Sayyidah Nafisah binti al-Hasan
Ketika Imam Syafi’i wafat tahun 204 H, sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa ke rumah Sayyidah Nafisah agar beliau bisa ikut menyolatkan dan mendoakannya.
Di dalam sejarah Islam, cukup banyak kaum perempuan yang memainkan peranan penting di dalam sejarah. Walaupun para Muslimah di masa lalu umumnya tidak berperan di sektor publik, sejarah Islam tidak kekurangan pahlawan perempuan yang memberi kontribusi penting di berbagai bidang.
Tulisan kali ini akan mengangkat sosok Muslimah yang menonjol dalam hal ilmu dan kesolehan, yang pengaruhnya membekas hingga jauh selepas wafatnya. Muslimah ini adalah Sayyidah Nafisah binti al-Hasan al-Alawiyah al-Hasaniyah, seorang perempuan alim ahli ibadah keturunan Nabi Muhammad ﷺ yang wafat di Mesir.
Nama dan nasab beliau adalah Nafisah binti Abu Muhammad al-Hasan bin Zaid bin al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib (al-Dhahabi, 1985: 279; Ibn Kathir, 1998: 170; Ibn Khallikan, 1868: 574). Dengan kata lain, beliau adalah cicit kepada al-Hasan, putera Fatimah binti Rasulillah shallallahu alaihi wasallam. Al-Hasan, ayah Sayyidah Nafisah, merupakan seorang yang memiliki keutamaan dan pernah diangkat oleh Khalifah al-Mansur sebagai gubernur di Madinah (al-Zubayri, tt: 56).
Ia menjadi gubernur di Madinah selama kurang lebih lima tahun. Kemudian karena satu sebab, al-Mansur marah kepadanya. Ia dipecat, dipenjarakan di Baghdad, dan kekayaannya disita. Setelah al-Mansur wafat, penggantinya al-Mahdi membebaskan al-Hasan dan mengembalikan harta miliknya. Al-Hasan kemudian menemani al-Mahdi dalam perjalanan haji ke Makkah, tetapi ia wafat di perjalanan, di satu tempat bernama al-Hajir, sekitar lima mil dari Madinah. Ini terjadi pada tahun 168/784-5 dan usianya ketika itu 85 tahun (al-Dhahabi, 1996: 106; Ibn Kathir, 1998: 170; Ibn Khallikan, 1868: 574; Ibn Taghribirdi, 1972: 185).
Al-Hasan bin Zaid pernah menyampaikan hadith Nabi melalui jalur Ikrimah dari Ibn Abbas dan diriwayatkan oleh Imam al-Nasa’i (Ibn Kathir, 1998: 170). Salah satu anaknya, al-Qasim, saudara Sayyidah Nafisah, tinggal di Nishapur, Iran bagian Timur. Ia merupakan seorang yang soleh dan zuhud. Salah satu keturunannya kelak ada yang menjadi perawi hadith bagi Imam al-Bayhaqi (al-Dhahabi, 1996: 107; al-Munawi, tt: 495). Sayyidah Nafisah sendiri merupakan seorang yang alim dan beberapa ulama nantinya mendapatkan manfaat dari ilmunya.
Sayyidah Nafisah lahir di Makkah pada tahun 145/762-3 (al-Munawi, tt: 494). Saat masih kecil, ia ikut menyertai ayahnya yang menjadi gubernur di Madinah dan tinggal di kota itu. Dianugerahi fikiran yang cerdas, ia dapat menghafalkan seluruh al-Qur’an dan memahami fiqh secara mendalam sejak usia dini. Ayahnya biasa membawanya ke dalam ruangan tempat makam Rasulullah ﷺ, yang dahulunya juga merupakan rumah Sayyidah ‘Aisyah radhiallahu anha, dan berdoa untuk puterinya di tempat itu. Pada masa-masa berikutnya, Sayyidah Nafisah rutin berziarah ke makam Nabi shallallahu alaihi wasallam. Semasa hidupnya, ia pergi haji ke Makkah sebanyak 30 kali dan sebagian besarnya ia lakukan dengan berjalan kaki; dikatakan karena ia hendak mengikuti apa yang pernah dilakukan oleh Imam Husain radhiallahu anhu (ash-Sha’rawi, tt).
Ia menikah di usia muda dengan Ishaq al-Mu’tamin bin Ja’far Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib, sepupu jauhnya. Dari pernikahan ini keduanya mendapatkan putera dan puteri, al-Qasim dan Ummu Kulthum (al-Munawi, tt: 494).
Kelak Sayyidah Nafisah pergi ke Mesir bersama suaminya dan menetap di negeri itu (al-Dhahabi, 1996: 106; Al-Yafi’i, 1997: 33). Dikatakan bahwa penduduk Mesir keluar menyambutnya saat mendengar tentang kedatangannya ke negeri itu pada bulan Ramadhan 193/809 (ash-Sha’rawi, tt).
Sayyidah Nafisah menetap di Mesir hingga akhir hayatnya. Ia banyak berbuat baik kepada penduduk negeri itu, baik mereka yang sakit, seperti sakit lepra, maupun masyarakat pada umumnya. Selain itu, ia juga merupakan seorang yang zuhud dan sangat banyak beribadah (Ibn Kathir, 1998: 171). Dengan tangannya sendiri, ia menggali sebuah lubang di rumahnya yang akan menjadi kuburnya kelak. Di dalamnya ia melakukan solat dan mengkhatamkan al-Qur’an sebanyak 6.000 kali (al-Munawi, tt: 494). “Dia adalah pemilik karamah dan burhan,” tulis Ibn Taghribirdi (1972: 186), “nama baiknya tersebar ke Timur dan ke Barat.”
Pada tahun 199/815, Imam Muhammad bin Idris al-Shafi’i tiba di Kairo, Mesir, tempat di mana ia akan menetap hingga akhir hayatnya (Ibn Khallikan, 1843: 571). Selama berada di Mesir, Imam Shafi’i sering mengunjungi Sayyidah Nafisah dan mendengar hadith darinya (Ibn Khallikan, 1868: 575; Al-Yafi’i, 1997: 33). Ash-Sha’rawi (tt) menyebutkan bahwa pada bulan Ramadhan, Imam Shafi’i biasanya memimpin solat tarawih di masjid tempat Sayyidah Nafisah, dan Sayyidah Nafisah selalu menjadi bagian dari jamaah solat tersebut. Ibn Kathir (1998: 171) juga menyebut hal ini, walaupun tidak memastikannya.
Sudah diketahui umum bahwa Imam Syafi’i memiliki kecintaan yang kuat terhadap Ahlul Bait di mana Sayyidah Nafisah termasuk di dalamnya. Imam Syafi’i sendiri merupakan keturunan al-Muttalib bin Abdu Manaf dari pihak ayahnya (Ibn Khallikan, 1843: 569; al-Razi, 1986: 23). Di dalam hadith disebutkan bahwa secara kekerabatan, Nabi memasukkan Bani al-Muttalib sebagai bagian dari Bani Hashim (innama Banu Hashim wa Banu al-Muttalib shay’un wahidun) (Al-Bukhari, 1997: 327; Hadith No. 4229). Sementara hal yang sama tidak berlaku pada Bani Abd Syams dan Bani Nawfal, walaupun mereka sama-sama keturunan langsung Abdu Manaf. Hal ini disebabkan Bani al-Muttalib – sebagai kabilah – tidak pernah meninggalkan Nabi baik di era Jahiliyah maupun di era Islam (Al-Nasa’i, 2007: 97; Hadith No. 4142).
Ketika Imam Syafi’i wafat pada hari Jum’at akhir bulan Rajab tahun 204/820 (Ibn Khallikan, 1843: 571), sesuai wasiatnya, jenazahnya dibawa ke rumah Sayyidah Nafisah agar beliau bisa ikut menyolatkan dan mendoakannya. Hal ini disebabkan keadaan beliau yang sudah lemah, sehingga solat diadakan di tempat itu untuk kemudahan beliau. Sayyidah Nafisah ikut menyolatkan jenazah Imam Syafi’i sebagai makmum di bagian perempuan (Ibn Kathir, 1998: 171; Ibn Khallikan, 1868: 575; al-Munawi, tt: 495). Ini menunjukkan besarnya penghormatan Imam Syafi’i terhadap Sayyidah Nafisah serta pengakuan beliau akan kedudukannya yang mulia.
Menurut ash-Sha’rawi (tt), Imam Syafi’i bukan satu-satunya ulama di Mesir yang biasa berkunjung kepada Sayyidah Nafisah dan mendapat manfaat dari ilmu dan ketaqwaan beliau. Beberapa ulama dan tokoh sufi juga kerap mengunjunginya – komunikasi dengan lelaki yang bukan mahram biasanya dilakukan dibalik hijab – di antaranya adalah Dhun-Nun al-Misri dan Abul Hasan bin Ali bin Ibrahim yang menulis tentang tata bahasa al-Qur’an.
Sayyidah Nafisah masih hidup empat tahun setelah wafatnya Imam Syafi’i. Hidupnya dipenuhi dengan ibadah, walaupun tubuhnya sudah lemah dan kekuatannya terbatas. Berkenaan dengan kebiasaan ibadahnya, keponakannya Zainab yang menemaninya selama 40 tahun menyaksikan betapa ia tak pernah tidur di malam hari dan tak pernah makan di siang hari. Suatu kali ia berkata kepada Sayyidah Nafisah, “Engkau harus memperhatikan dirimu sendiri.” Sayyidah menjawab, “Bagaimana saya akan memperhatikan diri saya sendiri sebelum saya berjumpa dengan Rabb saya? Di hadapan saya ada begitu banyak penghalang yang tak seorang pun dapat melewatinya kecuali mereka yang sukses (al-faizun) (ash-Sha’rawi, tt).
Para Sejarawan menyebutkan bahwa beliau wafat pada bulan Ramadhan tahun 208/824 (al-Dhahabi, 1996: 106; Ibn Kathir, 1998: 171; Ibn Khallikan, 1868: 575; Ibn Taghribirdi, 1972: 186; al-Yafi’i, 1997: 33). Keadaannya semakin lemah menjelang wafatnya sementara ia tetap berpuasa. Orang-orang menyarankannya untuk berbuka (membatalkan puasanya), disebabkan keadaannya itu. Ia berkata, “Selama 30 tahun saya berdoa agar dapat berjumpa Allah dalam keadaan berpuasa, dan saya harus berbuka sekarang? Hal itu tidak akan terjadi.”
Setelah itu ia membaca al-Qur’an surat al-An’am dan ayat terakhir yang dibacanya adalah “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya …” (QS 6: 127). Kabar kematian beliau menyebabkan orang-orang berdatangan dari penjuru negeri dan tangisan terdengar di rumah-rumah penduduk Mesir (al-Munawi, tt: 494).
Dikatakan bahwa pada awalnya suaminya Ishaq bin Ja’far hendak membawa jenazahnya ke Madinah dan menguburkannya di Baqi’. Namun ia membatalkan rencananya itu disebabkan penduduk Mesir memohon agar Sayyidah Nafisah dimakamkan di Mesir. Sayyidah Nafisah akhirnya dikuburkan di rumahnya sendiri, pada lubang yang telah ia gali sebelumnya. Rumah dan makamnya ini berlokasi di antara Kairo Lama dan Kairo Baru (Ibn Khallikan, 1868: 575; al-Munawi, tt: 495).
Menurut penulis Encyclopaedia of Islam (Strothmann, 1993: 879), kisah tentang keinginan Ishaq bin Ja’far untuk membawa jenazah istrinya ke Madinah bertentangan dengan cerita yang menyebutkan bahwa Sayyidah Nafisah telah menyiapkan kuburnya sendiri di rumahnya. Bagaimanapun, mungkin juga kedua cerita ini benar dengan mengasumsikan bahwa suaminya tidak menganggap penguburan istrinya di lubang yang telah digalinya itu sebagai satu keharusan.
Al-Sha’rawi (tt) menyebutkan bahwa ketika sakit Sayyidah Nafisah memburuk, ia menyurati suaminya yang ketika itu tinggal di Madinah agar datang ke Mesir. Suaminya kemudian datang bersama kedua anaknya. Boleh jadi Ishaq bin Ja’far ingin menguburkan jenazah istrinya di Madinah agar dekat dengan keluarganya yang tinggal di sana. Namun, ia kemudian mengalah setelah melihat kuatnya kecintaan penduduk Mesir kepada istrinya itu.
Sejak saat itu, makamnya menjadi tempat ziarah orang banyak. Beberapa sumber menyebutkan bahwa doa di tempat itu mustajab (al-Dhahabi, 1996: 107; Ibn Khallikan, 1868: 575; Al-Yafi’i, 1997: 33). Bagaimanapun, Al-Dhahabi (1997: 106) dan Ibn Kathir (1998: 171-172) mengkritik orang-orang di Mesir yang bersikap berlebihan dalam ziarah mereka ke makam Sayyidah Nafisah.
Terlepas dari itu, Sayyidah Nafisah memang dikenal sebagai salah satu dari tiga wali perempuan paling menonjol di Mesir. Dua yang lainnya adalah Sayyidah Zainab binti Muhammad dan Sayyidah Sakinah (Strothmann, 1993: 879).
Semasa hidupnya dan selepas wafatnya, Sayyidah Nafisah memiliki banyak karamah. Di antara kisah karamahnya adalah berkenaan dengan Sungai Nil yang pernah gagal pasang di musim yang seharusnya ia pasang, sehingga penduduk Mesir menjadi sangat khawatir, karena ini akan berdampak serius terhadap pertanian di negeri itu. Mereka kemudian mendatangi Sayyidah Nafisah dan mengadukan hal itu. Sayyidah Nafisah memberikan kain penutup wajahnya dan meminta mereka agar melemparkannya ke Sungai Nil. Mereka melakukannya, dan segera setelah itu Sungai Nil naik pasang.
Kisah lainnya menyebutkan bahwa saat ia baru datang ke Mesir, ia tinggal di sebuah rumah dan bertetangga dengan keluarga Yahudi. Pada suatu hari, tetangganya yang Yahudi itu menitipkan sebentar anak perempuan mereka yang lumpuh kakinya di tempat beliau. Anak itu kemudian tergerak hatinya dan mengambil bekas tetesan wudhu’ Sayyidah Nafisah serta mengusapkannya ke kakinya. Setelah itu ia dapat berdiri dan berjalan. Hal ini menyebabkan keluarga Yahudi itu seluruhnya masuk Islam (al-Munawi, tt, 495).
Segala sesuatu tentu dapat terjadi jika Allah berkehendak. Bagaimanapun, Sayyidah Nafisah tidak beribadah sungguh-sungguh dengan tujuan untuk mendapatkan hal-hal yang luar biasa, melainkan agar Tuhannya ridha dan cinta kepadanya, serta agar ia mendapatkan kemenangan di negeri Akhirat. Dan disebabkan hal itu, ia mendapatkan kemenangan di dua ‘negeri’, yaitu di dunia dan di akhirat.*
Penulis adalah Staf Pengajar di International Islamic University Malaysia (IIUM)
*Tulisan ini penulis buat untuk ibu penulis, Nafisah binti Alwi bin Zain bin Abdullah Alaydrus, semoga diberi panjang umur dalam sehat dan iman.
—
Daftar Pustaka
Al-Bukhari. 1997. The Translation of the Meanings of Sahih al-Bukhari, Vol. 5. Riyadh: Darussalam.
Al-Dhahabi. 1985. Al-Ibr fi Khabar man Ghabar, Vol. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Dhahabi. 1996. Siyar A’lam al-Nubala’, Vol. 10. Beirut: al-Resalah.
Ibn Kathir. 1998. Al-Bidayah wa-l-Nihayah, Vol. 14. Hajar.
Ibn Khallikan. 1843. Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, vol. II, (diterjemahkan dari Wafayat al-A’yan oleh B Mac Guckin de Slane). Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.
Ibn Khallikan. 1868. Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, vol. III (diterjemahkan dari Wafayat al-A’yan oleh B Mac Guckin de Slane). Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland.
Al-Nasa’i. 2007. English Translation of Sunan an-Nasa’i, Vol. 5. Riyadh: Darussalam.
Ibn Taghribirdi. 1972. Al-Nujum al-Zahirah, Vol. 2. Al-Hay’ah al-Misriyah.
Al-Munawi, Abd al-Ra’uf. tt. Al-Kawakib al-Durriyyah, Vol. 1. Al-Maktabah al-Azhariyah li-l-Turath.
Al-Razi, Fakhr al-Din. 1986. Manaqib al-Imam al-Shafi’i. Kairo: Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah.
Ash-Sha’rawi, Metawalli. tt. “Nafisa at-Tahira: Rare Lady Saint of the Egyptians”, dirujuk pada tanggal 23 April 2020 dari http://www.sunnah.org/history/Scholars/nafisa_at_tahira.htm.
Strothmann, R. 1993. “Nafisa”. Encyclopaedia of Islam, Vol. 7. Leiden: E.J. Brill.
Al-Yafi’i. 1997. Mir’at al-Jinan Vol. 2. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Al-Zubayri, Abu Abdillah al-Mus’ab. tt. Kitab Nasab Quraysh. Dar al-Ma’arif.
No comments:
Post a Comment