Sang Pangeran, Wine, dan Perempuan

Ilustrasi: Lukisan 'Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro', karya S. Sudjojono dari IG @Salimafillah
Sang Pangeran keluar dari Keraton dan mengobarkan perlawanan salah satunya karena merajalelanya budaya Bara

DARI  mana sumber pernyataan tentang Pangeran Diponegoro ‘gemar minum wine’ yang mencuat belakangan ini?

Babad Diponegoro yang ditulis Sang Pangeran dalam pengasingannya di Manado sama sekali tidak pernah menyinggung hal ini. Satu-satunya rujukan adalah jurnal Letnan Justus Heinrich Knoerle, seorang perwira berdarah Jerman yang mengawal keberangkatan Sang Pangeran dari Batavia ke Manado di atas kapal korvet bernama lambung Pollux, dari 4 Mei-13 Juni 1830.

Knoerle (1796-1833) dipilih konon karena ‘agak bisa’ berbahasa Jawa. “Selama itu saya memanggilnya Kanjeng Tuwan Pangeran, dan ia memanggil saya dengan ‘kowe’. Saya tanya dia, dan dia mengatakan artinya keluar dari hati yang tulus (manah waras) dan saya harus menganggapnya sebagai rasa ungkapan persahabatan,” tulis Knoerle dalam jurnalnya.

Di sini kita sudah bisa menerka seberapa kiranya kemampuan bahasa Jawa Knoerle. ‘Manah waras’ di sini tidak tepat diartikan ‘hati yang tulus’. Manah, lebih tepat diartikan ‘pertimbangan’, sementara waras bermakna ‘sesuai akal sehat’. Sepanjang perang, Diponegoro memang bicara kepada para perwira lawan yang dianggap lebih rendah (baik melalui surat maupun langsung) dengan bahasa Jawa Ngoko yang kasar. Kata ‘kowe’ menunjukkan Sang Pangeran menganggap lawan bicaranya tak sederajat dengan dirinya.

Kasihan Knoerle. Perwira ini nantinya akan mati muda di Bengkulu pada 1833 karena kekejemannya membakar kemarahan rakyat.

Kalau kita membaca Jurnal Knoerle, hampir keseluruhannya bermotif memberi kesan bahwa Sang Pangeran senang dengan pelayanannya dan bahwa dia sangat berguna dan berjasa dalam penugasannya. Tentu ini ditujukan untuk mendapatkan poin dari atasannya nanti.

Knoerle juga melaporkan bahwa di kapal, Sang pangeran terbaring lemah karena demam malaria serta muntah-muntah karena mabuk laut. Dalam Babadnya, Sang Pangeran menggunakan ungkapan ‘orang laknat’ dan ‘modar’ untuk menyebut kematian para awak dan opsir Belanda.

Nah, di sinilah kisah tentang wine itu bermula. Untuk mengurangi penderitaan Sang Pangeran, Knoerle menceritakan bahwa dia menawarkan ‘anggur putih yang manis’. Menurut Knoerle, Sang Pangeran yang dia laporkan biasanya ‘sangat fanatik pada agama dan dungu’ itu kala itu tidak keberatan meminum anggur putih tersebut karena dia telah diberitahu bahwa itu bukan anggur yang memabukkan, bahkan orang Eropa biasa meminumnya sebagai penawar jika mabuk Anggur Merah atau Madeira.

Lebih jauh Knoerle melaporkan bahwa merk anggur itu adalah ‘Constantijne’, sesuatu yang diidentikkan Sang Pangeran dengan Istanbul-Ngerum-Turki ‘Utsmani yang sering jadi patron rujukannya dalam berbagai hal, dari gelar hingga hierarkhi pasukannya.

Maka di sini kita menyimpulkan bahwa pertama; kredibilitas laporan Knoerle sejak awal lemah karena dia memang sedang berusaha ‘mencari kredit’ sebanyak-banyaknya pada atasan.

Kedua; jikapun laporan Knoerle bisa dipegang, maka kejadian ini tidak bisa disebut ‘kegemaran’. Di samping tidak ada sumber lain yang pernah melaporkan Diponegoro minum wine (Babad Manado, Babad Kedung Kebo, Babad Diponegoro Surakarta, Babad Diponegoro Suryongalam, Babad Diponegoro tulisan Gondokusumo, hingga laporan Cleerens, De Stuers, maupun De Kock), laporan Knoerle berkait konteks sakit malaria dan mabuk laut yang dialami Sang Pangeran.

Ketiga; kalaupun benar Pangeran meminumnya, wine ini pasti masuk dalam asumsi tidak haram menurut beliau, sebab: (i) tidak memabukkan, (ii) dimaksudkan untuk obat. Kedua hal ini sangat terkait dengan kehati-hatian beliau dalam halal-haram seperti terkonfirmasi dalam banyak kisah di berbagai sumber lain, sebagaimana Knoerle pun menyebutnya sebagai ‘fanatik’.

Keempat; walhasil, peletakan kata ‘gemar’ di depan ‘minum wine’ sangat misleading dan menyesatkan. Bahwa boleh jadi suatu kali beliau minum baik sengaja maupun karena khilaf; pastilah itu bukan karakter dan bukan pula hobi.

Kesalahfahaman sering terjadi dalam menafsir sejarah. Tapi jika yang dilakukan adalah penyalahfahaman, tentu itu suatu kejahatan intelektual. Hal lain misalnya soal kasus asumsi perselingkuhan dengan seorang Nyonyah Cina, seperti tertulis dalam Babad.

“Ana ing Daren punika, pan dalu kinen meteki, kang boyongan Nyonyah Cina. Kangjeng Sultan salah kardi, saking tyas mring kang rayi, kinarya panglipur wuyung.”

Artinya: “Di Kedaren itulah, pada suatu malam ada yang disuruh untuk memijat, seorang tawanan perempuan Tionghoa. Paduka Sultan berbuat salah, dari sangat rindunya pada istri tercinta, sebagai pengobat kasih yang tertahan.”

Inilah teks dalam Babad Dipanegoro tentang tawanan Tionghoa yang memijat Sang Pangeran. Adakah nada anti-tionghoa dan Xenofobia di teks tersebut seperti yang disimpulkan media tertentu kemarin? Sama sekali tidak.

Pada diri Sang Pangeran juga tidak kita jumpai kebiasaan berzina dari berbagai sumber, sehingga hal yang disesali ini pastilah dianggap sangat parah sebagaimana telah kami ulas dalam tajuk ‘Sang Pangeran, Xenofobia, De El El’. Terlebih status ‘budak tawanan perang’ telah memperjelas bahwa yang disesalkan bukan perkara haram, melainkan rasa bersalah pada istri.

Melangkah lebih jauh, saya diingatkan Kangmas Roni Sodewo (Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro) bahwa memaknai “salah kardi“, yang harfiahnya “berbuat salah” sebagai “hubungan seksual” juga hanyalah interpretasi beberapa peneliti, termasuk Prof Peter Carey. Betulkah sejauh itu? Boleh jadi, hanya dipijat itu sendiri pun beliau telah merasa “berbuat salah”, bukan?

Teks tembang tidak mengenal titik dan koma. Jadi “salah kardi” bisa disambung dengan kalimat di belakangnya, tapi juga bisa disambung dengan teks di depannya. Jadi kalau interpetrasi ekstrim “intercourse” itu mungkin; interpretasi “salah kardi” sebagai “hanya dipijat” itu juga sangat-sangat mungkin. Karena kalimat di belakang juga hanya menunjukkan tambahan penyesalan akibat rasa rindu yang sangat pada istri tercintanya; Raden Ayu Maduretno.

Mari terus belajar sejarah dan belajar dari sejarah. Sang Pangeran keluar dari Keraton dan mengobarkan perlawanan salah satunya karena merajalelanya budaya Barat (diksi Babad; ‘nginum lan anjrah cara Walandi) berupa mabuk-mabukan dan perzinaan. Kan jadi lucu, atau pasti karena motif tertentu, jika ada yang mencoba melabelkan dosa-dosa itu kepada yang berusaha melawannya.*

IG @Salimafillah

___

Ilustrasi: Lukisan ‘Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro’, karya S. Sudjojono

No comments: