Perjalanan Imam Ghazali dari Sosok Pemikir Menuju Laku Sufi
Sebelum menjadi sufi, Imam Al Ghazali adalah seorang guru besar di Universitas Nizamiyah. Ia juga pemikir, filsuf, ahli kalam, ahli fikih dan ilmu-ilmu yang lainnya.
Dan justru, karena ilmu-ilmu itu tidak memberikan manfaat terhadap batinnya, maka Ghazali memutuskan untuk mempraktikkan ilmunya itu dengan jalan meninggalkan seluruh aktivitasnya untuk beribadah kepada Allah SWT dan melakukan uzlah.
Menurut Muhammad Sholihin, dalam bukunya "Sufisme dalam Islam", dan setelah menulis kitab besar yang di beri nama Ihya' Ulum ad-Din, Ghazali pernah melakukan uzlah selama 120 hari, pada saat itulah beliau mendapatkan ilmu kasyf yang terkenal itu.
Menurut pengakuannya, dalam pengalaman tasawuf itu, Ghazali memperoleh secara langsung (kasyf) ilmu-ilmu yang tidak terhingga, meskipun ia tidak menunjukkan secara tegas ilmu yang diperoleh itu. Adapun kejadian uzlah-nya (menyendiri, Red) itu, secara detail diungkap sendiri oleh Ghazali dalam al-Munqidz min al-Dlalal bab Thuruq al-Shufiyah.
"Lalu kualihkan tatapanku ke jalan para sufi. Kuketahui ia tak dapat dilintasi ke ujungnya tanpa ajaran dan amalannya. Dan bahwasanya inti ajarannya terletak pada pengendalian nafsu badaniah dan keberhasilan dalam membersihkan watak-watak jahat dan sifat-sifat keji, hingga hati bersih dari segalanya kecuali Allah.
Dan makna pembersihan ini adalah makna dzikrullah, yakni mengingat Allah dan mencurahkan segala pikiran pada-Nya. Bagiku kini ajarannya lebih mudah ketimbang amalan-amalannya, maka mulailah kupelajari ajaran mereka dari berbagai kitab dan tuturan para syekh mereka, hingga kuperoleh jalan mereka dengan belajar dan menyimak, dan dengan jelas kulihat bahwa hal-hal paling ganjil pada mereka tak dapat dipelajari, melainkan melalui pengalaman, ekstasi, dan perubahan batiniah.
Yakinlah aku bahwa kini telah kuperoleh semua pengetahuan tasawuf yang bisa dicapai melalui belajar. Selebihnya, tiada jalan kepadanya melainkan dengan mengikuti kehidupan para sufi.
Setelah itu, kulihat diriku sebagaimana adanya. Segenap pamrih duniawi melanda diriku. Bahkan, pekerjaanku sebagai guru pun, suatu amalan yang terbaik, tampak sia-sia dan tiada manfaat ukhrawi, manakala kuperhatikan tujuannya aku melakukan semua itu bukan demi Allah, tetapi untuk kemegahan dan reputasi.
Kusadari bahwa diriku berada di tepi jurang dan nyaris jatuh ke dalam api neraka jika tak segera kuperbaiki jalan-jalanku. Sadar akan ketakberdayaan, seraya mengerahkan segenap kemauan, kucari perlindungan kepada Allah, ibarat orang dilanda kesulitan tanpa berdaya lagi. Allah mengabulkan doaku, dan memudahkan aku berpaling dari kemasyhuran, kekayaan, istri, anak-anak, dan sahabat."
No comments:
Post a Comment