Kasman Singodimedjo, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pencoretan Sila Pancasila (1)


Polemik sila Ketuhanan Yang Maha Esa sejak dulu menjadi polemi”JANGAN  sekali-sekali melupakan sejarah (JASMERAH).”  Itu pesan Bung Karno. Tapi baik juga untuk diwanti-wanti jangan mengulangi kesalahan yang sama. Apalagi soal dasar Negara Pancasila.

Rencana Undang-undang tentang Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila yang sering disingkat dengan RUU-HIP sudah ditunda pembahasannya. Tapi menyisakan bom waktu. Karena membicarakan dasar Negara Pancasila sudah bisa dipastikan dengan pergulatan idiologi besar di dunia ini. Dan perdebatan Pancasila selalu berhadapan dengan sekuler, komunis dan Islam.

Peristiwa ini sebenarnya mengulang sejarah lama tentang proses dasar Negara Pancasila.

Bermula dari peristiwa dihapusnya 7 kata dari Piagam Djakarta yang telah ditetapkan 22 Juni 1945 menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana kita kenal dalam Pancasila sekarang. Bahkah dalam merumuskan isi Piagam Djakarta pun, perdebatan sengit diantara anggota inti BPUPKI yang merumuskannya.

Hilang 7 kata, jadi berliku

Begitu diangkat menjadi anggota PPKI, Kasman Singodimedjo dihadapkan pada situasi kritis. Situasi pada pagi 18 Agustus 1945 sungguh-sungguh krusial. Keputusan rapat besar Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengenai Pembukaan (yang biasa disebut Piagam Jakarta 22 Juni 1945) dan batang tubuh UUD 1945  pada 16 Juli 1945, yang dalam kalimat itu Ketua BPUPKI,  Dr Radjiman Wedjodiningrat, “…menerima dengan suara sebulat-bulatnya”, oleh Mohammad Hatta diminta untuk diamandemen, yaitu dengan menghilangkan kata-kata: “… dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

Menurut mantan Wakil Perdana Menteri Prawoto Mangkusasmito dalam buku biografinya yang berjudul Alam Fikiran dan Jejak Perjoengan, ketika seluruh eksponen non-Islam pada rapat PPKI sehari sesudah Proklamasi Kemerdekaan itu menghendaki penghapusan tujuh kata yang menjadi inti dari Piagam Jakarta, satu-satunya eksponen pejuang Islam yang memahami proses lahirnya Piagam Jakarta,  hanyalah Ki Bagoes Hadikoesoemo. K. H. A. Wahid Hasjim masih dalam perjalanan dari Jawa Timur. Adapun Kasman Singodimedjo, juga T M Hassan,  sebagai anggota tambahan, tidak terlalu memahami persoalan. Prawoto dan Kasman Singodimedjo adalah salah satu anggota baru PPKI yang berperan untuk bisa mendekati para penggagas dasar Negara seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo.

Tidak mudah meyakinkan Ki Bagoes Hadikoesoemo untuk menghapus tujuh kata. Sesudah Bung Hatta gagal meyakinkan Ki Bagoes, dia meminta bantuan T. M. Hassan,  tokoh Ikhwanus Safa dari Aceh untuk melunakkan hati Ki Bagoes. Sesudah Hassan tidak berhasil, Hatta melirik Kasman Singodimedjo. Sementara Soekarno menjauh dari lobbi-lobbi penghapusan 7 kata tersebut. Karena Soekarno merasa tidak enak karena sebagai Ketua PPKI, terutama sebagai panitia Sembilan mengenai pembuatan Piagam Jakarta merasa kikuk untuk menghadapai Ki Bagoes Hadikoesoemo dan kawan-kawan.

Dengan bahasa Jawa halus,  Kasman Singodimedjo sebagaimana dalam kutipan biografinya Hidup Itu Berjuang, meyakinkan Ki Bagoes bahwa UUD harus segera disahkan karena posisi bangsa Indonesia sekarang terjepit di antara bala tentara Dai Nippon yang masih tongol-tongol di bumi Indonesia dengan persenjataan modern, dan tentara Sekutu termasuk Belanda yang tingil-tingil mau masuk Indonesia, juga dengan persenjataan modernnya.

Di akhir pembicaraan, Kasman bertanya kepada Ki Bagoes apakah tidak bijaksana jika kita sebagai umat Islam yang mayoritas ini mengalah demi segera tercapainya kemerdekaan Indonesia lengkap dengan konstitusinya. Dan bagi Kasman pun dalam hati dan pikirannya ingin sekali mempertahankan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tanpa pencoretan maupun penghapusan dari tujuh kata termaksud. (lihat Hidup Itu Berjuang, hal 123).

Tercatat dalam Risalah Sidang BUPPKI dan PPKI bahwa siang itu rapat dimulai terlambat, yaitu pukul 11.30 (atau 10.00), dipimpin oleh Bung Karno dengan Agenda Pengesahan Undang Undang Dasar. Setelah dibuka, maka Bung Hatta membacakan Rancangan UUD, termasuk perubahan 7 kata menjadi Yang Maha Esa, dan menghapus agama Islam sebagai persyaratan menjadi Presiden.  Mengenai Pancasila (di naskah Pembukaan UUD 1945 tidak ada sebutan Pancasila). Sila pertama yang dibacakan Bung Hatta adalah: Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar Kemanusiaan yang adil dan beradab, ….. dst. Selesai naskah ini dibacakan, maka Ketua Sidang meminta persetujuan sidang. Dan di sini intuisi dan kecerdasan Ki Bagoes terlihat. Beliau menjadi orang pertama yang mengajukan usul atau saran (beliau tidak lagi mempersoalkan pencoretan 7 kata), kata beliau:

“Saya kira, perkataan “menurut dasar kemanusiaan” lebih baik diganti dengan “ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, dan seterusnya”

Bung Karno kemudian menimpali:

“Tuan Ki Bagoes mengusulkan, supaya dipakai perkataan “ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, dan perkataan “menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab” dicoret saja.”

Di sini terlihat Bung Karno salah mengerti dan langsung dikoreksi oleh Ki Bagoes:

“Berdasar kepada ke-Tuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”, “menurut dasar” hilang.”

Bung Karno kemudian menyimpulkan:

“…. Jadi: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,  dan kerakyatan”, dan seterusnya.”

Rumusan inilah yang disetujui sebagai rumusan Pancasila sampai sekarang.

Penghilangan kata “menurut dasar” merupakan hal yang luar biasa dan jelas menunjukkan insting Ki Bagoes tentang kesalahan makna kalimat asli Ketuhanan yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan …dst). Bila menggunakan kalimat asli, maka bisa diasumsikan bahwa ke-Tuhanan Yang Maha Esa seolah-olah tidak cukup dan harus didasari oleh kemanusiaan yang adil dan beradab dst.  Atau bila dibalik maka seolah-olah ada ke-Tuhanan yang tidak berperikemanusiaan. Ki Bagoes dengan cepat mengubahnya dan tidak satu orangpun menolak. Mungkin mereka tidak sempat berpikir atau telah merasa puas dengan dihapusnya 7 kata tadi dan menganggap pencoretan kata “menurut dasar” adalah hal yang kecil.

Dengan amandemen Ki Bagoes, maka sampai sekarang di dalam Pembukaan UUD 1945 tertulis: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,  Persatuan Indonesia, dan seterusnya.”

Sebagaimana dikutip lama www.radarbangsa.com, Hasjim Asj’ari memanggil anaknya Wahid Hasyim dengan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.

Irkham Fahmi al-Anjatani dalam tulisan Mbah Hasjim Asy’ari pun Pernah Dipaksa Menerima Pancasila menegaskan bahwa apabila dikatakan bahwa Pancasila sesuai dengan ajaran Islam, maka jangan halang-halangi mereka memperjuangkan tegaknya syariat Islam.

Usai disepakati, Kasman dalam bukunya itu menegaskan bahwa bagi umat Islam dan para pengusul perubahan itu sungguh-sungguh dianggap sebagai karunia dan nikmat Allah yang harus disyukuri oleh semua orang terutama umat Islam.

Dr. Adian Husaini dalam tulisan yang berjudul Pancasila, Tauhid, dan Syariat, menerangkan banyak kaum Muslim memandang bahwa hilang nya “tujuh kata” dari sila pertama naskah Piagam Jakarta—dan digantikan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”—adalah sebuah kekalahan perjuangan Islam di Indonesia. Namun, tidak demikian halnya dengan IJ Satyabudi, seorang penulis Kristen. Dalam bukunya yang berjudul Kontroversi Nama Allah (1994), ia justru mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila pertama tersebut.

Satyabudi menulis:

“Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu identik dengan ‘Ketuhanan Yang Satu!’ Kata ‘maha esa’ itu memang harus berarti ‘satu’. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun sila pertama ini.”

Dalam tulisan Adian Husaini yang menyertakan hasil Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 16 Rabiul Awal 1404 H/21 Desember 1983 menetapkan sejumlah keputusan:

(1) Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian ke imanan dalam Islam.

(2) Bagi Nahdlatul Ulama (NU), Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia.

(3) Penerimaan dan penga malan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya. (Lihat, pengantar KH A Mustofa Bisri berjudul “Pancasila Kembali” untuk buku As’ad Said Ali, Negara Pancasila, Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Jakarta: LP3ES, 2009).*/Akbar Muzakki (bersambung),  penuh intrik dan tafsiran

No comments: