Abuya Muda Waly, Ulama Aceh yang Tumbuh di Minang



Ulama karismatik Aceh, Abuya Muda Wali, menghabiskan masa remajanya untuk menuntut ilmu-ilmu agama. Sosok yang lahir dengan nama Muhammad Waly itu akhirnya mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan sekolah.

Suatu ketika, surat dari Teungku Hasan Geulumpang Payong datang. Pemuka masyarakat itu mengutarakan targetnya untuk kaderisasi alim ulama di Aceh. Ia tak ingin generasi muda Aceh “hanya” menuntut ilmu di Sumatra atau kawasan Nusantara.

Lebih jauh, ia mendambakan banyak putra daerah setempat yang dapat melanglang buana ke pusat dunia Islam, termasuk Hijaz atau Mesir. Sebagai langkah persiapan, Teungku Hasan mengirimkan sejumlah dai muda ke sekolah-sekolah yang memang bervisi sama, minimal ingin mengirimkan lulusannya ke Universitas al-Azhar, Kairo.

Salah seorang yang dikirim itu adalah Muhammad Waly. Pemuda ini didaftarkan ke Normal Islam School di Sumatra Barat. Sekolah itu didirikan oleh seorang tokoh pendidikan modern, Mahmud Yunus.

Tiga bulan lamanya Muhammad Waly menempuh studi di sini. Akan tetapi, akhirnya ia mengundurkan diri dengan hormat. Alasannya, ia waktu itu merasa, perbandingan ilmu yang diajarkan di Normal Islam School tidak seimbang antara ilmu agama dan umum.

Menurut Muhammad, pengajaran agama terlampau sedikit bila dibandingkan dengan pelajaran umum. Selain itu, ia merasa canggung dengan aturan sekolah itu yang mengharuskan para murid untuk memakai dasi dan celana panjang.

Muhammad Waly pun meminta nasihat Ismail Yaqub. Atas saran tokoh Aceh yang lama menetap di Sumatra Barat itu, ia pun mengurungkan niat pulang kampung. Untuk menenangkan pikirannya, Muhammad mengunjungi berbagai tempat di Ranah Minang.

Kebetulan, suatu sore ia mampir ke surau Kampung Jao. Niatnya ingin menunggu hingga waktu shalat maghrib tiba. Seperti biasa, shalat itu dipimpin seorang imam. Setelah itu, acara tadarus Alquran diadakan. Namun, Muhammad menyimak, ada beberapa bagian dari yang disyarahkan oleh ustaz tersebut kurang tepat.

Ia pun mengoreksinya sehingga sang ustaz mengakui kesilapannya. Rupanya, hal ini menimbulkan kesan bagi jamaah setempat. Maka, Muhammad Waly pun diminta untuk rutin datang ke surau ini demi mengimami shalat dan mengajarkan ilmu-ilmu agama. Ia menyanggupinya.

Dari hari ke hari, namanya semakin terkenal. Orang-orang Kampung Jao dan masyarakat Minang pada umumnya menaruh hormat dan mencintainya.

Hingga pada suatu ketika, salah seorang sesepuh yang dihormati oleh masyarakat setempat, Syekh Haji Khatib Ali, tertarik dengan akhlak dan ketinggian ilmu pemuda ini.

Sang syekh pun menjodohkannya dengan salah seorang gadis dari keluarganya, yakni Rasimah.

Maka menikahlah Muhammad Waly dengan perempuan cantik itu. Dari pernikahan ini, lahir dua orang anak, yaitu Muhibuddin Waly dan Halimah.

No comments: