Sejarah Pelopor Emansipasi Wanita, Kisah RA Kartini yang Menolak Disebut Bangsawan
Hari Kartini yang akan dirayakan pada Selasa (21/4) merupakan hari peringatan dalam memperjuangkan emansipasi atau keseteraan kaum perempuan.
WIKIMEDIA COMMONS/GPL FDL
Hari Kartini yang akan dirayakan pada Selasa (21/4) merupakan hari peringatan dalam memperjuangkan emansipasi atau keseteraan kaum perempuan.
Hari ini 21 April, bertepatan Hari Kartini. Menurut sejarah Hari Kartini diperingati mengenang pelopor emansipasi.
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.
Kartini dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.
Hari Kartini yang akan dirayakan pada Selasa (21/4) merupakan hari peringatan dalam memperjuangkan emansipasi atau keseteraan kaum perempuan.
Berikut sekilas kisah RA Kartini.
Sosok RA Kartini rupanya tak pernah punya keinginan untuk tumbuh di tengah keluarga bangsawan yang dipandang tinggi masyarakat umum.
Ayah Kartini, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara di masanya. Ibu tirinya, Raden Ayu Muryam, merupakan keturunan keluarga raja di Madura.
Kepada sahabat penanya, Estella Helena Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan kekesalannya dipandang tinggi sebagai keluarga bangsawan.
"Apakah saya seorang anak raja? Bukan. Seperti kamu juga bukan," tulis Kartini dalam suratnya kepada Stella, sebagaimana tertulis dalam buku Surat-surat Kartini. Renungan tentang dan untuk Bangsanya (1979).
"Raja terakhir dalam keluarga kami, yang langsung menurunkan kami menurut garis keturunan laki-laki, saya kira sudah berlalu 25 keturunan jauhnya," lanjutnya.
Kartini tidak peduli dengan gelar apa pun yang dimiliki moyangnya terdahulu. Menurut dia, hanya ada dua macam bangsawan, yakni bangsawan jiwa dan bangsawan budi.
Dalam suratnya, Kartini pun menyindir orang-orang yang begitu bangga memamerkan gelar kebangsawanannya.
"Di manakah gerangan letak jasa orang bergelar graaf atau baron (gelar untuk bangsawan)? Pikiran saya yang picik tidak sampai untuk memikirkan hal itu," kata Kartini.
Kepada Stella, Kartini bercerita betapa marah dia dan saudarinya saat dipanggil "putri-putri Jawa" oleh sejumlah perempuan asal Den Haag. Saat itu, Kartini dan keluarganya tengah menghadiri Pameran Karya Wanita.
Orang Eropa, lanjut dia, lebih sering memanggil mereka "freule" (putri) alih-alih "Raden Ajeng". Betapa kesalnya Kartini karena setelah dijelaskan beberapa kali pun, orang-orang tetap memanggil mereka "freule".
Suatu waktu, tulis Kartini, seorang berkebangsaan Belanda datang untuk berkenalan dengan dirinya dan dua saudarinya. Melihat penampilan tiga anak Bupati Jepara itu, orang Belanda tersebut berbisik ke ayah Kartini.
"Bupati, saya membayangkan pakaian putri-putri begitu gemerlapan, keindahan ketimuran yang luar biasa. Tapi anak-anak Tuan sederhana sekali," ujar orang Belanda tersebut, sebagaimana dituliskan Kartini dalam suratnya tertanggal 18 Agustus 1899 itu.
Kartini menyenangi perbincangannya dengan Stella karena gelar bangsawan jarang terselip di setiap balasan suratnya.
Kartini senang mengetahui bahwa Stella menganggapnya sebagai perempuan biasa, yang sama-sama lantang dan keras menyerukan kebebasan.
"Harapan saya selalu, agar kamu senantiasa memanggil nama saya dan tetap berengkau-kamu kepada saya. Lihat sajalah, betapa baiknya saya mengikuti contohmu," kata Kartini, yang ketika itu berusia 20 tahun.
(Ambaranie Nadia Kemala Movanita)
No comments:
Post a Comment