Tradisi Ulama di Bulan Ramadhan: Bertumpu Pada Tongkat Saat Shalat
Dua setengah juz untuk shalat dua belas rakaat adalah hal yang ringan bagi para tabi’in.
QIYAM Ramadhan adalah amalan yang juga mendapatkan prioritas. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ juga memberikan teladan.
Rasulullah ﷺ memanjangkan qiyam Ramadhan di malam harinya daripada malam-malam lainnya. Dikisahkan oleh Hudzaifah yang pernah melaksanakan shalat bersama beliau pada malam Ramadhan. Katanya, “Maka Rasulullah ﷺ membaca al-Baqarah, lalu an-Nisa`, lalu Ali ‘Imran. Tidaklah ia membaca ayat-ayat ancaman kecuali berhenti dan berdoa.” (Riwayat Ahmad).
Di masa Sahabat, anjuran untuk melaksanakan qiyam Ramadhan pun digalakkan. Saat itu, Umar bin Khaththab RA selaku khalifah, menugaskan Ubai bin Ka’ab dan Tamim ad-Dari untuk menjadi imam bagi masyarakat dalam qiyam Ramadhan.
Pada waktu itu, imam membaca dua ratus ayat dalam satu rakaat, hingga jamaah bertumpu kepada tongkat disebabkan karena lamanya. Mereka tidak selesai shalat kecuali ketika fajar datang.
Dalam riwayat lainnya disebutkan bahwa pada waktu itu mereka mengikatkan tali-temali di pagar-pagar dan berpegangan kepada tali tersebut.
Ada pula riwayat yang menyebutkan bahwa Umar mengumpulkan tiga qari`. Ia memerintahkan qari` yang paling cepat membaca tiga puluh ayat ketika mengimami shalat, sedangkan yang pertengahan membaca dua puluh lima ayat, adapun yang paling lambat membaca dua puluh ayat, dalam setiap rakaatnya. (Lathaif al-Ma’arif, hal 316).
Minimal Sepuluh Ayat al-Baqarah Tiap Rakaat
Di masa tabi’in, dalam qiyam Ramadhan dibaca Surat al-Baqarah untuk delapan rakaat. Jika dibaca dalam dua belas rakaat, maka menurut mereka hal itu telah meringankan.
Begitu besar nilai ibadah dalam qiyam Ramadhan sehingga para ulama tidak rela jika terlalu sedikit dalam membaca al-Qur`an saat shalat.
Imam Ishaq bin Rahawaih suatu saat ditanya, “Berapa ayat yang dibaca saat qiyam Ramadhan?” Ia tidak memberi kelonggaran di bawah sepuluh ayat di tiap rakaatnya.
Penanya pun menjawab, “Mereka menolak hal itu.”
Ishaq pun berkata, “Tidak, mereka ridha. Dan janganlah engkau mengimami mereka jika mereka tidak ridha dengan sepuluh ayat dari al-Baqarah. Kemudian jika kalian membaca ayat-ayat pendek, maka bacalah dengan kadar sepuluh ayat dari al-Baqarah dalam tiap rakaat. Demikian pula Imam Malik, ia menyatakan makruh jika membaca di bawah sepuluh ayat.” (Lathaif al-Ma’arif, hal 316).
Kalangan ulama salafush-shaleh amat bersungguh-sungguh dalam melaksanakan qiyam Ramadhan. Hal ini tergambar dalam pernyataan Ibnu Rajab sebagai berikut:
“Kaum salaf membaca al-Qur`an di bulan Rumadhan, baik saat melakukan qiyam maupun di luarnya. Al-Aswad mengkhatamkan al-Qur`an dalam setiap dua malam di bulan Ramadhan. An-Nakha’i melakukan hal yang sama ketika di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Sedangkan di luar Ramadhan, ia mengkhatamkannya tiap dua hari. Pada hari biasa, Qatadah mengkhatamkan al-Qur`an setiap tujuh hari, jika Ramadhan mengkhatamkan tiap tiga hari. Sedangkan di sepuluh hari terakhir khatam setiap malam. Sedangkan Imam asy-Syafi’i mengkhatamkan bacaan al-Qur`an di Ramadhan sebanyak enam puluh kali. Diriwayatkan dari Abu Hanifah hal yang sama. Sedangkan az-Zuhri jika tiba bulan Ramadhan menyampaikan, ‘Ia adalah (bulan) tilawah al-Qur`an dan memberi makan.’” (Lathaif al-Ma’arif, hal 318).
Kita juga bisa belajar dari Said bin Jubair dalam qiyam. Hal ini dikisahkan oleh Ismail bin Abdul Malik, “Said bin Jubair mengimami kami saat Ramadhan. Pada malam tertentu ia membaca al-Qur`an dengan qira’ah Ibnu Mas’ud dan di malam lainnya ia membaca dengan qira`ah Zaid bin Tsabit, demikian dicatat dalam A’lam al-Akhyar fi Thabaqat Fuqaha Madzhab an-Nu’man al-Mukhtar.” (Iqamah al-Hujjah, hal 71).
Imam Asy-Syafi’i (204 H) dalam bulan Ramadhan biasa mengkhatamkan al-Qur`an dua kali dalam semalam, dan itu dikerjakan di dalam shalat. Dengan demikian dalam bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan al-Qur`an enam puluh kali. (Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat, 1/45).
Menyesuaikan Kondisi Makmum
Begitulah kebiasaan para ulama salaf dalam melaksanakan qiyam Ramadhan. Ketika mengimami shalat, bacaan ayatnya selalu banyak.
Namun di masa-masa setelah itu, semangat yang dimiliki umat Islam dalam melaksanakan ibadah tentunya berbeda dengan generasi awal. Sehingga lamanya bacaan qiyam Ramadhan di masa-masa sesudahnya menyesuaikan dengan kemampuan dan kondisi makmum.
Imam Ahmad menjelaskan riwayat mengapa Umar bin Khaththab menyebutkan mengenai bacaan cepat dan lambat. Menurutnya, ada keberatan pada manusia, lebih-lebih seperti di malam-malam pendek. Perkara ini disesuaikan dengan kemampuan manusia.
Imam Ahmad pernah menyarankan kepada sebagian muridnya yang menjadi imam di saat qiyam Ramadhan, “Mereka adalah kaum yang lemah. Bacalah lima ayat, enam, atau tujuh (dalam satu rakaat).”
Murid imam Ahmad kemudian berkata, “Maka aku membaca (sesuai dengan arahan Imam Ahmad). Aku mengkhatamkan al-Qur`an pada malam dua puluh tujuh.”
Dari perkataan Imam Ahmad tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa banyak sedikitnya ayat yang dibaca saat qiyam Ramadhan menyesuaikan dengan kemampuan manusia atau makmum. Hal itu juga merupakan pendapat fuqaha pengikut Imam Abu Hanifah. (Lathaif al-Ma’arif, hal 317).* Thoriq
===============
*Tulisan Tradisi Ulama di Bulan Ramadhan adalah tulisan berseri hidayatullah.com yang pernah dimuat di rubrik Ihwal Majalah Suara Hidayatullah edisi Juni tahun 2017. Tulisan ini merangkum bagaimana orang-orang shaleh dari generasi awal bersungguh-sungguh dalam melakukan sunnah Nabi ﷺ. Amalan itu antara lain tilawah al-Qur`an, qiyam, serta sedekah.
Nah, bagaimana generasi salafush-shaleh melaksanakan tiga amalan itu? Seri tulisan ini akan menggambarkan jerih payah orang-orang pilihan guna menyerap energi ruhani secara maksimal di bulan Ramadhan. Ikuti terus seri tulisan ini dan selamat membaca!
No comments:
Post a Comment