Ramadhan, Cinta dan Jihad
Jika jihad ini dipahami sebagai manivestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dalam 24 jam dihabiskan semua untuk ibadah, itu tidak akan membuatnya keberatan.
PUASA Ramadhan, bagaimanapun tidak bisa dilepaskan dengan semangat jihad. Hal ini tidak ada hubungannya dengan narasi belakangan yang mereduksi jihad sebagai semangat brutal dan destruktif. Jihad hubungannya dengan Ramadhan adalah cara terbaik untuk mendapat pertolongan dan kemenangan besar dalam hidup.
Secara historis hal ini dapat ditemukan dalam dua sejarah besar. Pertama, berupa kemenangan spektakuler umat Islam atas orang kafir Quraisy dalam Perang Badar. Kedua, momentum dimana dakwah Islam sampai pada titik paripurna yang ditandai dengan fathu Makkah.
Oleh karena itu wajar jika sebagian kaum Muslimin menghubungkan Ramadhan dengan semangat jihad, setidaknya dalam jihad menahan hawa nafsu, jihad membaca Al-Quran, serta jihad dalam makna yang lebih luas lagi dalam segenap sisi kehidupan. Guru dengan etos keilmuannya, pedagang dengan etos usaha dan sedekahnya, dan lain sebagainya.
Nilai Puasa
Puasa Ramadhan, kata Imam Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin adalah seperempat keimanan. Puasa juga pintu ibadah. Al-Ghazali kemudian mengutip hadits Nabi, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap sesuatu mempunyai pintu. Dan, pintu ibadah adalah puasa.” (HR. Ibn Al-Mubarak).
Hal itu menunjukkan bahwa puasa Ramadhan merupakan amalan penting, maka tidak heran jika teladan dari Nabi dan para sahabat kala Ramadhan adalah jihad, kesungguhan, etos perjuangan, keuletan, kegigihan, dan semua syarat penting untuk mencapai kemenangan, keberhasilan, dan kesuksesan gilang-gemilang.
Jika disebutkan bahwa puasa adalah seperempat keimanan, maka menjalankan ibadah, amal sholeh, apalagi jihad di bulan Ramadhan maka benar-benar akan melipatgandakan kekuatan diri seorang mukmin dalam mencapai kebaikan-kebaikan. Jadi, terbukti bahwa berpuasa di bulan Ramadhan lantas bersungguh-sungguh dalam perkara iman, maka semakin berkualitas puasa seseorang bahkan sangat mungkin ia akan memperoleh kemenangan nyata dalam hidupnya.
Dalam buku Kehidupan dalam Pandangan Al-Quran, Dr. Ahzami Samiun Jazuli menuliskan, “Siapapun yang memiliki keimanan di hatinya, maka ia akan mendapati cahaya dalam hidupnya. Dengan cahaya ini, maka ia akan memahami hakikat kehidupan, hakikat manusia dan segala hakikat atas semua peristiwa yang terjadi di dunia ini.
Dengan cahaya ini pula, maka seseorang pun akan memahami segala sesuatunya dengan bijak; memahami segala sesuatunya sesuai dengan prinsip sebab-akibat yang sesuai dengan hukum dan ketentuan umum yang telah ditetapkan-Nya. Dengan cahaya itulah, maka seseorang pun akan mampu mengenali semua tanda-tanda kekuasaan-Nya di balik semua peristiwa yang terjadi.”
Dalam kata yang lain, puasa di bulan Ramadhan memiliki nilai strategis dan menentukan. Dan, kapan puasa itu benar-benar sampai pada puncak tertingginya adalah ketika seseorang yang menjalani puasa menjelma menjadi pribadi bertaqwa.
Dilakukan dengan Cinta
Sebagian orang memandang jihad itu dengan otot, cenderung sangar, dan penuh emosi. Sekali lagi tidak.
Hamid Fahmi Zarkasyi dalam sebuah artikelnya menuliskan bahwa para ulama mengartikan jihad sebagai mencurahkan kemampuan, tenaga dan usaha untuk menyebarkan dan membela dakwah Islam serta mengalahkan (musuh). Bisa juga berarti menanggung kesulitan. Artinya, puasa Ramadhan 1441 H secara faktual memang membutuhkan jihad, karena umat Islam harus puasa dalam kondisi pandemi.
Dari makna ini dapat diambil kesimpulan bahwa jihad, lebih sering membutuhkan cinta daripada selainnya.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حماد بن زيد عن ثابت عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّاعَةِ فَقَالَ مَتَى السَّاعَةُ قَالَ وَمَاذَا أَعْدَدْتَ لَهَا قَالَ لَا شَيْءَ إِلَّا أَنِّي أُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَمَا فَرِحْنَا بِشَيْءٍ فَرَحَنَا بِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ قَالَ أَنَسٌ فَأَنَا أُحِبُّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ مَعَهُمْ بِحُبِّي إِيَّاهُمْ وَإِنْ لَمْ أَعْمَلْ بِمِثْلِ أَعْمَالِهِمْ
Sulaiman bin Harb telah menyampaikan kepada kami, dia mengatakan, ‘Kami diberitahu oleh Hammad bin Zaid dari Tsabit dari Anas Radhiyallahu anhu ,dia mengatakan bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasûlullâh ﷺ tentang hari kiamat.
Orang itu mengatakan, ‘Kapankah hari kiamat itu?’ Rasulullah ﷺ balik bertanya, ’Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari itu?’
Orang itu menjawab, ‘Tidak ada, hanya saja sesungguhnya saya mencintai Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya ﷺ.’
Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Anas Radhiyallahu anhu (Sahabat Rasulullah ﷺ yang meriwayatkan hadits ini) mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kebahagiaan sebagaimana kebahagiaan kami ketika mendengar sabda Rasulullâh , ‘Engkau akan bersama dengan orang yang engkau cintai.’
Cinta akan memudahkan seseorang untuk berjihad, karena cinta berarti seseorang akan senang melakukan apa yang diridhoi oleh yang dicintai. Seperti seorang anak akan senang membantu orangtuanya karena cinta kepada orangtuanya. Dan, anak itu tidak mau melakukan apa yang dibenci oleh orangtuanya. Semua dilakukan tentu saja dengan kesungguhan terbaik.
Jadi, jika jihad ini dipahami sebagai manivestasi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dalam 24 jam dihabiskan semua untuk ibadah, itu tidak akan membuatnya keberatan. Bahkan jika harus dilakuan sebulan penuh. Bahkan pada 10 hari terakhir Ramadhan, sesuai dengan kapasitas dan tugasnya dalam kehidupan ia akan jadikan sebagai momentum kian dekat, kian akrab dengan yang dicintainya.
Masalah cinta ini, diterangkan juga di dalam Al-Quran. وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ “Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah [2]: 165).
Menurut Ibn Katsir cinta itu hadir karena kesempurnaan pengetahuan mengenai diri-Nya, serta penegasan mereka kepada-Nya, mereka tidak menyekutukan-Nya dengan seuatu apapun. Sebaliknya mereka hanya beribadah kepada-Nya semata, bertawakal kepada-Nya, dan kembali kepada-Nya dalam segala urusan mereka.”
Oleh karena itu, keberhasilan Ramadhan kita sangat ditentukan oleh iman, ilmu, dan mujahadah di dalam mengenal Allah Ta’ala, sehingga lahir sebuah cinta dalam diri kita untuk bersungguh-sungguh alias berjihad di dalam melakukan apapun yang diridhai, dicintai, dan menjauhi apa yang dibenci oleh-Nya. Allahu a’lam.*/Imam Nawawi, Pemimpin Redaksi Majalah Mulia
No comments:
Post a Comment