Ramadhan yang Beradab


 Muhammad Syafii Kudo
Sebaik-baik cermin adalah perihidup para kaum salaf solihin. Dan yang terbaik tentu saja bercermin kepada perihidup Rasulullah ﷺ sang cermin para kaum salafu sholeh.

DIKISAHKAN  bahwa saat menjelang waktu berbuka puasa, Imam Malik Bin Anas menangis tersedu-sedu. Para muridnya keheranan dengan apa yang dilakukan oleh gurunya itu.

Kemudian mereka bertanya, “Wahai Guru,  kenapa anda menangis tersedu-sedu?”

“Aku malu kepada Rasulullah ﷺ Beliau adalah manusia terbaik yang menu berbuka puasanya hanya sedikit namun amalnya begitu banyak. Sedangkan aku adalah manusia yang hidangan berbuka puasanya sangat banyak namun amalku hanya sedikit.”

Tentu kisah nyata tersebut bukan menggambarkan sosok Imam Malik sebagai orang yang doyan makan atau yang semisalnya.

Justru kisah itu menggambarkan betapa tawadhu’ dan kuatnya ikatan emosional beliau dengan sang manusia terbaik, Rasulullah ﷺ.

Imam Malik selama hidupnya dikisahkan tidak pernah mau buang hajat di wilayah kota Madinah karena demi menghormati jasad Nabi Muhammad ﷺ dikebumikan di Bumi Madinah. Beliau rela keluar Kota Madinah jika tuntutan buang hajat itu datang.

Bahkan beliau dikisahkan juga tidak pernah mau menaiki kuda atau kendaraan lainnya juga tidak pernah memakai sandal jika sudah berada di Madinah.

Lagi-lagi hal itu beliau lakukan karena rasa hormat, cinta dan takdhim kepada Rasulullah ﷺ.

Hari ini kita banyak saksikan contoh yang begitu berlawanan dengan apa yang dilakukan oleh Imam Malik.

Jangankan mencontoh ketakdiman Imam Malik yang agak berat tersebut, untuk meniru cara berbuka puasa sajanya nampaknya kita masih kesulitan.


Imam Malik menangis karena malu kepada Nabi Muhammad ﷺ. Orang tak akan punya rasa malu manakala mereka tidak memiliki “cermin” untuk berkaca diri.

Sebaik-baik cermin adalah perihidup para kaum salaf solihin. Dan yang terbaik tentu saja bercermin kepada perihidup Rasulullah ﷺ sang cermin para kaum salafu sholeh.

Namun hari ini kita seolah kehilangan cermin. Atau bahkan mungkin salah memasang cermin.

Yang kita jadikan cermin bukan Rasulullah ﷺ dan para salaf sholeh namun para publik figur bentukan media. Kebanyakan orang tidak memahami adab dan ilmu melainkan hanya bermodal popularitas dan pengaruh di dunia media sosial.

Hingga apapun gaya hidup mereka kini kita tiru. Mulai cara ngabuburit hingga cara berbukanya kita jadikan kiblat. Di saat wabah pandemi yang makin memiskinkan rakyat tentu kita dituntut memiliki empati kepada sesama.

Apatah lagi di bulan Ramadhan yang memiliki misi edukasi berupa empati dan simpati sosial. Dan salah satu bentuk empati sederhana adalah berbuka puasa secara beradab.

Jika kita kesulitan untuk meniru kesederhanaan Rasulullah ﷺ dalam ihwal menu berbuka puasa yang hanya berupa air putih dan kurma saja, setidaknya ada adab yang masih bisa kita lakukan.

Berbagai menu berbuka yang variarif yang tersaji di meja makan baiknya dinikmati secara pribadi bersama keluarga saja.

Jangan lantas memfotonya dan membaginya di ruang publik media sosial demi berempati kepada mereka yang mungkin tak bisa menikmati hidangan berbuka puasa karena berbagai alasan yang menyertainya.

Ada satu wasiat penting dari Rasulullah ﷺ yang  patut kita renungi di zaman ini. Rasulullah ﷺ pernah berwasiat kepada sahabatnya, “Wahai Abu Dzar ! Jika kamu masak sayur, maka perbanyaklah kuahnya dan perhatikanlah tetanggamu.” (HR. Muslim)

Dan hadis yang serupa yang menyatakan, “Janganlah kamu menyakiti tetanggamu dengan bau masakan kuah yang direbus di dalam periukmu, kecuali kamu memberi kuah kepada tetanggamu sekedarnya.”

Di era media sosial ini tentu yang bisa “mengendus” bau hidangan kita bukan hanya tetangga dalam  lingkup sekampung namun seluruh dunia karena kita sudah hidup di zaman digital tanpa sekat fisik geografis.

Dan bagi kalangan yang kesulitan berbuka puasa, tentu unggahan foto atau video menu berbuka puasa lebih “menyakitkan” hati daripada sekedar bau masakan. Sebab unggahan itu lebih nyata dan lebih menggugah selera daripada sekedar bau masakan.


Maka menjadi manusia yang adil dan beradab tidak melulu lewat tindakan yang besar. Bahkan lewat cara sederhana semisal berbuka puasa pun kita bisa menerapkannya. Karena termasuk dikatakan adil manakala kita mampu menempatkan hak dari sesuatu sesuai kapasitas dan tempat yang layak bagi sesuatu itu.

Di saat pandemi wabah yang makin menyulitkan beban hidup rakyat itu kita harus bisa adil dalam menempatkan sikap dan laku kita.

Jaga empati dan simpati kepada sesama semisal dengan tidak melakukan swafoto hidangan berbuka kita adalah salah satu bentuk kita bisa berbuat adil karena mampu membaca keadaan zaman.

Mari jadikan Ramadhan ini sebagai madrasah perubah diri agar bisa menjadi insan yang beradab. Wallahu A’lam Bis Showab.*

Santri Kulliyah Dirosah Islamiyah Pandaan Pasuruan

No comments: