Kisah Cinta Para Ulama (1)


Bahkan para ulama memandang romantika kehidupan suami-istri adalah bagian dari pengamalan Dien ini.
 BERINTERAKSI dengan pasangan hidup menjadi hal yang amat penting. Bahkan para ulama memandang romantika kehidupan suami-istri adalah bagian dari pengamalan Dien ini.

Para ulama dikenal sebagai ahli ibadah. Namun bukan berarti kehidupan keluarganya kering dari bisikan cinta. Mereka bahkan selalu romantis!

Bagaimana interaksi suami-istri para ulama salafush-shalih? Simak kisah di bawah ini, yang dinukil dari berbagai kitab karya para ulama.

Khidmat Istri Setara dengan Jihad

Suatu saat, Asma’ binti Yazid al-Anshariyah datang kepada Rasulullah ﷺ dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengutus Anda untuk laki-laki dan perempuan, maka kami beriman kepadamu dan kami mengikutimu. Dan kami para perempuan terbatasi, berdiam di tempat, penanggung jawab rumah, tempat bagi syahwat para lelaki, serta yang mengandung anak-anak mereka. Sedangkan para lelaki memiliki keutamaan dengan jamaah, menyaksikan jenazah, dan jihad. Jika mereka keluar untuk berjihad, kami menjaga harta-harta mereka dan mendidik anak-anak mereka. Apakah kami memiliki pahala yang sama dengan mereka wahai Rasulullah?”

Rasulullah ﷺ menoleh dan memandang para Sahabatnya lantas bersabda, “Apakah kalian pernah mendengar pertanyaan dari perempuan yang lebih baik daripada pertanyaan mengenai Diennya ini?”

Para Sahabat menjawab, “Tidak, wahai Rasulullah.”

Rasulullah ﷺ pun mengatakan, “Pergilah wahai Asma’, ajarilah para wanita, sesungguhnya ketaatan salah satu dari kalian terhadap suaminya dan pencariannya terhadap keridhaannya serta mengikuti persetujuannya sebanding dengan seluruh apa yang engkau telah sebutkan bagi para laki-laki.” (Riwayat al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).

Berkhidmat Total kepada Suami

Didikan Rasulullah ﷺ terhadap para Shahabiyah yang demikian itu membuat mereka menjalankan peran sebagai istri dengan semaksimal mungkin. Potret aktivitas para Shahabiyah di ranah rumah tangga sendiri telah diabadikan oleh para ulama dalam karya-karya mereka.

Disampaikan oleh Ali bin Abi Thalib RA kepada Ibnu A’bad, “Nah, aku kisahkan kepadamu tentang Fathimah, putri Rasulullah ﷺ. Ia adalah keluarga yang paling dicintainya yang saat itu (hidup) bersamaku. Ia menarik penggilingan hingga hal itu memberikan bekas pada tangannya, lalu membawa air dengan gerabah hingga memberikan bekas pada lehernya, menyapu rumah hingga bajunya berdebu, menyalakan tungku hingga pakaiannya menghitam dan kondisinya menjadi buruk karena hal itu…” (Riwayat Abu Dawud).

Sedangkan Atha’ bin Abi Rabah menyatakan mengenai Fathimah, “Sesungguhnya Fathimah, putri Rasulullah ﷺ, membuat adonan dan bagian depan rambutnya sampai menyentuh tanah dan nampan makanan.” (Shifat ash-Shafwah, 2/13, 14).

Demikianlah kehidupan putri Rasulullah ﷺ, manusia agung yang menjadi panutan umat Islam hingga akhir zaman.

Hal yang sama terjadi pada Asma’ binti Abu Bakar ash-Shiddiq, yang menyatakan, “Zubair menikahiku. Di bumi ini ia tidak memiliki harta, budak, serta apapun kecuali seekor kuda. Aku memberi makanan kudanya dan mencukupi kebutuhannya, mendidiknya, menghancurkan biji-bijian untuknya, memberinya makan, memikul air, memenuhi embernya, serta membuat adonan… aku sendiri membawa biji-bijian dari tanah Zubair yang merupakan bagian yang diberikan Rasulullah ﷺ di atas kepalaku, yang jaraknya sepertiga farsakh.” (Riwayat  Muslim).

Sepertiga farsakh jika dibandingkan dengan satuan jarak saat ini sama dengan 1,6 km. Ya, putri manusia yang paling dekat dengan Rasulullah ﷺ itu menyunggi hasil panen dalam jarak yang cukup jauh!

Menjaga Komunikasi dengan Suami

Dari Anas bin Malik RA, ia berkata, “Telah meninggal putra dari Abu Thalhah dari Ummu Sulaim, maka ia berkata kepada keluarganya, ‘Janganlah kalian berbicara kepada Abu Thalhah mengenai putranya sampai aku yang menyampaikan kepadanya.’ Maka tatkala Abu Thalhah tiba, Ummu Sulaim menghidangkan makan malam kepadanya, lalu ia pun memakan dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan untuk Abu Thalhah dengan dandanan yang terbaik dibanding dandanan sebelumnya, lalu Abu Thalhah pun menggaulinya. Tatkala Ummu Sulaim melihat Abu Thalhah telah kenyang dan memperoleh hajat darinya, ia lalu berkata, ‘Wahai Abu Thalhah, tidakkah engkau melihat ketika ada sebuah kaum meminjamkan pinjamannya kepada sebuah keluarga, kemudian mereka  meminta kembali pinjamannya, apakah mereka berhak menolaknya?’ Abu Thalhah pun menjawab, ‘Tidak .’ Ummu Sulaim pun berkata, ‘Ikhlaskanlah putramu.’ Kemudian Abu Thalhah pun bertolak menuju Rasulullah ﷺ dan menyampaikan apa yang telah terjadi. Maka Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Semoga Allah memberkati kalian berdua di sisa malam kalian berdua.’” (Riwayat Muslim).

Meski dalam keadaan berduka, Ummu Sulaim amat memperhatikan bagaimana cara untuk menyampaikan kabar duka kepada suami. Jangan sampai informasi itu membuat suaminya kaget dan tidak siap. Langkah yang ditempuh ini memperoleh pujian dari Rasulullah ﷺ.

Hal serupa dilakukan oleh Sayyidah Asma` RA. Ia mengisahkan, “Telah datang kepadaku seorang laki-laki dan mengatakan, ‘Wahai Ummu Abdullah, sesungguhnya aku seorang lelaki fakir. Aku ingin berjualan di bawah atap rumahmu.’ Maka aku mengatakan, ‘Jika aku membolehkan hal itu, maka Zubair menolaknya. Nanti kemarilah dan mintalah kepadaku ketika Zubair menyaksikan.’ Kemudian lelaki itu pun datang kembali dan mengatakan, ‘Wahai Umm Abdullah, aku adalah seorang lelaki fakir, aku ingi berjualan di bawah naungan atapmu.’ Maka aku mengatakan, ‘Apakah bagimu di Madinah hanya ada atap rumahku?’ Maka Zubair pun berkata kepada Asma`, ‘Kenapa engkau menolak seorang lelaki fakir untuk berjualan?” Akhirnya lelaki itu berjualan hingga memperoleh keuntungan. (Riwayat Muslim).

Waktu itu Asma` telah memiliki pendapat, namun ia tetap berusaha untuk tidak menyebabkan perselisihan dengan suami. Itulah sebabnya ia memilih sebuah cara yang menjadi jalan keluar.

Para wanita ahli ibadah amat mengerti apa yang harus dilakukan di hadapan sang suami, di samping beribadah kepada Allah SWT. Rayah al-Qisiy adalah seorang shalih beristrikan wanita ahli ibadah. Beliau suatu saat menceritakan pengalamannya dengan sang istri yang membuatnya memperoleh pelajaran.

Al-Qisiy menyampaikan, “Jika ia (istri –pent) telah melaksanakan shalat Isya’, maka ia berdandan, memakai wewangian serta mengenakan gaun dan mendatangiku lalu menyampaikan, ‘Apakah engkau ada hasrat?’ Jika aku mengatakan, ‘Ya’, maka ia bersamaku. Namun jika aku mengatakan, “Tidak’, maka ia melepas kembali gaunnya dan mengambil tempat untuk mendirikan shalat hingga waktu Shubuh tiba.” (Shifat ash-Shafwah, 4/44).* Toriq/Majalah Suara Hidayatullah edisi Januari 2017

No comments: