Buya Hamka Tetap Produktif Menulis Walau Sakit


Dalam keadaan sakit dan berbaring di tempat tidur, Buya mendiktikan artikel “Islam dan Nasionalisme Indonesia” untuk dimuat di Panjimas. Matanya terpejam menahan sakit, tetapi bicaranya lancar dan sistematis.”

BIASANYA, sakit sering dikambing hitamkan orang untuk berapologi: tidak produktif dalam menghasilkan karya tulis. Namun, semua itu akan sirna di hadapan sosok sekaliber Buya Hamka.

Sudah umum diketahui beliau adalah salah satu tokoh Islam yang sangat produktif dalam menulis buku. Menariknya, produktifias beliau dalam tulisan, tidak dibatasi oleh usia senja atau sakit yang mendera.

Sebagai bukti sejarah, akan penulis nukilkan salah satu cerita Bapak M. Syarif Anwar yang mengisahkan kenang-kenangannya saat bersama Hamka di Panji Masyarakat dalam buku “Perjalanan Terakhir Buya Hamka” (1982: 205). Kita simak penuturannya secara singkat.

“Yang sangat mengagumkan, dalam usia lanjut dan kesibukkan seberat itu Buya masih produktif dalam tulisan-tulisannya. Belum lagi ceramah-ceramah yang sangat enak dan mengsyikkan untuk didengar. Ingatan Buya sangat tajam. “Pernah suatu kali ketika beliau sakit, saya dipanggilnya. Dalam keadaan sakit dan berbaring di tempat tidur, Buya mendiktikan artikel “Islam dan Nasionalisme Indonesia” untuk dimuat di Panjimas. Matanya terpejam menahan sakit, tetapi bicaranya lancar dan sistematis.”

Ia melanjutkan, “Saya sampai terheran-heran dibuatnya. Artikel “Islam dan Nasionalisme Indonesia” yang bagus itu adalah produk dari renungan Buya yang waktu itu sedang sakit dan berbaring di tempat tidur…..” –Selesai Nukilan—

Perhatikan bagaimana usia senja dan sakit yang membuat Buya sampai berbaring di tempat tidur, tidak menghalangi beliau untuk menjadi penulis produktif. Oleh karena itu, para penulis muda atau yang baru meniti dunia tulis-menulis agar meneladani beliau, bahwa penyakit bukanlah penghalang untuk produktif.

Dua ulama generasi tempo dulu ini bisa juga dibuat semacam tambahan pelecut semangat. Mungkin di antara kita ada yang mengenal ulama tafsir kawakan Ibnu Jarir Ath-Thabari. Beliau ini, dikaruniai Allah usia hingga lebih dari 80 tahun.

Di antara hal yang sangat menarik dari lembaran emas hidup beliau adalah menjelang wafatnya. Pada waktu itu ada salah seorang ulama yang sedang membesuknya.

Rupanya, ulama itu  bukan sekadar menjenguk, tapi juga menyampaikan satu hadits Nabi ﷺ yang belum pernah didengar oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari.

Dengan lekas beliau mengambil kertas dan pena di bawah ranjangnya. Kemudian hadits yang disampaikan oleh rekannya itu langsung ditulis seketika itu juga, walaupun dalam kondisi sakit menjelang meninggal dunia.

“Sobat! Dalam kondisi seperti ini kamu masih menyempatkan menulis?” tanyanya keheranang.

Namun, yang luar biasa jusrtu jawaban Ibnu Jarir, “Manusia harus tetap menuntut ilmu hingga meninggal dunia, bahkan sampai akhir ajalnya.” Lihat bagaimana sakit tidak menghalangi beliau untuk menulis.

Bahkan sebelum beliau sosok sekaliber Sufyan Ats-Tsauri pun telah melakukan hal yang sama. Dikisahkan bahwa menjelang wafatnya, beliau masih menyempatkan diri untuk menulis suatu permasalahan tentang masalah keilmuan.

Apa yang dilakukan menimbulkan kekhawatiran rekan dan keluarganya sehingga mereka menegur Imam Sufyan Ats-Tsauri. Namun, beliau tetap saja menulis sembari menandaskan, “Aku akan tetap menulisnya. Jika aku masih diberi kesempatah hidup, maka aku telah melakukan dan menulis kebaikan. Jika ternyata aku wafat, maka aku telah meninggalkan kebaikan dan ilmu yang bisa diambil manfaatnya (oleh orang).”

Mendengar kisah-kisah semacam ini, maka kita malu sendir. Baru sakit biasa, atau kadang terkendala dengan fasilitas untuk menulis kadang sudah merasa terhalangi sehingga tak melanjutkan menulis.

Membaca sejarah penulis besar sekelas Hamka dan ulama-ulama Islam dalam cerita tadi, ada mutiara hikmah yang terkandung: yang menghalangi orang untuk produktif menulis bukan karena sakit atau keterbatasan yang menderanya, tapi karena mental dan hatinya yang gampang menyerah dan buntu setiap kali mendapat rintangan dan halangan.*/Mahmud Budi Setiawan

No comments: