Virus Korona: Antara Azab atau Modus Serangan Asimetris?
Hukum karma atau qisas —timbal balik— atau hukum causalitas seringkali berjalan lembut tak teraba, halus tidak terasa, dan kerap tanpa disadari oleh si objek penderita. Ketika Cina mengisolasi suku Uighur di Xinjiang, ini cuma permisalan, kini Cina terpaksa bahkan dipaksa untuk mengisolasi 11 juta warganya sendiri di Wuhan, lokasi awal virus korona menjalar di beberapa negara.
Dan bisa jadi, kemungkinan ada wilayah lain yang terpapar korona dan diisolasi oleh Cina tetapi tak ditutup, tidak boleh diekspos, oleh sebab jika semua diekspos bakal berdampak terhadap kredibilitas Cina di mata global. Itu sebuah keniscayaan. Ya, ekspor Cina mungkin tertolak, tourisme bisa anjlok, TKA-nya diperketat jika memasuki negara lain, dan banyak lagi.
Retorika selidiknya adalah, “Apakah virus Wuhan (korona) itu azab dan karma terhadap Cina akibat kebijakannya terhadap etnis Uighur, atau jangan-jangan memang modus perang asimetris yang tengah dilancarkan secara senyap oleh negara lawan (geo) politik Cina?” Ini sekedar prolog catatan kecil ini.
Apapun. Entah karma, entah azab, itu kawasan atau area Tuhan seperti halnya kematian, rezeki, jodoh, gaib, dan lain-lain. Sudah barang tentu, area tersebut tak boleh dijamah dan tidak dapat dirambah oleh manusia sebab merupakan hak prerogatif Tuhan. Jadi, tatkala ada analisa serta simpulan bahwa virus Wuhan adalah karma bagi Cina sebagaimana prolog di atas, selain naif, tak etis, juga sifatnya sangat nisbi. Kenapa? Sekali lagi, azab dan karma itu bukan area manusia, ia mutlak merupkan area Tuhan.
Dengan demikian, sesuai topik ini, kita hanya bisa mengulas variabel kedua dari judul di atas. Adapun basis hipotesanya begini, “Apakah virus korona itu modus peperangan asimetris?”
Tidak boleh dipungkiri, bahwa munculnya virus korona di tengah memanasnya konflik geopolitik antara Cina versus Amerika (AS). Dan publik sangat paham, dua adidaya dimaksud sedang berebut hegemoni di banyak sektor terutama ekonomi, militer dan budaya. Secara naluri, insting para analisis politik global, pengkaji geopolitik, dan lain-lain seketika berasumsi meskipun sumir, “Ah, ini mainan asimetris dari lawan politik Cina, atau justru rekayasa Cina sendiri?”. Repot asumsinya. Tapi, apakah memang demikian adanya? Kita lanjutkan diskusi ini.
Dalam asymmetric warfare atau peperangan nirmiliter, terdapat pola ajeg yang kerap berulang yakni isu – tema/agenda – skema (disingkat ITS). Pola operasionalnya begini, (1) isu ditebar terlebih dulu ke publik dengan maksud selain cipta kondisi/kegaduhan, juga mendalami respon serta membentuk opini publik; (2) kemudian tema atau agenda dijalankan untuk sebuah program, proposal dan seterusnya; dan (3) bila isu dan tema berjalan mulus (direspon publik) maka skema pun dibenam, ditancapkan.
Modus semacam ini yang sering disebut dengan istilah soft power atau smart power. Senyap. Tanpa bunyi peluru, tak tercium asap mesiu. Namun pola ITS ini juga kerap dipakai pada modus hard power yang melibatkan kekuatan militer. Contohnya, (1) isunya WTC/9-11; (2) agendanya serbuan koalisi militer pimpinan AS ke Afghanistan; dan (3) skemanya ternyata kavling-kavling minyak. Di Irak pun begitu. Isunya Saddam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal; agenda/temanya serbuan militer oleh NATO dan ISAF; dan skemanya ternyata juga kavling-kavling sumur minyak di Irak.
Sekarang contoh di model smart power. Isunya flu burung; agendanya daging langka atau daging mahal; skemanya ialah perluas impor daging atau tambah quota impor.
Jadi, sebenarnya antara smart power dengan hard power itu —dalam geopolitik— selain polanya sama (ITS), juga skemanya tidak berubah sepanjang masa yakni pencaplokan (geo) ekonomi negara target. Keduanya, serupa tetapi tak sama. Serupa dalam hal pola, tak sama pada modus dan caranya.
Ketika para analisis dan pengkaji geopolitik membaca begitu cepat meluasnya isu Wuhan atau virus korona, lantas pertanyaannya: “Apa agenda yang hendak diprogramkan, dan adakah skema yang ingin diraih si pemilik hajatan?”
Jika merujuk pola asymmetric war selama ini, bila tak lama berselang usai isu Wuhan viral di publik, maka silahkan cermati drama lanjutannya, apakah ada korporasi global dibidang farmasi atau negara tertentu giat mengkampanye dan menawarkan semacam anti-virus, suntik anti-korona, dan seterusnya maka sangat kuat diduga, bahwa korporasi/negara tadi terindikasi selaku pemilik hajatan dari skenario virus korona. Dan korporasi dimaksud, bisa jadi justru berasal dari Cina sendiri, dan terlebih lagi korporasi asing dari luar Cina.
Ada pertanyaan menggelitik, kenapa Cina diasumsikan juga sebagai pemilik hajatan dalam isu korona; alangkah naif jika ia justru mengorbankan rakyatnya sendiri (playing victim)?
Geopolitik mengajarkan, setiap tujuan niscaya membawa korban. Tak peduli warna bulu kucing yang penting bisa menangkap tikus, kata Mao. Dalam manajemen, ini goal oriented. Siapapun korban yang utama tujuan tercapai. Nah, para korban inilah yang kerap disebut dengan istilah “tumbal politik”. Dan itu sudah jamak di dunia (geo) politik praktis.
Dan dari pointers diskusi ini setidaknya mulai tergambar sketsa, apakah virus korona itu sebuah azab atau modus dari sebuah peperangan asimetris? Silahkan dicermati sendiri babak selanjutnya. Wait and see.
Mengakhiri catatan kecil ini, tidak ada maksud menggurui siapapun pada ulasan ini, terutama para pihak yang berkompeten, hanya sekedar sharing pengetahuan dan wawasan. Apapun analisa, memang belum layak dianggap kebenaran, apalagi untuk pembenaran. Kritik dan saran tetap terbuka guna penyempurnaan tulisan ini guna mendekati kebenaran sejati, yakni kebenaran-Nya.
Terima kasih.
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
No comments:
Post a Comment