Kisah Bilal bin Rabah, Siksa Pedih tak Goyahkan Iman
Syahrudin El-Fikri
Bilal bin Rabah, adalah muazin pertama Rasulullah SAW. Ia adalah seorang budak yang berkulit gelap (hitam). Namun, akhirnya bebas (merdeka) setelah memeluk Islam.
Ia dilahirkan di daerah as-Sarah, sekitar 43 tahun sebelum Rasulullah hijrah. Ayahnya bernama Rabah dan ibunya bernama Hamamah, seorang budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Makkah. Karena ibunya itu, sebagian orang memanggil Bilal dengan sebutan ibnus-Sauda (putra wanita hitam).
Bilal dibesarkan di Kota Makkah. Karena berasal dari keluarga budak, Bilal pun juga menjadi budak yang diperjualbelikan. Awalnya, ia adalah budak milik keluarga bani Abduddar, lalu diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum kafir.
Ketika Kota Makkah diterangi oleh cahaya Islam, Bilal termasuk salah seorang yang pertama memeluk Islam. Karenanya, kelompok pertama yang memeluk Islam disebut juga dengan nama As-sabiqun al-Awwalun (orang yang pertama memeluk Islam).
Sebelum Bilal, yang memeluk Islam adalah Ummul Mukminin, Khadijah binti Khuwailid (istri Rasulullah SAW); Abu Bakar ash-Shiddiq; Ali bin Abi Thalib; Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah; Shuhaib ar-Rumi; dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Namun ketika itu, keislaman Bilal belum banyak diketahui orang. Karena ia diketahui memeluk Islam oleh majikannya, Bilal pun mendapat siksaan yang sangat berat. Siksaan yang diterimanya, tampaknya jauh lebih berat dibandingkan dengan ujian yang diterima umat Islam lainnya.
Berbagai ujian, siksaan, dan kekerasan ditimpakan padanya. Termasuk, di antaranya dicambuk, dijemur di bawah terik matahari, hingga tubuhnya ditindih dengan batu. Namun demikian, keislaman Bilal tak goyah. Ia tetap teguh menyatakan keimanannya kepada Allah dan Rasulullah SAW.
Bila umat Islam yang lebih dahulu memeluk Islam juga mendapat siksaan, namun siksaan yang mereka terima tampaknya tak begitu sekeras yang dirasakan Bilal bin Rabah.
Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib, misalnya, bila mereka mendapatkan siksaan, masih ada yang membela mereka dari anggota keluarganya. Namun, Bilal, seorang hamba sahaya yang tertindas (mustadl'afin) ini, tak ada yang membantunya kecuali berharap pertolongan Allah SWT.
Begitu pula dengan Sumayyah, syuhada pertama yang dibunuh dengan tombak oleh Abu Jahal. Kekerasan dan penyiksaan yang ditimpakan kepada umat Islam yang lemah ini seolah tanpa henti.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk.
Namun demikian, keislaman mereka tak pernah goyah. Bahkan, di saat penyiksaan yang terberat sekalipun, Bilal tetap berseru, Ahad, Ahad, Ahad (Allah satu, Allah satu, Allah Esa). Orang kafir Quraisy memaksa Bilal untuk memuja berhala Latta dan Uzza. Namun, Bilal hanya menjawab Allahu Ahad (Allah Maha Esa).
Karena penyiksaan demi penyiksaan yang dilakukan tak mampu menggoyahkan keimanan Bilal, hingga akhirnya Bilal dibeli oleh Abu Bakar dan dibebaskan.
Ketika berhijrah ke Madinah, Bilal pun turut serta. Ia tinggal bersama Abu Bakar dan Amir bin Fihr. Malangnya, mereka sering terserang demam. Bila demam agak reda, Bilal pun segera melantunkan kerinduan dengan suaranya yang merdu.
Duhai malangnya aku, akankah suatu malam nanti
Aku bermalam di Fakh dikelilingi pohon idzkhir dan jalil
Akankah suatu hari nanti aku minum air Mijannah
Akankah aku melihat lagi pegunungan Syamah dan Thafil
Bilal tampak masih rindu dengan Kota Makkah, tempat tinggalnya. Ia merindukan kampung halamannya, lembah Makkah dan bukit-bukitnya. Sebab, di kota inilah, Bilal mereguk keimanan dan keislaman.
Ketika Rasulullah membangun masjid di Kota Madinah, orang yang pertama disuruh untuk mengumandangkan azan (panggilan untuk shalat) adalah Bilal bin Rabah. Dia adalah muazin pertama dalam sejarah Islam. Hal ini dikarenakan, Bilal memiliki suara yang merdu dibandingkan sahabat yang lain.
''Ajarkanlah kepada Bilal seruan azan itu, karena suara Bilal lebih bagus (lantang) dibandingkan suaramu,'' kata Rasulullah SAW kepada Abdullah bin Zaid.
Setelah mengumandangkan azan, biasanya Bilal berdiri di depan pintu rumah Rasulullah SAW, seraya berseru, ''Hayya 'alashsholaah. Hayya 'alashsholaah'' (Mari melaksanakan shalat). Lalu, ketika Rasulullah SAW keluar dari rumah dan Bilal melihat beliau, Bilal segera melantunkan iqamat.
Bilal Selalu Temani Nabi Muhammad SAW
Suatu ketika, Najasyi, Raja Habasyah, menghadiahkan tiga tombak pendek termasuk barang-barang paling istimewa miliknya kepada Rasulullah SAW. Rasulullah mengambil satu tombak, sementara sisanya diberikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar ibnul Khaththab, tapi tidak lama kemudian, beliau memberikan tombak itu kepada Bilal.
Sejak saat itu, selama Nabi hidup, Bilal selalu membawa tombak pendek itu ke mana-mana. Ia membawanya dalam kesempatan dua shalat 'id (Idul Fitri dan Idul Adha) dan shalat istisqa' (mohon turun hujan), dan menancapkannya di hadapan beliau saat melakukan shalat di luar masjid.
Bilal menyertai Nabi SAW dalam berbagai peperangan, di antaranya Perang Badar. Ia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah memenuhi janji-Nya dan menolong tentara-Nya. Ia juga melihat langsung tewasnya para pembesar Quraisy yang pernah menyiksanya dengan hebat.
Ia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf tersungkur berkalang tanah ditembus pedang kaum Muslimin dan darahnya mengalir deras karena tusukan tombak orang-orang yang mereka siksa dahulu.
Ketika Rasulullah SAW menaklukkan Kota Makkah, beliau berjalan di depan pasukan hijaunya bersama 'sang pengumandang panggilan langit', Bilal bin Rabah. Saat masuk ke Ka'bah, Rasul hanya ditemani oleh tiga orang, yaitu Utsman bin Thalhah, pembawa kunci Ka'bah; Usamah bin Zaid, yang dikenal sebagai kekasih Rasulullah SAW dan putra dari kekasihnya; dan Bilal bin Rabah, sang Muazin.
Begitu shalat Zhuhur akan dilaksanakan, ribuan orang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, termasuk orang-orang Quraisy yang baru masuk Islam. Rasulullah SAW memanggil Bilal bin Rabah agar naik ke atap Ka'bah untuk mengumandangkan kalimat tauhid.
Dan, sang muazin ini, dengan senang hati melaksanakan perintah tersebut lalu mengumandangkan azan dengan suaranya yang bersih dan jelas.
Saat azan yang dikumandangkan Bilal sampai pada kalimat, Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah, Juwairiyah binti Abu Jahal berkata, ''Sungguh, Allah telah mengangkat kedudukanmu. Memang, kami tetap akan shalat, tapi demi Allah, kami tidak menyukai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami sayangi.''
Maksudnya adalah ayahnya yang tewas dalam Perang Badar. Begitu juga komentar pedas lainnya.
Bilal Tak Kuasa Azan Usai Rasulullah Meninggal
Dan, sepanjang hidup Rasulullah, selama itu pula Bilal menjadi muazin Rasulullah. Rasul sangat senang dengan suara Bilal, yang saat disiksa dengan siksaan yang berat tetap berseru, Ahad, Ahad, Ahad (Allah Maha Esa).
Ketika Rasulullah wafat, dan jenazah orang paling Mulia itu dikafankan, Bilal segera berdiri untuk mengumandangkan azan. Dan, ketika sampai pada kalimat Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah, tiba-tiba suaranya terhenti.
Ia tidak sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum Muslimin yang hadir di sana tak kuasa menahan tangis, maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah SAW, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga hari. Setiap sampai kepada kalimat, Asyhadu anna muhammadan rasuulullaah, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula, kaum Muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Karena itu, Bilal memohon kepada Abu Bakar agar diperkenankan tidak mengumandangkan azan lagi, karena tidak sanggup melakukannya. Selain itu, Bilal juga meminta izin kepadanya untuk keluar dari Kota Madinah dengan alasan berjihad di jalan Allah dan ikut berperang ke wilayah Syam.
Dan, permintaan itu dikabulkan Abu Bakar kendati dengan berat hati. Dan ketika berada di Syam, Umar yang kemudian menjadi Khalifah, bertemu dengan sang muazin ini, langsung melepaskan kerinduannya dengan Bilal. Dan, Amirul Mukminin ini meminta sekali lagi, sang pelantun panggilan Tauhid ini untuk mengumandangkan azan.
Lalu, ketika suara Bilal yang nyaring itu kembali terdengar, Umar tidak sanggup menahan tangisnya. Sahabat lain pun turut menangis. Suara Bilal membangkitkan segenap kerinduan mereka kepada masa-masa kehidupan yang dilewati di Madinah bersama Rasulullah SAW. Bilal, 'sang pengumandang seruan langit itu', tetap tinggal di Damaskus hingga wafat.
No comments:
Post a Comment