Menelusuri Jejak Syekh Abdurrauf As Singkili di Tanah Kelahirannya
Ulama masyhur tersebut merupakan kelahiran Aceh Singkil. Inilah yang menjadi landasan Kabupaten itu, acap disebut sebagai tanah batuah.
Tongkat besi berulir peninggalan Syekh Abdurrauf As Singkili yang disimpan di rumah Agus di Desa Silatong, Simpang Kanan, Aceh Singkil, Senin (10/2/2020)
SYEKH Abdurrauf As Singkil, dikenal sebagai ulama masyhur dengan keilmuan agama Islam luas, Mufti Kerjaan Aceh Darussalam semasa dimpin para ratu, penulis tapsir Al Quran pertama berbahasa melayu, ahli tasawuf dan sederet karya yang menjadi bahan rujukan.
Ulama masyhur tersebut merupakan kelahiran Aceh Singkil. Inilah yang menjadi landasan Kabupaten itu, acap disebut sebagai tanah batuah.
Lalu apa saja jejak Syekh Abdurrauf yang berada di Aceh Singkil? Berikut penelusuranya.
Laporan Dede Rosadi I Aceh Singkil
Rumah kayu sederhana di Desa Silatong, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, milik Agus Cibro (51) menjadi tempat penyimpanan warisan Syekh Abdurrauf As Singkili.
Benda pusaka peninggalan Mufti (Penasehat Agung) Kerjaan Aceh pada masa Sultanah Syafiatuddin Tajul ALam tersebut, tongkat besi ulir dan Al Quran tulisan tangan.
Sudah empat tahun peninggalan Syekh Abdurrauf Bin Ali Al-Fansuri, tersimpan di rumah dekat jembatan Silatong tersebut. “Sama aku sejak 2016 bulan satu (Januari),” kata Agus di dampingi sang istri Darmawati br Barus, Senin (10/2/2020) sore.
Tongkat besi dibungkus kain putih lalu diletakan dalam kotak kaca. Tidak cukup hanya itu, kotak kaca berisi tongkat ditaruh dalam peti kayu memanjang lalu digembok.
Perlakuan itu, demi menjaga agar tak mudah rusak termakan jaman.
Tongkat besi berwana hitam itu panjangnya semeter lebih. Menunjukan pemiliknya memiliki tinggi badan di atas rata-rata.
Agus yang mencoba memperaktekan memegang tongkat, tak bisa memegang bagian pegangan. Sehingga tongkat harus dijulurkan ke depan. “Memang cara pegangnya seperti itu,” ujar Agus.
Bagian tongkat terbagi tiga bentuk. Gagang berbentuk bulat lebih besar dari jempol dewasa, batangnya berupa besi ulir dan bagin ujung runcing. Secara keseluruhan bentuk tongkat dari atas ke bawah makin mengecil seperti bentuk lidi.
Ketika coba memegang, tongkat seperti besi pada umumnya, terasa berat dibanding benda lain dengan ukuran serupa.
Walau sudah berusia empat abad lebih, tongkat besi tidak berkarat. Malah terlihat mengkilat.
Perlakuan serupa juga dilakukan dengan Al Quran. Al Quran dibungkus kain putih dalam kotak kaca. Selanjutnya kotak kaca diletakan dalam peti kayu yang dibungkus kain sarung.
Pembedanya peti kayu penyimpanan Al Quran berbentuk persegi empat.
Kalimat dalam Al Quran itu masih terlihat jelas, kendati ayatnya yang dilingkar mulai pudar. Pada pinggir tulisan dibuat garis warna hitam dan merah.
Setelah dibuka bebarapa bagian surat telah hilang. Begi juga dengan lembaran Al Quran ada yang mulai termakan usia.
Al Quran tidak lagi berjilid. Namun sebagai penggantinya dipasang jilid dari pelastik transparan warna biru dengan perekat.
Sore itu yang datang bersama anak muda penyuka sejarah, Aini, Andri dan Agus boleh jadi paling beruntung. Setelah wudu tuan rumah membebaskan kami membuka peti, memegang tongkat dan membaca AL Quran tulisan tangan sang aulia.
Kendati kami tidak bawa kain putih sebagai syarat. Bagi yang ingin melihat dan memegangnya bisanya membawa kain putih. Kain itu merupakan pengganti bungkus kain putih yang telah dipegang tangan.
Kebisaan mengganti kain pembungkus setelah dipegang tersebut, dilakukan agar kain pembungkus tetap bersih sehingga tidak mempengaruhi tongkat besi. “Biasanya bawa kain putih, tapi untuk kalian tidak apa-apa nanti aku yang ganti masih ada banyak kain putih,” ujar Agus sambil senyum.(*)
Aceh Trbn
No comments:
Post a Comment