10 Sifat Malu menurut Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah



Jikalau memang ajaran agama tidak mewajibkan seseorang untuk memiliki sifat malu, pastilah akal yang akan berperan sebagai penggantinya

 MALU adalah bagian dari ajaran agama (ad dien). Dan sebagian ulama berpendapat bahwa sifat malu bermula dari interaksi hati dengan segala sesuatu yang pantas untuk disikapi malu dengan rasa takut kepada Allah.

Adapun Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa malu merupakan sifat khusus gabungan antara sikap penganggungan dan cinta kepada Allah SWT. Jika keduanya berpadu, maka tumbuhlah sifat malu. Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Malu dan iman adalah dua sisi yang selalu bersma. Jika salah satunya hilang dari keduanya maka yang lain juga ikut hilang.” (HR: Hakim)

Dalam satu riwayat disebutkan bahwa pemuda itu menegur saudaranya dikarenakan malu dengan perkataannya, “Kamu sungguh orang yang pemalu,” hingga seakan-akan berkata, “Malu itu telah membahayakan dirimu.” Kemudian Rasulullah ﷺ berkata padanya, “Biarkanlah saudaramu!” Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.” (HR: Bukhari dan Muslim)

Dalam buku Fikih Malu, karya Dr Muhammad Ismail al-Muqaddam mengutip Imam Ibnu Qoyyim al-Jauziyyah membagi sifat malu sebagai berikut:

Pertama, malu karena berbuat kejahatan. Seperti rasa malu yang dimiliki Nabi Adam. Ketika dia lari ketakutan di dalam surga, Allah bertanya kepadanya, “Hai Adam , apakah kamu lari karena takut kepada-Ku . Adam menjawab, “sama sekali tidak wahai Tuhanku. Akan tetapi , aku malu kepada-Mu.”

Kedua, malu karena lalai dalam menjalankan ibadah sebagaimana malunya malaikat yang selalu bertasbih siang dan malam tanpa berhenti.

وَلَهُۥ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ۚ وَمَنْ عِندَهُۥ لَا يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِهِۦ وَلَا يَسْتَحْسِرُونَ

يُسَبِّحُونَ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ لَا يَفْتُرُونَ

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (QS: Al Anbiyaa’: 19-20)

Ketiga, malu yang diperoleh karena penghargaan kepada seseorang hamba atau sering disebut dengan malu makrifat. Jenis malu sangat tergantung pada sejauh mana makrifat seorang hamba terhadap Tuhannya.

Keempat, malu yang timbul karena kemurahan hati. Seperti malunya Nabi Muhammad ﷺ ketika menjamu kaum yang diundang untuk menghadiri resepsi  pernikahannya dengan Ibunda Zainab; hingga beliau berdiri dan malu untuk berkata kepada mereka. “Beranjaklah kalian dari sini.”

Lima, malu karena merasa hina. Seperti rasa malu seseorang hamba kepada Tuhannya ketika meminta agar segala permohonannya dikabulkan, dengan penuh kerendahan diri di hadapan-Nya.jenis malu ini dikarena sebab posisi dirinya merasa kecil di hadapan Allah, sementara kesalahan dan dosa yang dilakukannya terlalu banyak.

Enam, malu karena ada hubngan keluarga. Sebagamana yang dialami oleh Ali bin Abi Thalib ketika dia bertanya kepada Rasulullah tentang madzi (cairan yang keluar dari kemaluan). Dia merasa alu karena kedudukan putri  beliau (Fatimah) yang menjadi istrinya.

Tujuh, malu yang didasarkan karena cinta. Yaitu malu seseorang karena rasa malu terhadap orang yang dicintainya. Rasa malu yang bergejolak di dalam hatinya dan terbesit di wajahnya, sementara dia tidak menyadari apa yang menyebabkan dia merasakan seperti itu.

Delapan, malu dalam hal beribadah kepada Allah. Ia merupakan gabungan dari rasa cinta, takut dan pengakuan seorang hamba akan ibadahnya yang tidak patas dipersembahkan kepada-Nya. Karena kedudukan Alah jauh lebih mulia dan agung daripada ibadah yang dilakukannya.

Sembilan, malu karena kedudukan yang disandangnya. Ini muncul disaat seseorag melakukan sesuatu, baik berupa pengorbanan, amal kebaikan maupun sedekah namun dia gagal. Dengan demikian dia akan merasa malu karena kehormatan yng disandangnya, namun dia tidak mampu melakkan sesuatu yang diiginkan orang lain.

Sepuluh, rasa malu seseorang pada diri sendiri merupakan rasa malu yang dimiliki oleh jiwa mulia, terhormat dan tinggi kedudukannya.

Jikalau memang ajaran agama tidak mewajibkan seseorang untuk memiliki sifat malu, pastilah akal yang akan berperan sebagai penggantinya dan memandang begitu pentingnya memiliki sifat malu.*/ Akbar Muzakki

No comments: