Berkat Ilmu, Orang Biasa Bisa Berjaya


“Wahai anakku, carilah ilmu, karena dengan ilmu rakyat bawahan bisa menjadi terhormat, para budak bisa melampaui derajat para raja.”

PADA tahun 97 H khalifah Sulaiman bin Abdul Malik berthowab di baitul Atiq. Usai berthowab, beliau menghampiri orang kepercayaannya dan bertanya, “Di manakah temanmu itu ?” Sambil menunjuk ke sudut barat Masjidil Haram dia menjawab, “Di sana, beliau sedang berdiri untuk salat.”

Dengan diiringi kedua putranya khalifah bertandang menuju laki-laki yang di maksud. Beliau dapatkan ia dalam keadaan shalat, hanyut dalam ruku’ dan sujudnya. Sementara orang-orang duduk di belakang, di kanan dan kirinya. Maka duduklah khalifah di penghabisan majlis itu begitu pula dengan kedua anaknya.

Kedua putra mahkota itu mengamati dengan seksama, seperti apa gerangan laki-laki yang dimaksud oleh amirul mukminin. Ternyata dia adalah seorang tua Habsyi berkulit hitam, keriting rambutnya dan pesek hidungnya.

Apabila duduk laksana burung gagak yang berwarna hitam. Usai shalat, khalifah Sulaiman segera mengucapkan salam dan orang tua itu pun membalasnya dengan yang serupa. Kemudian sang khalifah pun menghadap kepadanya dan bertanya tentang manasik haji, rukun demi rukunnya. Dan orang tua tersebut menjawab setiap pertanyaan dengan rinci dan ia sandarkan pendapatnya kepada hadits Rasulullah Saw.

Setelah cukup dengan pertanyaannya, sang khalifah pun beranjak menuju tempat sa’i. Di tengah perjalanan sa’i antara Shafa dan Marwah, kedua pemuda itu mendengar seruan para penyeru, “Wahai kaum muslimin, tiada yang berhak berfatwa di tempat ini kecuali Atha’ bin Rabbah. Jika tidak bertemu dengannya hendaknya menemui Abdullah bin Abi Najih.”

Seorang pemuda itu langsung menoleh kepada ayahnya sembari berkata, “Petugas amirul mukminin menyuruh manusia agar tidak meminta fatwa kepada seorangpun selain Atha’ bin Rabah dan temannya, namun mengapa kita tadi justru datang dan meminta fatwa kepada seorang laki-laki yang tidak memberikan prioritas kepada khalifah dan tidak pula memberi hak penghormatan khusus kepada khalifah.”

Sulaiman berkata kepada putranya, “Wahai anakku, pria yang kamu lihat dan engkau melihat kami berlaku hormat di hadapannya tadilah yang bernama Atha’ bin Rabah, orang yang berhak berfatwa di masjid al-Haram. Beliau mewarisi ilmu Abdullah bin Abbas dengan bagian yang banyak.”

Kemudian beliau melanjutkan, “Wahai anakku, carilah ilmu, karena dengan ilmu rakyat bawahan bisa menjadi terhormat, para budak bisa melampaui derajat para raja.” (Disadur dari kitab Shuwaru min Hayati at-Tabi’in karya Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya).

Ilmu, Pelita Kemuliaan

Sesungguhnya kemuliaan bukan hanya milik orang yang bertahta atau berharta. Bukan pula milik para rupawan dan memiliki popularitas. Tetapi, kemuliaan bisa diraih oleh setiap hamba. Ia bisa diraih oleh orang bawahan, rakyat jelata, bahkan oleh budak sekalipun.

Kisah di atas bukti nyata bahwa kemuliaan bisa diraih oleh siapa saja. Betapa uniknya seorang hamba bersahaja seperti Atha’ bin Rabah yang dalam status sosial dia termasuk orang rendahan bahkan pernah berstatus sebagai budak, tapi kemuliaannya menjulang tinggi. Apa sesungguhnya yang istimewa pada diri Atha’ bin Rabah?

Sementara di masa kecilnya, dia hanyalah seorang budak milik seorang wanita penduduk Mekkah. Dia juga bukan sosok yang rupawan.

Yang istimewa pada diri Atha’ adalah karena ilmu yang dimilikinya. Berkat ilmunya itu dia disegani dan dinanti fatwa-fatwanya. Dengan ilmunya itu dia berada pada puncak kemuliaan. Hal itu diakui oleh Abdullah bin Umar r.a.

Suatu ketika Abdullah bin Umar r.a. berkunjung ke Mekkah untuk umrah. Orang-orang mengerumuni beliau untuk menanyakan persoalan agama dan meminta fatwa kepada beliau, lalu beliau berkata : “Sungguh aku heran kepada kalian wahai penduduk Mekkah, mengapa kalian mengerumuni aku untuk bertanya tentang masalah-masalah tersebut padahal di tengah-tengah kalian ada Atha’ bin Rabbah.”


Itulah istimewanya ilmu. Dengannya orang biasa bisa berjaya. Rakyat bawahan menjadi bermartabat. Seseorang bekas budak menjadi terhormat melampaui derajad para raja. Dan apa yang diraih Atha’ bin Rabah merupakan bukti kebenaran janji Allah SWT dalam firman-Nya,

يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ

“……niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Al-Mujaadilah : 11.* Masrokan, Pengasuh Pesantren Hidayatullah Kendari, Sulteng

No comments: