrasahnya digunakan untuk menyimpan benda-benda peninggalannya. Termasuk sebuah syair panjang yang merupakan pohon keluarganya.
Di tengah taman dibangun sebuah gazebo besar yang difungsikan sebagai ruang diskusi terbuka. Saya juga melihat bangunan semacam itu di Andalusia, Maroko dan Samarkand.
Ini merupakan bagian dari tradisi keilmuwan para cendekiawan Muslim terdahulu. Mereka membangun tempat khusus untuk berdiskusi dan bertukar ilmu. Allahu akbar!
Saya masih punya mimpi, suatu saat rumah saya akan ada ruang diskusi terbuka semacam itu. Yang bisa digunakan oleh anak-anak muda untuk menyusun kembali kepingan sejarah Islam yang terserak. Biidznillah.
Sambil menyantap makan siang semangkuk laghman panas di sebuah restoran Uighur, saya merenung. Para peminat sejarah akan segera paham. Rangkaian peristiwa yang terjadi tak pernah kebetulan.
No comments:
Post a Comment