“Belajar di Rumah, Bukan Belajar dari Rumah”


"Perguruan Tinggi yang hebat senantiasa diukur dari tamatannya yang bekerja di perusahaan asing. Mereka yang menjadi enterpreneur, sosiopreneur, atau membangun masyarakat di pedesaan, justru nggak dianggap penting."

 BERJANGKITNYA wabah akhir-akhir ini mengubah banyak hal. Salah satunya di bidang pendidikan.

Mendadak kegiatan belajar mengajar di sekolah diliburkan. Anak-anak pun harus belajar dari rumah. Tak sedikit orangtua yang merasa kewalahan menghadapi energi dan potensi anak-anak yang memang selalu luar biasa.

Namun bagi Prof Ir Daniel Mohammad Rosyid, PhD, MRINA (58 tahun), hal ini justru menarik dan menunjukkan satu hal penting.

“Sekarang bisa dilihat saat pandemi seperti ini, sebetulnya kita tak butuh sekolah,” ujarnya.

Menurut Ketua Dewan Pendidikan Jatim (2002-2008) ini, di Indonesia, sekolah hanya dipandang seperti sebuah pabrik. Muridnya sebagai bahan baku, lalu diproses dengan kurikulum dan lainnya, kemudian diukur dengan standard mutu seperti proses produksi massal. “Jadi, logika-logika industri itu masuk dalam pendidikan,” ujar Daniel, sapaan akrabnya.

Padahal menurut guru besar di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya ini, pendidikan itu bukan tentang kesempatan bersekolah. Yang dibutuhkan anak adalah belajar. Bukan bersekolah.

“Sekolah itu instrumen teknokratik untuk menyiapkan tenaga kerja terampil saja,” Daniel menambahkan.

Itulah sebabnya di mata Presiden Gerakan Anak Indonesia Membaca (2010-2012) ini, pendidikan kita tidak mencerdaskan bangsa. Juga tidak dirancang untuk membangun jiwa merdeka sebagai satu syarat budaya bagi bangsa yang merdeka.

“Saya lihat, sekolah sampai perguruan tinggi (PT) itu instrumen teknokratik. Bahkan, PT yang hebat senantiasa diukur dari seberapa banyak tamatannya yang bekerja di perusahaan asing. Semakin besar perusahaannya, maka dianggap semakin hebat lulusannya. Mereka yang menjadi enterpreneur, sosiopreneur, atau membangun masyarakat di pedesaan, justru nggak dianggap penting.”

Mantan Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya ini lantas menawarkan gagasan deschooling. Ini adalah membangun budaya baru belajar, dari pola pendidikan terstruktur (sekolah) menjadi pola pendidikan yang lebih mempererat komunikasi orangtua dan anak (homeschooling).

Penulis buku Meneropong Pendidikan Kita ini menjelaskan gagasannya kepada Achmad Fazeri dan Bambang Subagyo dari Majalah Suara Hidayatullah. Perbincangan berlangsung di kediamannya di Perumahan Purimas, Surabaya, hari pertama Ramadhan 1441 H silam. Berikut petikannya:

Apa yang melatarbelakangi munculnya gagasan deschooling?

Pertama, pengalaman saya di Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim dan sebagai Ketua Ikatan Wali Murid SD Muhammadiyah 1 Pucang Surabaya. Saya mengamati murid-murid di sekolah. Kemudian saya diminta Pak Imam Oetomo (saat itu Gubernur Jatim) menjadi Ketua Dewan Pendidikan pertama (2002).

Fenomena yang sangat mencolok waktu itu adalah Ujian Nasional (UN). Kita kritik habis-habisan. Saya kira, Dewan Pendidikan Jatim yang suaranya paling keras meminta peninjauan ulang kebijakan UN tersebut.

Kedua, kasus anak yang dipaksa memberikan contekan jawaban UN kepada teman-temannya di daerah Tandes, Surabaya. Itulah puncak kasus yang timbul gara-gara UN.

Saya melihat fenomena itu dengan kacamata Ivan Illich, penulis buku Deschooling Society. Juga hasil mengikuti kajian dan diskusi dengan teman-teman Muhammadiyah, termasuk juga dengan Hidayatullah, tentang konsep keluarga atau ibu sebagai madrasah utama dan paling utama.

Kalau kita perhatikan, UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) sebetulnya mengakui peran keluarga serta masyarakat. Tapi, dalam praktiknya, UU itu dimonopoli oleh persekolahan sebagai sebuah industri.

Sekolah dipandang bisa menjadi bisnis besar. Waktu itu jika ditanya apa investasi yang menguntungkan? Jawabannya ada dua, yaitu rumah sakit dan sekolah.

Setelah saya kaji lebih lanjut, fenomena UN menunjukkan, pendidikan itu dikelola sebagai pasokan. Logika pasokan selalu dipakai dalam industri. Mereka berbicara mutu, standard, dan sebagainya.

Lantas, apa yang terjadi dan mengapa sekolah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap krisis SDM? Mengapa pula ia memilih belajar di rumah, bukan belajar dari rumah?

Masih banyak lagi penjelasan Daniel yang menguliti “kejahatan” sekolah. Semunya bisa dibaca di Majalah Suara Hidayatullah terbaru, edisi Juni 2020*

Rep: Bambang S.

Editor: Rofi' Munawwar

No comments: