Dokter Arab Vs Dokter Eropa di Masa Perang Salib


DI masa penguasa Salib menduduki wilayah-wilayah umat Islam di Syam, seorang dokter Muslim dari kota Syaizar Himsh dikirim untuk mengobati pemukim Salibis. Hal itu dilakukan karena permintaan penguasa Salibis pada waktu itu. Setelah kembalinya ke Syaizar, sang dokter berkisah mengenai apa yang ia saksikan. Dimana pada waktu itu ia diminta untuk mengobati seorang prajurit berkuda, yang menderita pembengkakan di betis serta seorang wanita yang menderita penyakit syaraf. Sang dokter pun memutuskan untuk memecahkan bisul yang diderita si prajurit, hingga akhirnya penyakitnya berangsur sembuh. Adapun untuk wanita, sang dokter memberikan asupan gisi yang baik dan menyiapkan lingkungan yang sesuai untuknya. Kemudian datanglah seorang dokter dari Eropa yang berkata,”Sesungguhnya Muslim ini tidak mengerti apa-apa tentang kedokteran.” Lantas ia pun bertanya kepada prajurit, apakah ia mau hidup dengan satu kaki, atau mati dengan kedua kaki? Kemudian si pasien pun menjawab bahwa ia ingin hidup dengan satu kaki. Akhirnya ia pun mendatangkan sebilah kampak dan seorang lelaki berotot. Dokter itu pun memerintahkannya untuk memotong kaki si pasien dengan satu tebasan. Namun si lelaki tidak mampu memotong betis pasien kecuali dengan dua tebasan. Dan akhirnya pasien pun tewas seketika. Adapun mengenai pasien wanita, dokter Eropa pun berkata,”Sesungguhnya setan telah merasuki kepalanya. Akhirnya ia pun mengiris kepala wanita itu dengan irisan berbentuk salib dan menaburinya dengan garam. Wanita itu pun tidak lama kemudian juga tewas. Kisah ini disampaikan oleh saksi mata yang bertemu dengan dokter Muslim itu, yakni pengelana Muslim, Usamah bin Munqidz. (lihat, Al I’tibar, hal. 152)

Usamah bin Munqidz juga meriwayatkan sebuah kisah dari bangsawan Salib, Guillaum De Bures, mengenai kisah seorang prajurit penunggang kuda yang memperoleh pengobatan dari seorang pembesar pendeta. Dimana pendeta itu meletakkan dua bola kecil dari lilin di kedua lubang hidungnya, yang akhirnya menyebabkan si prajurit tewas. Akhirnya mereka yang berada di sekitar pun bertanya kepada pendeta, apakah laki-laki itu mati? Pendeta itu pun menjawab,”Ya, ia telah menderita rasa sakit yang amat sangat pedih, maka aku membebaskannya darinya dengan cara ini.” (lihat, Al I’tibar, hal. 156, 157)

Sebagaimana juga dikisahkan bahwasannya ketika Richard hendak menyerang Bait Al Maqdis dengan sisa-sisa semangat yang ia miliki, saat itu sakitnya semakin parah. Akhirnya ia pun menawarkan perdamaian dengan Shalahuddin. Saat itu, Richard juga meminta kepada Shalahuddin buah-buahan dan minuman dingin. Akhirnya Shalauddin pun mengirim untuk Richard, buah-buahan beserta dokter pribadinya untuk memberikan pengobatan. (Qishshah Al Hadharah, 15/44)

Eropa Belajar dari Kedokteran Arab

Ketertinggalan Eropa dalam kedokteran memacu mereka untuk manfaat dari ilmu kedokteran Arab. Akhirnya mereka memulai untuk menterjemahkan buku-buku kedokteran dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Di masa pemerintahan Salib, para peneliti menyebutkan ada dua kitab yang diterjemahkan, yakni kitab Al Kamil Ashan’ah Ath Thibbiyah karya Ali bin Abbas yang diterjemahkan di Anthakiya tahun 532 H dan Sirr Al Asrar yang disebut sebagai karya Aristoteles yang diterjemahkan juga di Anthakiya tahun 542 H. Kedua kitab itu akhirnya menjadi rujukan utama ilmu kedoteran di Eropa. (Tarikh Ulum ‘Inda Al Arab, 281)

Kemudian akhirnya kitab-kitab kedokteran Arab lainnya menjadi rujukan penting. Sebagaimana kitab Al Hawi karya Abu Bakr Ar Razi, yang telah menjadi rujukan di Eropa selama 400 tahun. Sedangkan di Fakultas Kedokteran di Paris 600 tahun lalu, perpusatakannya tidak memiliki koleksi kecuali hanya satu kitab ini, yakni Al Hawi. (Al Maujiz fi Tarikh Ath Thibb wa Ash Shaidaliyah Inda Al Arab, hal. 28)

Bahkan, sebagaian dari universitas kedokteran Eropa mensyaratkan para mahasiswanya yang hendak terjun dalam praktik medis untuk mengikuti ujian khusus mengenai kitab Al Qanun karya Ibnu Sina, kitab Al Kulliyat karya Ibnu Rusyd, serta Al Maqalah As Sabi’ah dari kitab Al Manshuri karya Ar Razi. (Buhuts fi Tarikh Al Islam wa Hadharatuhu, hal. 611)

Rep: Sholah Salim

No comments: