Metode Belajar yang Benar Menurut Ibnu Khaldun


Termasuk metode yang baik dalam pengajaran ialah seseorang pendidik tidak menggabungkan dua ilmu sekaligus dalam mengajar murid
IBNU Khaldun dikenal sebagai tokoh penting dalam peradaban Islam di Abad ke-14. Beliau dikanal dengan berbagai gelar. Mulai dari peletak dasar Filsafat Sejarah, perintis Ilmu Ekonomi, Bapak Sosiologi, hingga penggagas teori politik.

Ulama bernama asli Abu Zayd ‘Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami lahir di Tunisia, pada 27 Mei 1332 (meninggal 19 Maret 1406 pada umur 73 tahun). Hafidz quran ini menulis Kitab Muqaddimah atau Prolegomena (bahasa Yunani) yang dikagumi kalangan Barat. Sampai-sampai Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan Inggris mengatakan, ”Sebuah buku yang tak diragukan lagi adalah karya terbesar dari jenisnya yang belum pernah diciptakan oleh pikiran siapa pun di waktu atau tempat mana pun.”

Inilah sebagian kutipan Kitab Muqoddimah– nya, terkait metode belajar;

“Ketahuilah bahwa mentalqin ilmu kepada pelajar hanya akan bermanfaat jika dilakukan secara bertahap, yaitu satu demi satu, sedikit demi sedikit.

Awalnya, mereka diajarkan inti dari pembahasan tiap bab pada sebuah disiplin ilmu tertentu. Lalu pemahaman mereka diperdekat dengan syarah (penjelasan) secara umum. Pada tahapan ini seorang pendidik hendaknya memperhatikan kemampuan akal murid dan kesiapannya dalam menerima apa yang akan diberikan. Dan metode ini dilakukan hingga ia menuntaskan disiplin ilmu tersebut.

Tahapan selanjutnya, seorang murid kembali lagi mempelajari disiplin ilmu yang sama untuk kedua kalinya. Namun kali ini seorang guru mentalqin permasalahan yang lebih dalam dari sebelumnya. Kemudian menunaikan syarh (penjelasan) dan pemaparan secara sempurna. Lalu keluar dari penjelasan secara umum kepada permasalahan khilaf dan menjelaskan titik perbedaan antar ulama hingga ia menuntaskan disiplin ilmu tersebut. Pada tahap ini malakah (kemampuan yang mendarah daging) seorang murid akan disiplin ilmu tersebut menjadi semakin baik.

Tahapan selanjutnya, ia kembali lagi kepada disiplin ilmu yang sama, dalam keadaan telah menyempurnakan ‘kepingan-kepingan puzzle‘ tiap pembahasannya. Di sini seorang pendidik tidak meninggalkan ta’bir (redaksi) yang sulit, mubham (tidak jelas), ataupun yang ‘terkunci’ kecuali menjelaskannya dan memecahkannya. Maka ketika seorang murid telah menyelesaikan tahapan ini malakah disiplin ilmu tersebut akan menancap dalam dirinya. Inilah metode belajar yang bermanfaat!

Sebagaimana yang engkau lihat, metode ini akan tercapai dengan tiga kali pengulangan/pembelajaran. Dan bagi sebagian orang dapat dicapai lebih cepat dari pada itu, sesuai dengan kemampuan yang Allah berikan dan kemudahan dari-Nya.

Aku telah menyaksikan banyak sekali para pendidik masa ini yang tidak mengetahui metode belajar dan mengajar yang benar. Mereka menjejalkan kepada murid permasalahan-permasalahan yang terkunci dan sukar sejak awal pembelajaran. Lalu menuntut murid berfikir keras untuk memecahkannya. Ia beranggapan hal itu adalah bentuk latihan dalam pembelajaran, disamping melihat itu sebagai metode yang benar. Ditambah mereka juga membebani murid untuk memperhatikan dan memahami permasalahan tadi. Imbasnya, seorang murid akan menyampurkan pembahasan-pembahasan tingkat tinggi ilmu tersebut ke dalam pembahasan dasar, bahkan sebelum ia sanggup untuk memahami inti ilmu itu. Karena sesungguhnya penerimaan ilmu dan kesiapan memahaminya tumbuh dengan bertahap.

Keadaan seorang murid pada masa awal ialah tidak mampu memahami (sebuah ilmu) secara keseluruhan kecuali hanya sedikit saja. Itupun dengan pendekatan yang mudah, penjelasan yang umum dan contoh-contoh yang indrawi. Lalu kesiapannya dalam menerima ilmu akan tumbuh sedikit demi sedikit karena perbedaan permasalahan dalam fan (disiplin ilmu), pengulangan maupun peningkatan penjelasan dari sekedar pendekatan kepada penyeluruhan. Hingga sempurnalah malakah seorang murid untuk menerima ilmu dan sempurnalah penggambaran permasalahan ilmu itu pada dirinya.

Kalau sekiranya engkau menyampaikan ujung permasalahan saat masa-masa awal belajar, ia tidak akan mampu memahaminya, belum siap untuk menerimanya, akalnya kesulitan mencernanya. Apalagi setiap ilmu juga memiliki kesulitannya sendiri. Sehingga seorang murid akan malas mempelajarinya, enggan menerima apa yang disampaikan dan berusaha untuk menghindar. Dan ini terjadi karena buruknya pengajaran!

Maka seorang guru tidak seharusnya memberikan tambahan informasi kepada murid di luar kitab yang sedang fokus dipelajari sesuai dengan kemampuannya, sesuai dengan penerimaannya akan pengajaran yang diberikan pendidik. Baik itu murid tingkat pemula ataupun lanjutan. Dan seharusnya seorang pendidik juga tidak mencampurkan permasalahan dalam suatu kitab dengan yang selainnya hingga seorang murid sanggup memahaminya dari awal kitab hingga akhir dan mencapai tujuannya. Juga sampai malakah menancap pada diri dan dengan itu ia mempelajari lainnya.

Karena sesungguhnya jika seorang murid telah memiliki malakah dalam dirinya ilmu-ilmu yang tersisa akan mudah masuk. Selain itu ia akan semakin bersemangat untuk mendapatkan informasi baru dan menaiki tingkatan di atas tingkatan yang telah ia capai hingga sampailah ia pada puncak ilmu. Akan tetapi jika informasi tentang ilmu yang berada dalam pikirannya kacau ia tidak akan faham, lemas dalam lelah, padam akalnya, putus asanya untuk belajar. Akhirnya meninggalkan ilmu dan pendidikan.

Pun tidak seharusnya bagi seorang pengajar sepertimu memperpanjang masa belajar murid terhadap suatu ilmu atau kitab dengan (banyak) memberi jeda antar majelis satu dengan majlis selanjutnya atau memutus rantai majelis (dengan meninggalkannya terlalu lama). Karena hal tersebut menyebabkan lupa dan memutus korelasi antara suatu permasalahan dalam sebuah fan ilmu dengan yang lainnya, sehingga malakah akan sulit didapatkan. Berbeda keadaannya apabila permasalahan dalam ilmu tersebut, mulai awal hingga akhir, tergambar jelas dalam benaknya. Itu akan menjauhkannya dari pada lupa, memudahkannya mendapatkan malakah. Karena sebuah malakah dihasilkan dari konsistensi dan pengulangan berkali-kali. Kalau hal itu ditinggalkan maka lenyap pula malakah yang pernah dibangun darinya. “Sungguh Allah telah mengajarkanmu sesuatu yang sebelumnya belum engkau ketahui.” (QS: Al-Baqarah : 239)

Termasuk metode yang baik dalam pengajaran ialah seseorang pendidik tidak menggabungkan dua ilmu sekaligus dalam mengajar murid. Sungguh akan sedikit murid yang mempu menguasai saah satu daripadanya. Dikarenakan terbaginya pikiran dan beralihnya pikiran dari memikirkan salah satu keduanya kepada memikirkan hal lain. Maka kedua-duanya menjadi sama-sama ‘terkunci’ dan sulit. Akhirnya ia kembali dari belajarnya dengan tangan kosong. Namun apabila ia memfokuskan pikirannya hanya pada satu jalur saja mungkin itu lebih memungkinkan baginya untuk menguasai ilmu itu. Wallahu al-muwaffiq li as-showab.” (dari Kitab Muqoddimah Ibn Khaldun, Jilid 2, hal 347).*

No comments: