Physical Distancing Zaman Ibnu Hajar Al-Asqalani


Sikap Ahlus Sunnah adalah tengah-tengah antara Jabariyah dan Qadariyah.

Tulisan ini bukan hendak menceritakan kejadian baru-baru ini terkait corona atau covid-19 yang memerlukan tindakan pencegahan seperti Physical distancing.

Jauh sebelum itu, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalany dalam buku “Badzlu al-Maa’un fii Fadhli ath-Thaa’uun” (328-330) telah menceritakan betapa bahayanya berada dalam kerumunan di saat menjangkitnya wabah.

Bahasa kita sekarang adalah Physical Distancing atau mengisolasi diri menjaga jarak dan tidak mendekati kerumanan sebagaimana anjuran pemerintah dan majelis ulama, bahkan pemuka agama lain, meski itu dalam ranah ibadah.

Pada tahun 749 H, saat wabah tha’un menjangkiti wilayah Damaskus, ada sekelompok masyarakat berikut para tokoh dalam negeri yang pergi ke padang pasir untuk berdoa meminta hujan, karena pada waktu itu kondisinya lagi kemarau panjang. Acara berjalan lancar sebagaimana mestinya.

Di luar dugaan, dampak dari perkumpulan ini membuat penyebaran wabah tha’un semakin pesat. Padahal, sebelum mereka berkerumun untuk shalat istisqa, wabah masih tidak terlalu banyak penyebarannya.

Penulis jadi ingat hadits Nabi Muhammad:

فِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ فِرَارَكَ مِنَ الْأَسَدِ

“Jauhilah penyakit kusta sebagaimana engkau lari dari kejaran singa.” (HR. Ahmad) Hadits ini secar implisit mengisyaratkan betapa pentingnya menjaga jarak terhadap penyakit menular. Apalagi, ketika sudah menjadi pandemic global.

Lanjut ke kisah Ibnu Hajar. Bahkan kata beliau, peristiwa serupa pernah terjadi pada zaman beliau. Pada tanggal 27 Rabiul Akhir tahun 833 H, kota Kairo terjangkit wabah tha’un.

Awalnya, yang meninggal akibat dampak wabah ini tidak sampai 40 orang. Namun, kondisinya cepat berubah saat ada orang-orang yang keluar ke padang pasir pada tanggal 4 Jumadil Ula. Tepatnya setelah puasa 3 hari sebagaimana kasus dalam shalat istisqa tadi.

Di situ mereka berkumpul, berdoa dan berdiam sekitar satu jam lalu mereka kembali ke rumah masing-masing. Akibatnya, tidak sampai satu bulan jumlah orang yang mati bertambah banyak. Kenaikannya begitu drastis. Awalnya tidak sampai 40, namun setelah kejadian itu menjadi setiap hari yang mati lebih dari seribu, kemudian terus bertambah.

Akibat ada kejadian itu, ulama setempat diminta berfatwa mengenai hukum melakukan ibadah tersebut bersamaan dengan merebaknya wabah di dalam negeri. Sebagian berpendapat hal itu boleh dan disyariatkan dengan menggunakan dalil-dalil umum.

Sementara ulama yang lain berpendapat lebih baik tidak berkumpul dulu karena khawatir terjadi fitnah dan bisa menghindari bahaya penyularan wabah.

Ibnu Hajar Al-Asqalani setuju dengan pendapat kedua ini. Sembari menambahkan bahwa beliau belum menemukan nash tegas dan khusus terkait amalan berkumpul di gurun untuk berdoa meminta hujan. Bahkan tak canggung beliau mengatakan amalan itu bid’ah.

Bahkan, jauh sebelum zaman Ibnu Hajar, Amru bin Ash Radhiyallau ‘anhu sudah melakukannya. Dalam hadits riwayat Ahmad diceritakan intruksi Amru melalui pidato. Katanya, “Wahai manusia! sesungguhnya jika wabah ini menjangkiti (di suatu negri) maka dia akan melahap sebagaimana menyalanya api, maka menghindarlah kalian ke gunung-gunung.”

Orang-orangpun keluar berpencar darinya, kemudian Allah melenyapkan wabah tersebut dari mereka. Ketika pendapat ‘Amru tersebut sampai kepada Umar bin Khaththab, demi Allah dia tidak membencinya. Ini menunjukkan betapa pentingnya Physicaldistancing di saat pandemi global. Apalagi pemerintah dan MUI sudah bersepakat untuk masalah itu.

Sebagai catatan penting, ketika orang melakukan proteksi atau pencegahan seperti ini, bukan berarti takut kepada corona atau lari dari takdir Allah. Sebab, ada banyak hadits Nabi yang menerangkan betapa pentingnya upaya preventif agar bisa selamat dari wabah.

Sikap Ahlus Sunnah adalah tengah-tengah antara Jabariyah dan Qadariyah. Bagi yang berideologi jabariyah, akan menafikan usaha karena semua atas kehendak Allah. Akibatnya, ketika ada wabah, pasrah mutlak. Kalau Allah menghendaki sakit, walau tidak berada di kerumunan pasti sakit. Sebaliknya, kalau tidak dikehendaki sakit, meski di kerumunan pasti tidak akan sakit.

Sedangkan Qadariyah berpandangan manusialah yang menjadi pusat penentu ikhtiyar. Sebagai subyek yang menentukan ikhtiyar. Orang yang berideologi ini, di saat pandemi seperti ini fokusnya hanya bagaimana usaha maksimal agar terbebas dari pandemi. Mereka ini mendewakan usaha manusia.

Adapun Ahlus Sunnah berada di titik tengah. Tetap meyakini bahwa segala sesuatu itu tidak lepas dari takdir dan ketetapan Allah, tapi juga tidak menafikan usaha. Meski yakin sepenuhnya wabah ini datangnya dari Allah, tapi mereka juga berusaha untuk melindungi diri dari wabah. Sebagaimana kata Umar ketika ditanya apakah mau lari dari takdir Allah oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Beliau menjawab, “Aku lari dari takdir Allah (yang buruk), menuju takdir Allah yang lain (yang baik).”*

Rep: Insan Kamil

Editor:

No comments: