Hubungan Awal Nusantara dan Turki
Hubungan antara Nusantara dan Timur Tengah pada sepanjang sejarahnya dapat dikatakan lebih banyak bersifat hubungan antar-masyarakat ketimbang antar-pemerintahan
Cerita di atas bukannya tanpa dasar dan di Aceh sendiri inti dari kisah itu tak hanya diwakili oleh sejarah lisan. Nuruddin al-Raniri di dalam Bustan al-Salatin, sebagaimana dikutip oleh Ermy Azziaty Rozali (2014: 95), menyebutkan bahwa Sultan Alauddin Ri’ayat Shah dari Aceh pernah mengirim utusan kepada Sultan Rum di Istanbul guna “meneguhkan agama Islam”. Sultan Rum lantas mengirim orang-orang “yang tahu menuang bedil” yang memungkinkan Aceh untuk membuat meriam-meriam yang besar dan menggunakannya untuk menyerang Melaka, yang ketika itu berada di bawah kendali Portugis. Menurut Anthony Reid (1969: 396-397), meriam besar yang dimaksud oleh al-Raniri tak lain adalah meriam Lada Sichupa’. Secupak lada yang dimaksud sebelumnya adalah lada setakaran bambu. Meriam Lada Sichupa’ berada di Aceh hingga dirampas oleh Belanda pada tahun 1874.
Di dalam sumber-sumber Turki Utsmani sendiri tercatat adanya hubungan diplomatik antara Aceh dan Turki pada abad ke-16. Hubungan ini tampaknya pertama kali terjadi pada tahun 1547, pada masa pemerintahan Sulayman Qanuni (1520-1566). Pada tahun itu, datang ke Istanbul utusan “Alaaddin from the Indian rulers”, membawa beberapa hadiah seperti rempah-rempah, wewangian, dan burung beo yang berwarna-warni. Raja Alaaddin dari India ini kemungkinan besar adalah Sultan Alauddin Ri’ayat Shah al-Kahhar yang memerintah Aceh sejak tahun 1537 hingga 1571. Pada tahun 1562 utusan lainnya kembali dikirim dari Aceh ke Istanbul, dan Istanbul menjawab permintaan bantuan militer oleh Aceh dengan mengirimkan beberapa ahli pembuat meriam ke negeri bawah angin itu pada tahun 1565.
Utusan Aceh berikutnya pada tahun 1566 terpaksa menunggu di Istanbul selama lebih dari setahun, disebabkan oleh wafatnya Sultan Sulayman pada tahun tersebut. Bagaimanapun, Salim II yang menjadi sultan Utsmani berikutnya menerima dan merespon dengan baik utusan dari Aceh. Tujuh belas buah kapal berikut perangkat militernya dikirim untuk membantu Aceh dalam menghadapi Portugis, tetapi mereka terpaksa berbelok ke Yaman disebabkan terjadinya pemberontakan di wilayah itu. Pengiriman bantuan ke Aceh tertunda karenanya dan hanya sekitar dua kapal yang akhirnya berangkat ke Aceh (Goksoy, 2007: 5-13). Bagaimanapun, hubungan dengan Sultan Salim II yang tampaknya lebih dikenang oleh Aceh dan disebut-sebut di dalam surat mereka kepada Turki Utsmani pada penghujung abad ke-19, saat mereka tengah menghadapi serangan Belanda (Hurgronje, 1991: 252-253).
Bantuan militer Turki memang tidak sampai berhasil mengusir Portugis dari Selat Melaka, tetapi membantu dalam memperkuat militer Aceh dan dalam pertahanannya menghadapi negeri-negeri tetangganya (Rozali, 2014: 94).
Di dalam suratnya kepada Turki Utsmani pada tahun 1566, Aceh bukan hanya meminta bantuan kepada Turki Utsmani, tetapi juga minta diakui sebagai bagian dari Kekhalifahan tersebut. Aceh juga meminta agar warganya dianggap sebagai warga Turki Utsmani (Goksoy, 2007: 6).
Hubungan-hubungan di atas menggambarkan kecenderungan kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara untuk menjadi bagian dari dunia Islam yang lebih luas, atau dapat dikatakan juga sebagai bagian dari ummah. Hal ini menarik kedua belah pihak untuk menjalin relasi dan saling bertukar pengakuan dan bantuan (Laffan, 2003: 16).
Pada saat ini, kekhalifahan tak lagi ada, tetapi tentu saja keberadaan ummah tak pernah hilang. Dan selalu ada yang berupaya merajut benang-benang persaudaraan di atas kainnya yang terlihat koyak. Penduduk Nusantara tak ketinggalan dalam hal ini.*
Kuala Lumpur, 3 Rajab 1441/ 27 Februari 2020
Penulis pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)
ada 48 buah makam para guru, ustadz, juga petugas militer) Kekhilafahan Turki Utsmani yang pernah bertugas di Aceh |
BELAKANGAN ini kerap muncul kebisingan yang tidak perlu terkait Pancasila, khilafah, Timur Tengah dan yang semisalnya. Beberapa pernyataan yang mempertentangkan Pancasila dan agama muncul ke publik, di tengah carut marut ekonomi dan persoalan korupsi yang terlihat semakin akut, padahal tidak semestinya kedua hal itu dipertentangkan (lihat Husaini, 16 Mei 2011).
Apa yang berlaku belakangan ini, meminjam istilah seorang kawan, ibarat menggaruk di tempat yang tidak gatal. Akhirnya menjadi bahan guyonan masyarakat.
Islam sejatinya sudah hadir di Nusantara sejak masa yang awal, sejak abad pertama Hijriah menurut Hamka dan beberapa peneliti sejarah lainnya. Jarak antara Nusantara dan pusat kemunculan Islam memang jauh dan sedikit banyak ikut mempengaruhi “lambatnya” proses perkembangan Islam di Nusantara. Bagaimanapun, jalur perdagangan di Samudera Hindia yang telah menghubungkan kedua kawasan ini beberapa abad sebelum munculnya Islam menjadikan penyebaran Islam di Nusantara secara gradual sejak abad ke-7 Masehi sebagai sebuah keniscayaan.
Secara umum kehadiran agama ini diterima dengan tangan terbuka sehingga di belakang hari dianut oleh mayoritas penduduk di kawasan ini.
Hubungan antara Nusantara dan Timur Tengah pada sepanjang sejarahnya dapat dikatakan lebih banyak bersifat hubungan antar-masyarakat ketimbang antar-pemerintahan. Namun, hubungan antar-pemerintah mungkin terjadi pula pada waktu-waktu tertentu, termasuk di era yang awal sebagaimana yang dianjurkan oleh Fatimi (1963) terkait surat dari “Raja India” kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz serta dari “Raja Cina” kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Berbicara tentang hubungan Nusantara dan Timur Tengah tentu sangat luas cakupannya. Karena itu, tulisan kali ini hendak mendiskusikan hubungan awal antara Nusantara dengan Turki, terutama antara Aceh dan Turki Utsmani. Bagaimana sebetulnya pola hubungan di antara keduanya dan apa yang melatarbelakanginya.
Abad ke-16 tampaknya menjadi abad yang penting terkait dengan hubungan awal antara Nusantara dan Turki. Pada awal abad tersebut, orang-orang Turki sudah tercatat sebagai bagian dari para pedagang yang hadir di utara pulau Sumatera. Saat berbicara tentang Kerajaan Samudera Pasai (atau Pase) di dalam Summa Oriental, Tome Pires (1944: 142) menulis:
“… karena Melaka telah dihukum dan Pedir dalam keadaan berperang, Kerajaan Pase menjadi makmur, kaya, dengan banyak pedagang dari berbagai bangsa Moor dan Keling, yang melakukan banyak perdagangan, di antaranya yang terpenting adalah orang-orang Bengali. Ada (pula) orang-orang Rume, Turki, Arab, Persia, Gujarat, Keling, Melayu, Jawa, dan Siam.”
Sebelum era ini mungkin sudah ada pedagang-pedagang Turki yang hadir di wilayah ini, bersama pada pedagang lainnya. Kurang lebih satu setengah abad sebelum Pires, Ibn Battutah (1829: 200), dalam perjalanannya dari Pulau Jawa menuju Cina, tiba di sebuah tempat yang disebutnya sebagai Tawalisi. Penduduk di tempat itu merupakan non-Muslim dan perawakannya mirip orang-orang Turki. Ratunya yang bernama Arduja menyambutnya dengan bahasa Turki dan menulis dengan tangannya sendiri lafal Bismillah (Ibn Batuta, 1829: 206). Ini menunjukkan bahwa mereka pernah berinteraksi dengan Muslim dan orang-orang Turki.
Sebelum itu, Ibn Battutah berada di Sumatera, yang menurutnya adalah nama sebuah kota. Di tempat itu ia disambut oleh rajanya yang bermazhab Syafi’i, al-Malik al-Zahir Jamal al-Din. Sumatera yang ia maksudkan adalah pusat Kerajaan Samudera Pasai. Namun, Ibn Battutah tidak bercerita tentang para pedagang asing yang ada di sana.
Terlepas dari itu, gelar yang digunakan oleh Jamal al-Din serta raja-raja Samudera Pasai, seperti Malik al-Zahir dan yang semisalnya, menunjukkan kesesuaian dengan penggunaan gelar kepemimpinan di pusat dunia Islam ketika itu, seperti yang digunakan oleh para sultan Mamluk di Mesir yang banyak memiliki asal-usul Turki.
Penggunaan gelar semacam ini mungkin bermula pada akhir era Dinasti Turki Saljuk – Nur al-Din Mahmud bin Zanki menggunakan gelar al-Malik al-Adil – diikuti oleh Dinasti Ayyubiyah, dan kemudian Dinasti Mamluk. Hal ini menunjukkan bahwa gelar yang biasa digunakan di dunia Islam di Timur Tengah pada masa itu diketahui dan diadopsi oleh pemimpin Samudera Pasai.
Ini mengingatkan kita juga pada penggunaan nama-nama berbau Turki di kemudian hari di Jawa pada gelar, pangkat, dan nama-nama kesatuan militer di era Pangeran Diponegoro, seperti “Ngabdulkamit”, “Ali Basah”, serta “Bulkio”, “Turkio”, dan “Arkio” (Carey, 2008: 152-153). Menarik juga untuk diperhatikan bahwa Sultan Hamengkubuwono X di dalam pidatonya di Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta pada bulan Februari 2015 menyatakan bahwa pada tahun 1479 Sultan Turki menetapkan Raden Patah, Sultan Demak yang pertama, sebagai perwakilan kekhalifahan Islam di tanah Jawa. Turki juga dikatakan telah memberikan kepada Demak dua buah bendera dari kain kiswah Ka’bah yang bertuliskan dua kalimat syahadat. Duplikat kedua bendera itu sekarang berada di Keraton Yogya (Republika, 2015).
Hubungan antara Aceh dan Turki pada abad ke-16 rupanya tidak hanya sebatas hubungan perdagangan. Bersamaan dengan jatuhnya Kerajaan Melaka serta hadirnya ancaman Portugis di Selat Melaka, Kerajaan Aceh tumbuh besar sebagai kekuatan politik dan perdagangan, melanjutkan kedudukan Pasai serta menggantikan posisi strategis Melaka.
Pada tahun 1539 dilaporkan bahwa sekitar 300 tentara Turki telah berada di Aceh dan membantu kerajaan itu dalam konfliknya dengan kerajaan Batak (Pinto, 1897: 31-32). Menurut Goksoy (2007: 4), pasukan Turki ini mungkin merupakan pecahan dari pasukan Turki yang tidak berhasil dalam upaya mengusir Portugis dari Diu, Gujarat.
Aceh sendiri telah terlibat dalam perdagangan lada di Samudera Hindia pada tahun-tahun tersebut dan mulai terganggu dengan kehadiran Portugis di kawasan itu yang kemudian membawa keduanya saling berhadapan (Boxer, 1969: 416-417). Dalam konfliknya dengan Portugis dan kerajaan-kerajaan di perbatasan, Aceh memilih untuk menjalin hubungan lebih serius dengan Kekhalifahan Turki Utsmani pada tahun-tahun berikutnya.
Snouck Hurgronje (1906: 208-2010) di dalam bukunya The Achehnese mengutip satu cerita popular – sebuah legenda sejarah, menurutnya – tentang asal usul nama meriam terkenal di Aceh, yaitu “Lada Sichupa’” (Lada secupak). Menurut cerita tersebut, pada abad ke-16 saat kerajaan Aceh semakin kuat, sultan Aceh memutuskan untuk mengirim utusan ke Istanbul.
Rombongan dari Aceh pergi dengan kapal-kapal yang dipenuhi lada, yang merupakan hasil utama kerajaan itu. Namun sampai di Istanbul mereka tak dapat langsung menemui Sultan Turki Utsmani disebabkan tak ada yang mengenal kerajaan mereka. Mereka berdiam di kota itu selama satu atau dua tahun dan terpaksa menjual sebagian besar lada mereka untuk hidup di negeri itu. Akhirnya mereka dapat bertemu Sultan Turki dan mempersembahkan lada yang hanya tinggal secupak, tetapi diterima dengan senang hati oleh Sultan. Sebagai balasan, Sultan Turki menghadiahkan sebuah meriam besar untuk Aceh yang kemudian diberi nama Lada Sichupa’.
Sultan Turki juga memperkenankan permintaan mereka untuk mengirimkan sejumlah tenaga ahli untuk ikut bersama mereka ke Aceh. Sebagian dari tenaga ahli ini berasal dari Suriah yang kemudian tinggal di kampung Bitay di Aceh. Nama Bitay sendiri dikatakan sebagai sebutan Aceh untuk perkataan Betal yang merupakan kependekan dari Betal Maqdis atau Bayt al-Maqdis, yang tampaknya menunjukkan asal-usul para utusan Turki itu.
Sultan Turki juga menerima Aceh sebagai negara bawahannya. Namun karena jarak yang sangat jauh dan kesulitan untuk mengirimkan upeti tahunan, maka sebagai gantinya masyarakat Aceh diminta untuk merayakan Maulid Nabi. “Maka hendaknya tidak ada satu kampung pun di Aceh yang penduduknya tidak merayakan Maulid (Mo’lot); itulah upeti kalian kepada pemimpin orang-orang beriman,” titah Sultan Turki. Maka sejak itu Maulud Nabi dirayakan dengan sungguh-sungguh setiap tahunnya di Aceh.Cerita di atas bukannya tanpa dasar dan di Aceh sendiri inti dari kisah itu tak hanya diwakili oleh sejarah lisan. Nuruddin al-Raniri di dalam Bustan al-Salatin, sebagaimana dikutip oleh Ermy Azziaty Rozali (2014: 95), menyebutkan bahwa Sultan Alauddin Ri’ayat Shah dari Aceh pernah mengirim utusan kepada Sultan Rum di Istanbul guna “meneguhkan agama Islam”. Sultan Rum lantas mengirim orang-orang “yang tahu menuang bedil” yang memungkinkan Aceh untuk membuat meriam-meriam yang besar dan menggunakannya untuk menyerang Melaka, yang ketika itu berada di bawah kendali Portugis. Menurut Anthony Reid (1969: 396-397), meriam besar yang dimaksud oleh al-Raniri tak lain adalah meriam Lada Sichupa’. Secupak lada yang dimaksud sebelumnya adalah lada setakaran bambu. Meriam Lada Sichupa’ berada di Aceh hingga dirampas oleh Belanda pada tahun 1874.
Di dalam sumber-sumber Turki Utsmani sendiri tercatat adanya hubungan diplomatik antara Aceh dan Turki pada abad ke-16. Hubungan ini tampaknya pertama kali terjadi pada tahun 1547, pada masa pemerintahan Sulayman Qanuni (1520-1566). Pada tahun itu, datang ke Istanbul utusan “Alaaddin from the Indian rulers”, membawa beberapa hadiah seperti rempah-rempah, wewangian, dan burung beo yang berwarna-warni. Raja Alaaddin dari India ini kemungkinan besar adalah Sultan Alauddin Ri’ayat Shah al-Kahhar yang memerintah Aceh sejak tahun 1537 hingga 1571. Pada tahun 1562 utusan lainnya kembali dikirim dari Aceh ke Istanbul, dan Istanbul menjawab permintaan bantuan militer oleh Aceh dengan mengirimkan beberapa ahli pembuat meriam ke negeri bawah angin itu pada tahun 1565.
Utusan Aceh berikutnya pada tahun 1566 terpaksa menunggu di Istanbul selama lebih dari setahun, disebabkan oleh wafatnya Sultan Sulayman pada tahun tersebut. Bagaimanapun, Salim II yang menjadi sultan Utsmani berikutnya menerima dan merespon dengan baik utusan dari Aceh. Tujuh belas buah kapal berikut perangkat militernya dikirim untuk membantu Aceh dalam menghadapi Portugis, tetapi mereka terpaksa berbelok ke Yaman disebabkan terjadinya pemberontakan di wilayah itu. Pengiriman bantuan ke Aceh tertunda karenanya dan hanya sekitar dua kapal yang akhirnya berangkat ke Aceh (Goksoy, 2007: 5-13). Bagaimanapun, hubungan dengan Sultan Salim II yang tampaknya lebih dikenang oleh Aceh dan disebut-sebut di dalam surat mereka kepada Turki Utsmani pada penghujung abad ke-19, saat mereka tengah menghadapi serangan Belanda (Hurgronje, 1991: 252-253).
Bantuan militer Turki memang tidak sampai berhasil mengusir Portugis dari Selat Melaka, tetapi membantu dalam memperkuat militer Aceh dan dalam pertahanannya menghadapi negeri-negeri tetangganya (Rozali, 2014: 94).
Di dalam suratnya kepada Turki Utsmani pada tahun 1566, Aceh bukan hanya meminta bantuan kepada Turki Utsmani, tetapi juga minta diakui sebagai bagian dari Kekhalifahan tersebut. Aceh juga meminta agar warganya dianggap sebagai warga Turki Utsmani (Goksoy, 2007: 6).
Hubungan-hubungan di atas menggambarkan kecenderungan kerajaan-kerajaan Muslim di Nusantara untuk menjadi bagian dari dunia Islam yang lebih luas, atau dapat dikatakan juga sebagai bagian dari ummah. Hal ini menarik kedua belah pihak untuk menjalin relasi dan saling bertukar pengakuan dan bantuan (Laffan, 2003: 16).
Pada saat ini, kekhalifahan tak lagi ada, tetapi tentu saja keberadaan ummah tak pernah hilang. Dan selalu ada yang berupaya merajut benang-benang persaudaraan di atas kainnya yang terlihat koyak. Penduduk Nusantara tak ketinggalan dalam hal ini.*
Kuala Lumpur, 3 Rajab 1441/ 27 Februari 2020
Penulis pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)
No comments:
Post a Comment