Daulah Utsmaniyah Pelopori Gerakan Vaksinasi


PARA dokter Daulah Utsmaniyah berupaya untuk memperkaya kedokteran Ibnu Sina, dimana mereka berkonstrasi kepada kedokteran bedah. Lebih-lebih Utsmaniyah dalam keadaan perang, mereka amat memperhatikan cabang kedokteran itu. Di masa itu pula buku-buku bedah medis ditulis, salah satunya oleh dokter bedah Ughlu Syarafuddin yang berjudul Jirrahah Ilkhaniyah, yang dihadiahkan kepada Sultan Muhammad Al Fatih pada tahun 1465 M.

Dokter lain, Akhi Jalabi di abad 15, menulis mengenai prostat. Sedangkan di awal abad 17 Syeikh Al Haramain Syamsuddin Afandi merilis karyanya yang berjudul Tasrih Al Abdan yang tidak lain merujuk dari buku karya Vasabius. Sebelum Istanbul ditaklukkan Haji Basya telah menulis karya yang berjudul Syifa’ Al Asqam. Sedangkan di abad 16 juga telah ditulis kamus kedokteran, dari bahasa Arab ke bahasa Turki, dimana Ahmad bin Muhammad mengajar kedokteran di Istanbul, lalu melakukan perjalanan ke India dan diangkat menjadi dokter khusus Syah Jihan, kemudian kembali ke Istanbul dan menulis Qamus Al Athibba’.

Awal mula penelitian dalam transplantasi organ tubuh telah dilakukan, dimana pada tahun 1624 dokter khusus Murad IV telah menulis kitab Anmudzaj fi Ath Thibb, yang mana disebutkan di dalamnya bahwa ia telah melakukan otopsi terhadap jenazah-jenazah.

Pada abad 18 terbit buku kedokteran berjudul Asy Syifa’ fi Tadbir Al Maulud oleh Ayyasyili Sya’ban, yang merupakan buku terbaik di masanya mengenai penanganan terhadap proses kelahiran dan penyakit kaum wanita.

Di Daulah Utmaniyah, penyakit kejiwaan dan syaraf merupakan cabang ilmu kedoteran tersendiri. Dalam buku Dzakhirah Al Muradiyah dijelaskan mengenai penyakit ingatan, kejiwaan, dan syaraf dalam 25 bab, dimana buku ini dihadiahkan untuk Sultan Murad II. Daulah Utsmaniyah pun mendirikan banyak rumah sakit jiwa dan syaraf, beberapa diantaranya cukup terkenal.

Eropa Belajar Penanganan Penyakit Jiwa dari Utsmaniyah

Penanganan dan perawatan terhadap para penderita penyakit kejiwaan di Daulah Utsmaniyah tarbaik di seluruh dunia saat itu, hingga pada abad 19. Di Daulah Utsmaniyah tidak ada perlakukan kasar terhadap para penderita penyakit kejiwaan. Hingga tahun 1788, John Howard ilmuwan Inggris menulis bahwasannya mutu rumah sakit-rumah sakit jiwa Turki menurun, namun mereka masih tetap terbaik dibanding Eropa. Di Perancis pada tahun 1818, penyakit kejiwaan tidak digolongkan sebagai penyakit, dan mereka memperlakukan penderita kejiwaan dengan perlakukan yang lebih buruk dari hewan. Demikian pula, orang-orang Eropa yang tinggal di Turki, mereka menertawakan orang-orang Turki yang merawat para penderita penyakit kejiwaan di rumah sakit jiwa. Orang-orang Eropa itu memukuli para penderita gangguan jiwa, karena mereka meyakini gangguan jiwa disebabkan karena kerasukan roh jahat. Tidak jarang mereka juga membiarkan penderita gangguan kejiwaan tanpa makanan dan minuman. Akhirnya para dokter Eropa pun belajar dari Turki dalam memperlakukan para penderita penyakit jiwa.

Para dokter Utsmaniyah sendiri telah membedakan apa itu depresi melankolis, scrizofrenia, serta histeria. Dan mereka memiliki metode-metode khusus untuk menangani masing-masing gangguan itu. Negara pun memiliki perhatian terhadap penanganan masalah kejiwaan, dimana Kharram Sultan, istri Sultan Qanuni mendirikan rumah sakit jiwa untuk kaum wanita. Sedangkan Sultan Qanuni juga ikut andil dalam mendirikan rumah sakit jiwa untuk kaum laki-laki. Sedangkan di Istanbul dan kota-kota lainnya sudah dibangun rumah sakit sejenis, yang paling terkenal adalah rumah sakit Bayazid III, kakek dari Sultan Qanuni.

Turki Temukan Vaksin Smallpox

Turki sudah menerapkan vaksinasi smallpox tahun 1695. Pada tahun 1721, Lady Montague, yang saat itu menjadi duta besar Inggris untuk Utsmainyah di Istanbul mengetahui metode vaksinasi Turki untuk penyakit tersebut. Selanjutnya Lady Montague menyampaikan apa yang ia saksikan kepada para pejabat penting Inggris, namun sayang pihak Eropa menentang vaksinasi secara terus menerus. Namun pada tahun 1764, pihak akademis ilmu kedokteran Perancis menyatakan bahwasannya vaksinasi bisa memberikan manfaat. Akan tetapi Louis 15 terjangkit Smallpox, dan ia menolak vaksinasi, lantas ia pun meninggal. Sedangkan awal mula vaksinasi dilakukan di Inggris tahun 1764. Sesungguhnya penemuan dari pihak Turki terhadap vaksinasi manjadikan pihak Eropa ragu-ragu untuk menerapkannya. Sedangkan para pendeta mengumumkan bahwa siapa saja yang membolehkan parktik vaksinasi telah keluar dari agama. Sedangkan Lady Montague telah memvaksin anaknya saat di Istanbul. Pada tahun 1759, Volter memberikan dukungan terhadap vaksinasi, namun para dokter Inggris takut terhadap gereja. Meskipun Lady Montague menegaskan bahwa tidak ada korban yang meninggal karena vaksin di Turki, namun tidak ada yang mempercayainya.

* Disadur dari buku Tarikh Ad Daulah Al Utsmaniyah karya Yilmaz Uztuna.

No comments: