Ramadhan Bulan Pembelaan Terhadap Islam
Bulan Ramadhan memang dalam sejarahnya adalah bulan perjuangan untuk menegakkan yang haq dan menolak kebatilan.
Bulan Ramadhan mengingatkan kita pada suatu komite bersejarah yang dinamakan “Komite Pembela Islam” di Bandung.
Menurut catatan Ajip Rosidi dalam buku “M. Natsir Sebuah Biografi” (1990:18) komite ini didirikan di Bandung pada bulan Ramadhan tahun 1347 H (Maret 1929).
Komite ini diinisiasi oleh sejumlah muslimin –terutama dari lingkungan Persatuan Islam (Persis)– yang kala itu mencemaskan nasib agama Islam yang sering menjadi bahan cemoohan, serangan, tuduhan bahkan celaan bagi oleh para pembencinya.
Saat itu, serangan terhadap agama Islam menggunakan berbagai media. Bisa melalui lisan, tulisan dalam mimbar gereja, ceramah-ceramah, pelajaran sekolah atau berupa karangan yang dimuat dalam surat kabar, majalah atau buku dalam berbagai bahasa yang tujuannya menanamkan kebencian dalam jiwa pribumi terhadap Islam.
Akhirnya kumpulan itu –di dalamnya ada A. Hassan dan kawan-kawan—mengumpulkan berbagai buku dan karya apapun yang berusaha untuk menyudutkan Islam yang kemudian dijawab melalui penerbitan buku, majalah, selebaran dan semacamnya. Demikian pula melalui berbagai pertemuan dan ceramah-ceramah.
Untuk sedikit menyebut nama, saat itu ketua komitenya adalah Haji Zamzam. Wakilnya Haji Mahmud. Penasihatnya adalah A. Hasan. Sedangkan pengurus atau anggotanya adalah Sabirin, Sjahbuddin Latif, I. Tjai, Ab. H. Zanzibar.
Dari komite inilah selanjutnya lahir majalah Pembela Islam yang saat itu berada di garda depan dalam menghadang berbagai serbuan terhadap Islam. Menariknya, ini terjadi di bulan Ramadhan.
Tempat yang menjadi penerbitan majalah ini basecamp-nya di gang kecil yang dikenal dengan sebutan Gang Belakang Pakgede yang tidak lain di situ merupakan tempat tinggal A. Hassan. Di sinilah proses kreatif dalam masalah penerbitan dan berbagai pembelaan terhadap Islam yang pada tahun itu intensitasnya sangat tinggi sampai pada akhirnya dilarang terbit oleh kolonial.
***
Bulan Ramadhan memang dalam sejarahnya adalah bulan perjuangan untuk menegakkan yang haq dan menolak kebatilan.
Pada umumnya pembaca mungkin sudah tahu bahwa pada bulan Ramadhan, terjadi pertempuran besar dan sengit yang diabadikan al-Qur`an dengan sebutan al-Furqan. Allah berfirman:
وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
“dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan , yaitu di hari bertemunya dua pasukan.” (QS. Al-Anfal [8]: 41)
Pada tanggal 17 Ramadhan –bertepatan dengan diturunnya al-Qur`an– Nabi dan para sahabat berjuang habis-habisan untuk melawan kebatilan setelah bertahun-tahun di Mekah Islam dihina, didiskreditkan, dicemooh, dimanipulasi, dicitrakan buruk nilai-nilanya.
Maka tidak salah jika pada bulan Ramadhan disebut sebagai bulan pembelaan. Pembelaan umat Islam terhadap agama Islam yang haq, dari berbagai serangan kebatilan yang gencar dalam menyerangnya.
Dalam perjuangan ini, ending dari yang haq adalah sama, yaitu : kemenangan. Allah berfirman:
وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (QS. Al-Isra [17]: 81).
Ya. Jika cahaya seterang mentari al-Haq itu sudah terbit, maka segenap kelamnya kebatilan akan sirna.
Peristiwa berdirinya Komite Pembela Islam dan majalah Pembela Islam-nya, serta peristiwa pembelaan terhadap kebenaran pada perang Badar, setidaknya membuat umat Islam selalu waspada dan peka terhadap para pembenci Islam.
A. Hassan pernah berkata kepada Datuk Sati Alimin, “Bila Tuan dengan Islam direndahkan orang di depan Tuan, maka saat itu juga dengan cepat Tuan harus berpikir; Tuan orang Islam atau tidak? Kalau Tuan merasa bukan orang Islam, masa bodo…habis perkara. Tapi kalau Tuan merasa sebagai orang Islam… maka siapa lagi yang akan bela Islam di saat seperti itu selain Tuan? Bulatkan tekad, Islam harus Tuan bela!” (Artawijawa, 2014: 4).
Bisa juga meminjam istilah Hamka terkait diksi ghirah (rasa cemburu: termasuk dalam hal agama). “Jika ghirah telah hilang dari hati,” tulis beliau, “gantinya hanya satu, yaitu kain kafan tiga lapis karena kehilangan ghirah sama saja dengan mati.”
Tulisan ini akan penulis tutup dengan statemen Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu:
إذا لعن آخر هذه الأمة أولها فمن كان عنده علم فليظهره، فإن كاتم العلم يومئذ ككاتم ما أنزل على محمد صلى الله عليه وسلم.
“Jika generasi akhir umat ini melaknat generasi awalnya, maka barangsiapa memiliki ilmu maka tampakkan (untuk membela kebenaran). Karena, orang yang menyembunyikan ilmu pada waktu itu, seperti menyembunyakn apa yang diturunkan (Allah) kepada Muhammad ﷺ.”
Bila kita tahu kebenaran, kemudian kita diam saja, padahal mampu menjawab atau bahkan cuek saja selama tidak membahayakan diri ketika Islam diserang, maka statemen Jabir bin Abdullah sangat masuk nalar keislaman. Bisa jadi, kita termasuk orang yang menyembunyikan kebenaran sebagaimana orang yang menyembunyikan kebenaran wahyu.*
No comments:
Post a Comment