Khairiyah Binti KH Hasyim Asy'arie, Penggagas Madrasah Putri
Salah seorang anak Hadratussyekh Hasyim Asy'arie adalah Khairiyah Hasyim. Perempuan itu digelari berjuang tidak hanya di Tanah Air, melainkan juga luar negeri.
Untuk diketahui, dialah ulama perempuan Indonesia yang pertama kali menggagas madrasah banat di Arab Saudi. Melalui lembaga itu, ia bervisi agar kaum hawa dapat menempuh pendidikan yang layak, sebagaimana halnya kaum pria.
Riwayat kehidupannya termaktub dalam buku berjudul Nyai Khairiyah Hasyim Asy’ari: Pendiri Madrasah Kuttabul Banat di Haramain. Khairiyah lahir di Jombang (Jawa Timur) pada 1906. Ia adalah anak kedua dari 10 orang bersaudara dari pasangan KH Hasyim Asy’arie dan Nyai Nafiqah.
Semaca kecilnya, Khairiyah mempelajari Islam dengan penuh ketekunan. Kepada ayahandanya, ia belajar banyak tentang dasar-dasar agama ini. Ia mengaji sejumlah kitab kuning sehingga dirinya menjadi sosok perempuan yang alim. Ketika ada satu hal yang belum dipahaminya, maka ia bertanya langsung kepada bapak tercinta.
Menikah
Saat masih semangat-semangatnya belajar, Kiai Hasyim kemudian menjodohkan Khairiyah dengan salah seorang santri seniornya. Lelaki muda ini dikenal alim dalam berbagai disiplin ilmu agama. Namanya, Ma’shum Ali. Ia berasal dari Gresik. Menurut Kiai Hasyim, pemuda ini cerdas serta memiliki corak berpikir yang agak eksak.
Dalam buku Pesantren Sedang Melambung dijelaskan, Kiai Hasyim memang sudah menyiapkan penerus perjuangannya. Tidak hanya dari kalangan keluarga atau putra-putranya sendiri. Sang hadratussyekh pun kerap memantau santri-santri yang menonjol dalam ilmu. Beberapa di antara mereka dipungutnya sebagai menantu. Kiai Ma’shum termasuk di antara mereka yang beruntung itu.
Pernikahan antara Ma’shum Ali dan Khairiyah berlangsung pada 1919. Saat itu, Khairiyah berusia 13 tahun. Pada masa awal membina rumah tangga, Khairiyah masih tinggal di Pesantren Tebuireng. Allah SWT mengaruniakan bagi mereka sembilan orang anak. Mereka adalah Hamnah, Abdul Jabbar, Abidah, Ali, Jamilah, Mahmud, Karimah, Abdul Aziz, dan Azizah. Bagaimanapun, yang hidup hingga dewasa hanya dua orang, yaitu Abidah dan Jamilah.
Hijrah ke Haramain
Pernikahan Nyai Khairiyah dengan Kiai Ma’shum Ali merupakan langkah awal pendirian Pondok Pesantren Seblak Jombang. Letaknya tak jauh dari kompleks Tebuireng. Saat mengembangkan pesantren tersebut, Nyai Khairiyah dan suaminya mendapatkan ujian yang begitu berat.
Kiai Ma’shum menderita sakit paru-paru dengan waktu yang lama. Akhirnya, pria tersebut wafat dalam usia 33 tahun, tepatnya pada 8 Januari 1933.
Kepergian sang suami menjadi pukulan berat bagi Khairiyah. Ia menjadi janda, padahal usianya yang masih relatif muda, yaitu sekitar 27 tahun. Sebagai seorang ayah, Kiai Hasyim pun merasa prihatin sehingga ingin segera mencarikan jodoh bagi putrinya itu.
Setelah masa iddah-nya selesai, Khairiyah kemudian dipinang oleh KH Abdul Muhaimin al-Lasem. Duda tersebut merupakan seorang ulama asal Jawa Tengah yang tinggal di Makkah. Sebab, di tanah suci itulah ia berprofesi sebagai pengajar. Mendengar kabar pinangan tersebut, Kiai Hasyim pun merasa sangat bahagia karena kembali mendapatkan menantu yang alim lagi.
Acara ijab kabul pernikahan antara Khairiyah dan Kiai Muhaimin diselenggarakan pada 1938. Setelah kembali berstatus istri, Khairiyah lantas berangkat ke Makkah untuk menemani suaminya berdakwah.
Gagasan sekolah khusus perempuan
Dengan menjadi istri seorang pengajar, kualitas keilmuan Nyai Khairiyah semakin terasah. Sebab, pasangannya itu merupakan seorang mudir ‘am di Darul Ulum, Haramain. Kiai Abdul Muhaimin juga duduk sebagai ketua Majelis Raudlatul Munadzirin, sebuah forum diskusi yang membahas masalah fikih. Peserta forum tersebut terutama berasal dari kalangan ulama dan pelajar Melayu yang menempuh studi di Hijaz.
Di Tanah Suci, Kiai Abdul Muhaimin tidak hanya mengajar para pelajar dari Nusantara, tetapi juga dari mancanegara. Oleh karena itu, Nyai Khairiyah pun terbawa arus dengan lingkungan suaminya yang penuh dengan kajian keilmuan itu. Alhasil, putri Hadratussyekh Hasyim Asy’arie itu menjadi lebih aktif lagi dalam dunia pendidikan.
Seiring waktu, Khairiyah mengamati betapa kaum perempuan di Arab belum mencapai taraf yang optimal dalam menuntut ilmu. Keadaan ini cukup timpang bila dibandingkan dengan pria. Padahal, pendidikan juga penting bagi kaum hawa.
Maka dari itu, Khairiyah kemudian mengusulkan kepada suaminya agar mendirikan sekolah khusus perempuan. Lembaga itu kelak dinamakan Madrasah Banat.
Setelah melalui pertimbangan yang matang, akhirnya berdirilah Kuttabul Banat di Arab Saudi pada 1942. Madrasah tersebut turut melengkapi Darul Ulum, yang selama ini hanya menyediakan pendidikan bagi kaum laki-laki.
Sejak merintis madrasah itu, Khairiyah dipanggil dengan sebutan syaikhah. Dalam perjalanannya, lembaga tersebut memunculkan pesantren atau lembaga pendidikan putri lainnya di Arab Saudi. Misalnya, institusi yang dibangun Syekh Husein al-Palimbani dan Syekh Yasin Ibn Isa al-Fadani bersama istri masing-masing.
No comments:
Post a Comment