Kitab Fikih Sudah Terlupakan?

Muhammad Karim

Sejarah mencatat tidak pernah ada ulama Nusantara yang menjadi radikal, hanya karena mempelajari Kitab Fath al-Mu’in
JIKA  diteliti lebih dalam, seseungguhnya mereka yang tidak memahami ilmu fikih akan berpotensi melahirkan radikalisme, bahkan kolonialisme. Hal tersebut dapat dibuktikan bahwa sikap Barat yang mayoritas menjajah wilayah yang ada di bumi ini.

Sejarah mencatat, bahwa Mesir sebagai Negara Islam yang banyak melahirkan para ahli fikih itu dijajah oleh Inggris. Tunisia diduduki oleh Prancis, bahkan negara kita di jajah oleh mereka yang tidak mengenal kitab fikih.  (Lihat: Eugene Rogan,The Fall Of The Khilafah,4-5).

Jauh sebelum itu, Wali Songo datang ke Nusantara ini tanpa perperangan dan tumpahan darah untuk menyebarkan kedamaian (Islam). Di Kampar Kiri, terdapat Syeikh Burhanuddin Kuntu seorang qodhi yang paham akan ilmu fikih, datang dari Makkah masuk ke Pulau Sumatera tanpa perperangan dan tidak satu pun mengambil hasil bumi di daerah tersebut, jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para penjajah Barat di negeri ini.

Apakah ilmu fikih melahirkan pemahaman radikalisme?

Tentu untuk membuktikan hal tersebut adalah dengan mengaji secara mendalam (tadqiq) kitab-kitab turats yang ditulis oleh para ulama terdahulu.

Di antara kitab fikih yang menjadi rujukan ulama di Nusantara adalah kitab Fath al-Mu’in dan sejarah tidak pernah mengukir bahwa ada ulama Nusantara yang menjadi radikal, karena mempelajari kitab Fath al-Mu’in tersebut. Artinya, memahami fikih tidak akan melahirkan santrinya manjadi radikal, akan tetapi memahami fikih akan mencerdaskan serta memperbaiki akhlak umat.

Perlu diketahui bahwa mempelajari fikih akan memperbaiki hubungan kita dengan Allah dan manusia, sebab di dalam fikih terdapat bab thaharah (bersuci), ibadah, mu’amalah (hal hal yang berkaitan hubungan dengan manusia), munakahat (hal yang berkaitan dengan pernikahan), jinayat (hal yang berkaitan dengan tindak pidana). Apabila bab-bab tersebut dipahami secara mendalam, maka hubungan seseorang dengan tetangganya akan baik, hubungan penjual dan pembeli akan baik, hubungan antar pembisnis akan akur, hubungan antar negara akan baik, hubungan Muslim dengan non-Muslim akan baik, bahkan lingkungan akan nyaman dan bersih karena setiap bab di dalam fikih mengandung konsep Islam yang sempurna.

Sebaliknya dengan tidak memahami fikih akan menjadikan seseorang tersebut menjadi radikal, berikut salah satu contoh bahwa di dalam fikih diajarkan akhlak mulia bahkan ketika berperang sekalipun.

ولو قال لكافر أطلق أسيرك وعلي كذا فأطلقه لزمه

Apabila orang Islam berkata kepada orang yang non Muslim “lepaskanlah tawanan anda, akan aku bayar sekian,” lalu orang kafir tersebut melepaskannya, maka orang Muslim tadi wajib membayarkan tebusan itu. (Lihat: Fath al-Mu’in, ditulis oleh Syeikh Zainuddin Abdul Aziz al-Malibariy, juz 4 hlm.197).

Teks di atas membuktikan bahwa fikih tidak akan melahirkan manusia yang radikal apalagi suka menjajah atau kolonialisme dan tentunya fikih dibangun atas dasar ijtihad yang kuat dari pada ulama. Oleh sebab itu, apabila ada cendekiawan Islam yang ingin meninjau ulang kitab fikih terdahulu, maka pastikan terlebih dahulu bahwa dia sudah memahami dan telah menguasai seluk beluk kitab-kitab fikih, kemudian selanjutnya pantaskan ia melakukan itu? Adakah ia memiliki kemapuan ilmu?

Kepantasan meninjau ulang dan mengkritisi kembali tidaklah diukur dari gelar akademik, namun diukur dari kepakaran dan keahlian. Pakar dan dalam menguasai ilmu fikih, baik ushul ataupun furu’–nya, perbedaan ulama dalam memutuskan hukum.

Artinya seseorang tersebut harus menguasai masalah-masalah fikih, kaidah-kaidah dan cabang-cabangnya, serta juga menguasai perbedaan pendapat ulama agar bisa memilih dan pendapatnya tidak bertentangan dengan cara memunculkan pedapat yang baru. Dan disyaratkan juga bagi orang yang berijtihad melengkapi seluruh sarana ijtihad–nya, memiliki pengetahuan tentang segala hal yang dibutuhkan dalam rangka menggali hukum.

Adapun pengetahuan yang harus dimiliki adalah memahami ushul fikih, ilmu nahwu, lughat, dan mengenali perawi hadits agar ia dapat mengambil riwayat dari perawi yang diterima, bukan perawi yang cacat, mengetahui penafsiran ayat dan hadits yang berkaitan dengan hukum, supaya hasil ijtihad–nya tidak melenceng dari Al-Qur’an dan hadits.

Artinya jika ada perkataan tokoh dengan mengatakan ‘perlunya meninjau ulang kembali fikih, maka, hal tersebut merupakan hal yang sangat berat.  Dipastikan dirinya sudah menguasai seluk beluk fikih dan memiliki kepantasan dan kemampuan diri melakukanya.

Apapaun tujuan dan maksud orang yang mempertanyakan ilmu fikih, setidaknya wacana ini tetap harus memberi motivasi kepada kita semua. Dan semoga pesantren di Nusantara dan para da’inya kembali disadarkan agar kita tidak hanya berkutat pada masalah thaharah dan bab ibadah saja, namun mengembangkan ilmu fikih dalam berbagai aspek kehidupan.*

Penulis asatidz Tafaqquh Study Club dan Khodim Talaqqi Mazhab Syafi’i Riau

No comments: