Pasukan Pribumi Antek Belanda
HAJI Sidin, berusia 88 tahun, masih ingat kejadian itu. Dengan matanya sendiri, dia menyaksikan dari arah Tambun tentara Belanda merangsek masuk Karawang pada Juli 1947. Kendati sempat dihalau pasukan Republik, gelombang serangan tersebut tak tertahankan jua.
“Mereka berhasil menyeberangi jembatan Kedunggedeh yang melintasi Sungai Citarum terus menusuk jantung Karawang,” ujar Sidin, yang kala itu jadi pedagang beras.
Yang tak terlupakan bagi Sidin, iring-iringan konvoi militer Belanda itu didahului barisan prajurit bumiputera. Mereka terdiri dari anak muda Betawi dan Sunda. “Ada di antaranya saya kenal sebagai centeng dan jawara yang biasa mangkal di Pasar Tambun,“ ujar Sidin.
Keberadaan para “preman tempo doeloe” dalam rombongan pasukan Belanda yang terlibat dalam Agresi Militer I (pihak Belanda menyebutnya Aksi Polisional I) dikonfirmasi salah satu sumber Belanda yakni jurnalis Alfred van Sprang. Dalam bukunya Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil), Sprang menyebutkan bahwa bukan hanya sebagai penunjuk jalan, anak-anak muda bumiputera itu juga bertempur layaknya serdadu profesional. Siapakah mereka?
Robert B. Cribb, sejarawan asal Australia, mengidentifikasi mereka sebagai anggota HMOT, kependekan dari Hare Majesteit’s Ongeregelde Troepen (Pasukan Non-organik Sang Ratu). Itu nama sebuah kesatuan yang dibentuk Letnan Dua Koert Bavinck, perwira intelijen Batalion 3-9-Regiment Infanterie (RI) dari Divisi 7 Desember.
“ Mereka memiliki andil besar dalam kejatuhan Karawang dan Cikampek ke tangan Belanda pada 23 Juli 1947,” ujar Cribb kepada Historia.
Anggota HMOT mayoritas adalah eks anggota Laskar Rakyat Djakarta Raya (LRDR), sebuah kesatuan lasykar terbesar di front timur Jakarta (termasuk Karawang-Bekasi) yang memiliki garis politik bersebrangan dengan pemerintah Perdana Menteri Sjahrir. Itulah salah satu sebab pada 17 April 1947, mereka dihajar tanpa ampun oleh TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) hingga kocar-kacir.
“ Anak-anak LRDR yang tengah frustasi karena kekalahan itu lantas direkrut oleh militer Belanda untuk kelak dijadikan bagian dari pemukul terdepan melawan tentara Indonesia,” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.
Tiga ratus eks LRDR pimpinan Panji tersebut berhasil direkrut dalam suatu unit pasukan yang kemudian diberi nama HMOT. Demikian menurut Martin Elands, Richard van Gils, dan Ben Schoenmaker dalam De Geschiedenis van Divisie ‘7 Desember 1946-1996 (Sejarah Divisi 7 Desember 1946-1996).
Begitu resmi menjadi bagian dari Yon 3-9-RI, HMOT langsung diterjunkan dalam berbagai operasi militer. Salah satu aksi legendaris para prajurit HMOT adalah saat mereka terlibat dalam Operasi Product atau Aksi Polisional I (kaum republik menyebutnya sebagai Agresi Militer I) pada 21-23 Juli 1947 ke Karawang.
Dikisahkan oleh Sprang, pada suatu pagi menjelang siang, dengan menggunakan jip terbuka dari Bekasi, Bavinck dan Panji memimpin militer Belanda dan sebagian anggota HMOT menembus jalur ke Karawang. Sementara di antara pasukan yang berangkat menggunakan 17 gerbong kereta api, pasukan HMOT dengan gagah berdiri di gerbong terdepan yang dilindungi karung-karung pasir.
”Mereka dipimpin oleh salah seorang bekas anggota LRDR bernama Harun Umar,” tulis sejarawan Ali Anwar dalam K.H. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang.
Di Stasiun Tambun, sekelompok pasukan TNI dari Batalion Beruang Merah menghadang pergerakan pasukan Belanda dan HMOT. Terjadilah pertempuran sengit yang membuat jatuh banyak korban di kedua pihak. Sejumlah anggota HMOT yang terluka tetap nekat menyerang. “Secara bersemangat mereka menyerbu para penghadang sambil sesekali berteriak ‘minta pelor, Tuan’ kepada tim penyedia amunisi,” tulis Sprang.
Dua hari kemudian, militer Belanda berhasil menembus dan menguasai Karawang. Kemenangan gemilang itu otomatis meningkatkan reputasi HMOT di kalangan militer Belanda. Terlebih setelah Bavinck dianugerahi penghargaan Militaire Willemsorde yang prestisius atas jasanya memimpin HMOT. HMOT dipuji para pejabat militer Belanda.
Usai Operasi Product, para anggota HMOT tetap digunakan untuk memburu kaum nasionalis Indonesia. Mereka kerap dilibatkan dalam berbagai operasi militer yang berbahaya. “Akibatnya, belum tiga bulan setelah kesuksesan menembus Karawang, sudah sekitar 50 anggota HMOT terbunuh,” ungkap Cribb.
Sadar menjadi umpan terdepan militer Belanda, rasa frustasi dan kecewa melanda para jagoan bumiputera tersebut. Kekecewaan semakin membuncah manakala dalam keseharian mereka diperlakukan “diskriminatif” oleh kesatuan-kesatuan resmi di bawah militer Belanda dan juga sesama bumiputera yang tergabung dalam KNIL. Misalnya, rendahnya kualitas beras yang diterima anggota HMOT dan keluarganya. Alih-alih menerima secara lapang dada, para anggota HMOT yang terbiasa makan nasi dari beras nomor satu di Karawang menolak pemberian itu mentah-mentah.
HMOT mencapai ujung usianya kala secara sistematis para komandannya disingkirkan oleh militer Belanda (karena dinilai ada potensi memberontak). Panji termasuk pimpinan HMOT yang kemudian “dihilangkan”. Raibnya Panji menjadikan HMOT tak memiliki masa depan. Bersamaan ditarik mundurnya Yon 3-9-RI dari wilayah Karawang pada akhir 1947, lambat-laun nama HMOT memudar dan hilang begitu saja. Mantan anggota HMOT kemudian menyebar sebagai kekuatan liar. Sebagian membentuk kelompok bandit bersenjata yang beroperasi sepanjang Karawang-Bekasi. Sebagian lagi memasuki kembali dunia lamanya: menjadi centeng dan jawara.(kl/historia)
“Mereka berhasil menyeberangi jembatan Kedunggedeh yang melintasi Sungai Citarum terus menusuk jantung Karawang,” ujar Sidin, yang kala itu jadi pedagang beras.
Yang tak terlupakan bagi Sidin, iring-iringan konvoi militer Belanda itu didahului barisan prajurit bumiputera. Mereka terdiri dari anak muda Betawi dan Sunda. “Ada di antaranya saya kenal sebagai centeng dan jawara yang biasa mangkal di Pasar Tambun,“ ujar Sidin.
Keberadaan para “preman tempo doeloe” dalam rombongan pasukan Belanda yang terlibat dalam Agresi Militer I (pihak Belanda menyebutnya Aksi Polisional I) dikonfirmasi salah satu sumber Belanda yakni jurnalis Alfred van Sprang. Dalam bukunya Wij Werden Geroepen (Kami yang Dipanggil), Sprang menyebutkan bahwa bukan hanya sebagai penunjuk jalan, anak-anak muda bumiputera itu juga bertempur layaknya serdadu profesional. Siapakah mereka?
Robert B. Cribb, sejarawan asal Australia, mengidentifikasi mereka sebagai anggota HMOT, kependekan dari Hare Majesteit’s Ongeregelde Troepen (Pasukan Non-organik Sang Ratu). Itu nama sebuah kesatuan yang dibentuk Letnan Dua Koert Bavinck, perwira intelijen Batalion 3-9-Regiment Infanterie (RI) dari Divisi 7 Desember.
“ Mereka memiliki andil besar dalam kejatuhan Karawang dan Cikampek ke tangan Belanda pada 23 Juli 1947,” ujar Cribb kepada Historia.
Anggota HMOT mayoritas adalah eks anggota Laskar Rakyat Djakarta Raya (LRDR), sebuah kesatuan lasykar terbesar di front timur Jakarta (termasuk Karawang-Bekasi) yang memiliki garis politik bersebrangan dengan pemerintah Perdana Menteri Sjahrir. Itulah salah satu sebab pada 17 April 1947, mereka dihajar tanpa ampun oleh TRI (Tentara Repoeblik Indonesia) hingga kocar-kacir.
“ Anak-anak LRDR yang tengah frustasi karena kekalahan itu lantas direkrut oleh militer Belanda untuk kelak dijadikan bagian dari pemukul terdepan melawan tentara Indonesia,” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein.
Tiga ratus eks LRDR pimpinan Panji tersebut berhasil direkrut dalam suatu unit pasukan yang kemudian diberi nama HMOT. Demikian menurut Martin Elands, Richard van Gils, dan Ben Schoenmaker dalam De Geschiedenis van Divisie ‘7 Desember 1946-1996 (Sejarah Divisi 7 Desember 1946-1996).
Begitu resmi menjadi bagian dari Yon 3-9-RI, HMOT langsung diterjunkan dalam berbagai operasi militer. Salah satu aksi legendaris para prajurit HMOT adalah saat mereka terlibat dalam Operasi Product atau Aksi Polisional I (kaum republik menyebutnya sebagai Agresi Militer I) pada 21-23 Juli 1947 ke Karawang.
Dikisahkan oleh Sprang, pada suatu pagi menjelang siang, dengan menggunakan jip terbuka dari Bekasi, Bavinck dan Panji memimpin militer Belanda dan sebagian anggota HMOT menembus jalur ke Karawang. Sementara di antara pasukan yang berangkat menggunakan 17 gerbong kereta api, pasukan HMOT dengan gagah berdiri di gerbong terdepan yang dilindungi karung-karung pasir.
”Mereka dipimpin oleh salah seorang bekas anggota LRDR bernama Harun Umar,” tulis sejarawan Ali Anwar dalam K.H. Noer Ali: Kemandirian Ulama Pejuang.
Di Stasiun Tambun, sekelompok pasukan TNI dari Batalion Beruang Merah menghadang pergerakan pasukan Belanda dan HMOT. Terjadilah pertempuran sengit yang membuat jatuh banyak korban di kedua pihak. Sejumlah anggota HMOT yang terluka tetap nekat menyerang. “Secara bersemangat mereka menyerbu para penghadang sambil sesekali berteriak ‘minta pelor, Tuan’ kepada tim penyedia amunisi,” tulis Sprang.
Dua hari kemudian, militer Belanda berhasil menembus dan menguasai Karawang. Kemenangan gemilang itu otomatis meningkatkan reputasi HMOT di kalangan militer Belanda. Terlebih setelah Bavinck dianugerahi penghargaan Militaire Willemsorde yang prestisius atas jasanya memimpin HMOT. HMOT dipuji para pejabat militer Belanda.
Usai Operasi Product, para anggota HMOT tetap digunakan untuk memburu kaum nasionalis Indonesia. Mereka kerap dilibatkan dalam berbagai operasi militer yang berbahaya. “Akibatnya, belum tiga bulan setelah kesuksesan menembus Karawang, sudah sekitar 50 anggota HMOT terbunuh,” ungkap Cribb.
Sadar menjadi umpan terdepan militer Belanda, rasa frustasi dan kecewa melanda para jagoan bumiputera tersebut. Kekecewaan semakin membuncah manakala dalam keseharian mereka diperlakukan “diskriminatif” oleh kesatuan-kesatuan resmi di bawah militer Belanda dan juga sesama bumiputera yang tergabung dalam KNIL. Misalnya, rendahnya kualitas beras yang diterima anggota HMOT dan keluarganya. Alih-alih menerima secara lapang dada, para anggota HMOT yang terbiasa makan nasi dari beras nomor satu di Karawang menolak pemberian itu mentah-mentah.
HMOT mencapai ujung usianya kala secara sistematis para komandannya disingkirkan oleh militer Belanda (karena dinilai ada potensi memberontak). Panji termasuk pimpinan HMOT yang kemudian “dihilangkan”. Raibnya Panji menjadikan HMOT tak memiliki masa depan. Bersamaan ditarik mundurnya Yon 3-9-RI dari wilayah Karawang pada akhir 1947, lambat-laun nama HMOT memudar dan hilang begitu saja. Mantan anggota HMOT kemudian menyebar sebagai kekuatan liar. Sebagian membentuk kelompok bandit bersenjata yang beroperasi sepanjang Karawang-Bekasi. Sebagian lagi memasuki kembali dunia lamanya: menjadi centeng dan jawara.(kl/historia)
No comments:
Post a Comment