Fiqih Maliki “Dibungkus” Hukum Prancis


Sejarah membuktikan, hukum positif Perancis mayoritas diadopsi dari hukum-hukum fiqih dalam Mazhab Maliki

NAPOLEON Bonaparte berhasil masuk dan menjajah Mesir pada 1798. Saat berkuasa ia menetapkan pajak tinggi, hingga para penduduk melakukan perlawanan. Masyarakat berkumpul di Masjid Al Azhar dengan jumlah 15 ribu orang. Mereka mulai melakukan serangan, hingga Jenderal Dupuy, yang ditugaskan di Kairo tewas bersama beberapa tentara Prancis.

Perancis membalas menyerang Al Azhar dengan menembakkan meriam dari benteng Shalahuddin Al Ayyubi. Kemudian mereka memasuki Al Azhar dengan kuda-kuda dan sepatu mereka, serta menambatkan kuda-kuda mereka di mihrab. (lihat, Al Azhar fi Alfi Al ‘Aam, hal. 97, 98)

Setelah peristiwa itu, Syeikh Hasan Al Aththar, Syeikh Al Azhar memilih pergi ke  Asy Syuth, menghindari Perancis. Setelah situasi tenang, ia kembali ke Kairo dan bertemu dengan pihak Prancis. (Aujaz Al Masalik fi Al Ibanah, hal. 19)

Penerjemahan Hukum Prancis

Ketika Perancis memaksakan hukumnya kepada Mesir, Syeikh Hasan meminta kepada muridnya, Syeikh Rifa’ah Ath Thahthawi, seorang ulama madzhab Hanafi untuk menterjemahkan hukum Perancis ke bahasa Arab. Begitu selesai, Syeikh Hasan membaca hasil terjemah itu dan menyatakan, ”Sesunggunnya tiga perempat dari hukum ini mengambil mentah-mentah dari fiqih Maliki.” (Aujaz Al Masalik fi Al Ibanah, hal. 13)

Namun ada juga yang menyebutkan Syeikh Rifa’ah diminta oleh Khedewei Ismail, pemimpin Mesir pada waktu itu, untuk menyusun sebuah kitab fiqih yang memudahkan untuk dirujuk dalam pengadilan yang bersumber dari syariat Islam. Namun Syeikh Rifa’ah menolak permintaan itu, karena ulama Al Azhar terbiasa menulis kitab dengan syarh dan hasyiyah. Siapa saja yang menulis diluar metode itu dianggap fasik.  Khedewei akhirnya meminta Syeikh Ri’fa’ah menerjemahkan hukum Perancis, dan ia pun menyanggupinya.

Kajian Hukum Perancis

Setelah itu, Khedewei  meminta  Syeikh Makhluf Al Minyawi (1878), hakim yang juga ulama Al Azhar untuk memberi tanggapan mengenai hukum Prancis dengan menggunakan fiqih Madzhab Maliki.

Syeikh Makhluf kemudian menulis karya setebal dua jilid dari hasil penelitiannya yang membandingan antara hukum Perancis dan Madzhab Al Maliki. Hasil penilitian ini diberi judul Tathbiq Al Qanun Al Faransawi Al Madani wa Al Jina’i ala Madzhab Imam Malik (Aplikasi Hukum Perdata dan Pidana Prancis terhadap Madzab Imam Malik)

Dalam muqadimahnya, Syeikh Makhluf menulis, ”Inilah kumpulan dari perincian-perincian Madzhab Malik, Imam Dar Al Hijrah An Nabawiyah, dibandingkan dengan hukum Eropa yang sesuai atau memiliki kesamaan yang mencolok, dimana aku telah mengumpulkannya sesuai dengan keinginan dari Yang Mulia Raja Mesir…” (lihat, Muqadimah Tathbiq Al Qanun Al Faransawi Al Madani wa Al Jina’I ala Madzhab Imam Malik, 1/8,9,10)

Hukum Prancis Sesuai Madzhab Maliki

Setelah Syeikh Makhluf, datanglah Syeikh Sayyid Abdullah At Tidi, seorang ulama Madzhab Maliki Al Azhar yang lahir pada 1889 dari desa Tida di Kafr Syeikh Mesir. Syeikh Sayyid At Tidi menulis karya dengan judul Muqaranah At Tasyri’iyah baina Al Qanun Al Faransi wa Madzhab Al Imam Malik Bin Anas (Perbandingan Perundang-Undangan antara Hukum Prancis dan Madzhab Imam Malik Bin Anas) setebal empat jilid.

Syeikh Abdullah At Tidi melihat para ahli hukum yang tidak memahami syariat Islam, dan menyangka bahwa ia merupakan bentuk perundang-undangan yang kuno yang tidak dipakai. Dan para ahli hukum Prancis dan negara-negara lainnya sepakat untuk tidak menyebutkan bahwa syariat Islam adalah perundang-undangan yang pernah menerangi bumi dengan ilmu dan keadilan.

Syeikh Sayyid At Tidi sendiri setelah menyelesaikan pendidikannya di Al Azhar selama lima belas tahun untuk mempelajari Madzhab Maliki dan Hanafi,  meneruskan studi di Universitas Lyon Prancis untuk mempelajari hukum. Ia berkesimpulan, hukum Perancis serupa dengan syariat Islam, terutama Madzhab Maliki.

Hal itulah yang mendorong Syeikh Sayyid At Tidi melakukan penelitian perbandingan antara hukum Prancis dengan Madzhab Maliki. Tujuannya, agar umat Islam umumnya dan mereka yang berkecimpung dalam hukum mengetahui posisi syariat Islam dan hukum positif. Terbukti bahwa syariat Islam menjadi sumber hukum positif (di Prancis), meskipun mereka mengingkari keunggulan syariat, sekalipun hanya untuk menyebutkan namanya.

Syeikh Sayyid At Tidi menulis, “Maka aku menerjemahkan hukum perdata Perancis dan kubandingkan pokok-pokok kaidahnya yang sesuai atau yang menyelisihi Madzhab Imam Malik. Hal itu menjadi bukti bagiku bahwasannya hukum Perancis mengambil dari madzhab Imam Malik bin Anas Radhiyaallahu`anhu.” (lihat, muqadimah Muqaranah At Tasyiri’iyah, 1/61, 62)

Merespon Argumen Sekularis

Syeikh Sayyid At Tidi juga merespon pernyataan pihak sekularis yang menulis di surat kabar Al Muqaththam pada 23/7/1943 bahwasannya tidak satu hukum pun dalam hukum Prancis yang bersumber dari fiqih para imam. Syeikh Sayyid At Tidi menyatakan, ”Kami tidak menjawab mereka dengan satu hukum saja, tapi dengan 9/10 teks hukum Prancis dalam kitab kami. Dan kami berkata di telinganya, fiqih Imam Malik tidak hanya diambil oleh undang-undang yang baru lahir tahun 1805 itu saja, bahkan sejak 200 tahun hijriyah ketika fiqih Imam Malik telah diterapkan sebagai hukum di Eropa dan Andalusia pada waktu itu adalah menara ilmu sedangkan Eropa berada dalam kungkungan kebodohan.” (lihat, jawaban Syeikh Sayyid At Tidi terhadap sekaluaris di Muqaranat At Tasyri’yah, 1/45-48)

Sebab itulah, Syeikh Sayyid At Tidi menyampaikan kepada umat Islam, baik ulama, para hakim, anggota parlemen untuk tidak malu-malu kembali merujuk syariat Islam sebagai hukum di negeri-negeri Muslim.*

Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Khazanah Majalah Hidayatullah edisi Agustus 2018

No comments: