Gagal Paham Kaum Feminis tentang Jilbab
Muhammad Kholid
Fatima Mernissi, Sa’id al-Asmawi, Jamal al-Bana, Muhammad Syahrur dan lainnya tidak bisa disebut tafsir karena menyalahi kaedah ilmu tafsir dan tidak memenuhi syarat sebagai mufassir
BEBERAPA hari yang lalu beredar foto Kartini berjilbab. Meskipun foto tersebut sangat terlihat hasil editan dan terbukti hoaks. Kita tidak membagasa soal apa benar Kartini berjilbab, tapi menarik bagi kita untuk menimbang kembali argumen kelompok feminis mengenai jilbab.
Mengingat Kartini adalah salah satu perempuan yang ditokohkan oleh kaum feminis Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kaum feminis untuk mendekonstruksi syari’ah adalah dengan mempertanyakan kembali syari’at Jilbab.
Ketika mereka menafsirkan al-Qur’an, metodologi yang digunakan biasanya dalah hermenutika, seperti yang dilakukan oleh Amina Wadud dengan ‘Hermeneutika Tauhid’-nya (tentu konsepsi tauhid di sini berbeda dengan apa yang biasa kita pahami saat ini).
Jika ada ayat atau penafsiran atas ayat yang tidak sesuai dengan ideologi feminisme, yakni tidak menyetarakan antara laki-laki dan perempuan, maka dikontektualisasikan dengan reinterpretasi atas-ayat tersebut, sehingga tidak bias gender. Salah satu syari’at yang dianggap bias gender adalah syari’at tentang hijab.
Fatima Mernisi, seorang tokoh feminis asal Maroko yang dipujua juga di Indonesia, mengatakan bahwa lahirnya konsep hijab merupakan simbol kemunduran bagi kaum perempuan untuk mendapatkan kesetaraan sosial dan perlakuan (Fatim Mernissi, Perempuan di Dalam Islam, terj, Yaziar Radianti, 1994, hal. 121).
Dalam menafsirkan Surah al-Ahzab : 53, Mernissi hanya membatasi makna hijab sebagai tirai penghalang. Ia juga menganalogikan istilah hijab tersebut dengan istilah hijab yang ada dalam ilmu tasawuf.
Menurutnya, hijab dalam dunia tasawuf identik dengan hal yang negatif. Dalam dunia tasawuf, orang yang tersingkap dari ma’rifatullah, disebabkan hatinya terhijab (mahjub) dari cahaya kebenaran.
Untuk memperkuat argumennya, Mernissi menambahkan bahwa ‘disyari’atkannya hijab hanya untuk membedakan antara perempuan merdeka dan budak’. Sehingga jika sekarang sudah tidak ada budak, maka tidak diperlukan lagi syari’at hijab. Pada kesimpulannya, Mernisi berpendapat bahwa tradisi hijab tidak ada kaitannya dengan kesucian dan kemuliaan perempuan, bahwa hijab adalah wujud dari kemunduran sikap sosial bagi perempuan.
Fatima Mernisi dalam kajiannya hanya terfokus pada Surah al-Ahzab : 53, sehingga ia mengabaikan ayat lainnya yang mewajibkan jilbab/khimar (QS: al-Ahzab : 59 dan an-Nur : 31).
Muhammad Sa’id Al-Asymawi, mantan Ketua Pengadilan Tinggi Mesir, memiliki pendapat yang senada dengan Mernisi. Menurutnya, hijab bukanlan kewajiban agama, tapi hanya sebatas tradisi masyarakat (laisa fardhan diniyan lakinnahu ‘adatun ijitima’iyyatun).
Senada dengan Mernissi, al-Asymawi juga berpendapat bahwa disyari’atkannya hijab hanya untuk membedakan antara perempuan merdeka dan budak. Dahulu para perempuan jika ingin buang hajat, mereka harus pergi ke tempat sepi, maka perlu adanya hijab untuk menutup diri mereka. Adapun sekarang dengan mudahnya akses kamar mandi, syari’at hijab sudah tidak diperlukan lagi.
Jamal Al Banna, adik Hasan Al Banna menulis buku berjudul al-Mar’ah al-Muslimah Baina Tahriri Ulama wa Taqyiidi al-Fuqoha. Jamal berkesimpulan bahwa al-Quran tidak menyuruh secara jelas tentang wajibnya jilbab kecuali hanya menutup celah-celah dada dan menurunkan pakaian. Sedangkan penutupan kepala atau menutup rambut dengan kerudung/kain telah di dipahami untuk perempuan sebagaimana dipahaminya sorban/imamah untuk laki-laki yakni sebatas menutup kepala dan perlindungannya tanpa adanya unsur ibadah.
Yang lebih ekstrim lagi, Muhammad Syahrur, seorang profesor dibidang pertanahan dan bangunan asal Suriah, tetapi rajin membahas syariah. Dalam bukunya Nahwa Ushul al-Jadidah li al-Fiqh al-Islamy ia membuat teori baru yang disebut dengan teori hudud (batas). Menurutnya, aurat itu memiliki batas atas (had a’la) dan batas bawah (had adna). Batas atasnya adalah ma dhahara minha meliputi wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. Sedangkan batas bawahnya adalah anggota badan yang masuk kategori juyub (lobang) yaitu meliputi batas kemaluan, pantat, lubang dada dan ketiak.
Jadi menurutnya, jika seseorang perempuan melampaui batas atas (had a’la), maka ia telah melewati batas. Adapun perempuan telanjang tidak menjadi masalah, selama tidak melampui batas bawah (had adna).
Ijma’ Ulama
Telah menjadi ijma para ulama baik dari kalangan ahli tafsir, fiqh, hadist dan tasawuf bahwa rambut perempuan wajib ditutup jika berhadapan dengan orang yang bukan muhrim, karena rambut perempuan termasuk perhiasan yang disebutkan dalam Surah an-Nur : 31
وَقُل لِّلْمُؤْمِنَٰاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَٰرِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
Artinya “Katakanlah kepada perempuan yang berimana; hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihat kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecual yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya”.
At-Thabary ketika menafsirkan ayat tersebut menyatakan “hendaknya mereka melemparkan khimah-khimar mereka di atas celah pakaian mereka supaya mereka bisa menutupi rambut, leher, dan anting-anting mereka” (Jami’ul Bayan 17/262). Tafsir ayat an-Nur : 31 yang senada bisa dilihat dalam Tafsir al-Baghawy, Tafsir al-Alusy, Fathul Qodir dll).
Adapun anggapan al-Asymawi yang mengatakan bahwa penutup rambut (red; khimar) adalah produk budaya hanyalah asumsi belaka. Karena faktanya para perempuan jahiliah tidaklah menggunakan khimar. Seperti yang telah di jelaskan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya mengenai Surah an-Nur : 31. Beliau menyatakan bahwa khimar, nama lainnya adalah al-Maqani, yaitu kain yang memiliki ujung-ujung yang dijulurkan ke dada perempuan, untuk menutupi dada dan payudaranya, hal ini dilakukan untuk menyelisihi syi’ar perempuan jahiliyah karena mereka tidak melakukan yang demikian, bahkan perempuan jahiliyah dahulu melewati para lelaki dalam keadaan terbuka memperlihatkan lehernya dan ikatan-ikatan rambutnya, dan anting-anting yang ada di telinganya. (Dalam Tafsir Ibn Katsir 11/252).
Hal ini juga dipertegas dalam al-Qur’an dengan Surah al-Ahzab : 33 yang berbunyi, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”.
Dalam Surah al-Ahzab : 59 dijelaskan istilah lain berupa jilbab. “ Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan ‘jilbab’-nya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir menjelaskan makna jilbab adalah pakaian diatas khimar (Tafsir Ibnu Katsir 11/252). Al-Baghawy mengatakan jilbab, nama lainnya adalah al-Mula’ah, adalah dimana perempuan munutupi dirinya dengannya, dipakai di atas ad-Dir (gamis/baju panjang dalam/daster) dan al-Khimar.
Senada dengan itu, al-Qurthuby mendefinisikan jlbab sebagai kain yang lebih besar dari khimar….dan yang benar bahwasanya jilbab adalah kain yang menutup seluruh badan (dalam al-Jami’ li Ahkamil Qur’an 17/230).
Ayat ini mematahkan argumen kaum feminis seperti yang didengungkan oleh Jamal al-Bana bahwa tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang menjelaskan secara jelas akan syari’at menggunakan jilbab. Surah an-Nur ayat 31 dan al-Ahzab : 59 adalah dalil yang digunakan jumhur ulama atas disyariatkan menutup rambut bagi kaum perempuan.
Empat Mahzab
Para ahli fiqh dari empat mazhab besar juga telah sepakat bahwa perempuan wajib menutup rambutnya. Syeikh Wahbab Zuhaili dalam kitabnya al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu merangkum pendapat empat mazhab mengenai syariat tentang aurat perempuan. Semua tidak ada perbedaan soal wajibnya menutup aurat.
Dalam Mazhab Hanafi, perempuan merdeka auratnya adalah seluruh badan sampai rambut, kecuali telapak tangan, kaki bagian dalam dan luar. Mazhab Maliki berpendapat bahwa aurat perempuan merdeka adalah seluruh badan selain muka dan kedua telapak tangan. Mazhab Syafi’i menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan selain muka dan kedua telapak tangan bagian luar dan dalam. Sedangkan Mazhab Hambali berpendapat bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan selain muka, tengkuk, dua tangan, kaki dan betis.
Jadi para ulama sepakat bahwa rambut adalah aurat bagi semua perempuan. Syari’at ini juga tidak hanya terbatas pada zaman Rasulullah ﷺ ketika masih ada pembedaan antara perempuan merdeka dan budak. Karena qaidah yang digunakan adalah al-ibratu bi umumi al-lafdz la bikhusus as-sabab.
Meskipun saat ini tidak ada lagi budak, syariat tentang menutup aurat tetaplah ada. Pendapat jumhur ulama ini juga mematahkan pendapat beberapa cendikiawan yang mengatakan bahwa syari’at jilbab adalah permasalan khilafiyah. Seperti contoh yang dituliskan oleh Dr Quraish Shibah bahwa “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas. Oleh karena itu, tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat perempuan merupakan salah satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi kafir mengkafirkan.” (Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Jakarta: Mizan, 1996), cet. XIII, hal. 179.
Sebuah hukum jika sudah menjadi ijma’ maka wajib untuk mentaatinya. Para shahabiyah ketika mendengar ayat tetang disyariatkannya jilbab langsung menjalankannya, “Bahwasannya ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata : “Ketika turun ayat ‘dan hendaklah mereka menutupkan “khumur” –jilbab- nya ke dada mereka’ maka para perempuan segera mengambil kain sarung, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai jilbab.” (HR. Bukhori).
Dan pada intinya, bagi siapa saja yang ingin menafsirkan al-Qur’an, diharuskan terlebih dahulu menguasai ilmu tafsir dan telah memenehui kriteri sebagai ahli tafsir. Kaum feminis yang menafsirkan al-Qur’an seperti yang dilakukan Fatima Mernissi, Sa’id al-Asmawi, Jamal al-Bana, Muhammad Syahrur dan lainnya tidak bisa disebut tafsir karena menyalahi kaedah ilmu tafsir dan tidak memenuhi syarat sebagai mufassir. Kalau pendapat mereka masih mau dianggap tafsir, kategorinya masuk ke tafsir bi ar-ra’yi al-fasid. Wallahu a’lam.*
Penulis adalah founder at-Tanwir dan Peneliti The Center for Gender Studies
No comments:
Post a Comment