Kualitas Generasi 1945, Bagaimana Generasi 2020



Karena itulah, kita berkewajiban menyiapkan Generasi 2045 yang ideal, sebagaimana Generasi 1945 dulu.

HINGGA KINI, bangsa Indonesia masih terus berutang jasa kepada KH Hasyim Asy’ari yang mengeluarkan fatwa jihadnya, tahun 1945.  Fatwa jihad Kyai Hasyim itu berdampak besar dalam menggerakkan umat Islam berjihad melawan tentara penjajah. Ribuan kyai dan santri berperang melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan Perang Dunia kedua. Lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri.

KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai tokoh hebat. Selain berilmu tinggi, beliau pun memiliki jiwa perjuangan yang sangat hebat. Meskipun para dokter memintanya istirahat, dalam kondisi sakit, beliau terus aktif berdakwah. Sejak umur 15 tahun, Bung Karno mengaku terkesan dengan ceramah ceramah Kyai Dahlan, dan terus mengikuti ceramah Sang Kyai, selama di Surabaya.

Sejarah Indonesia pernah mencatat lahirnya ulama  pemimpin dan cendekiawan hebat seperti Hamka dan Haji Agus Salim. Mereka telah menggoreskan tinta emas bagi sejarah kehidupan manusia. Kita kenal pribadi Hamka, yang dengan tegas menolak permintaan pemerintah agar fatwa haramnya muslim menghadiri Perayaan Natal Bersama, dicabut. Hamka mengaku terkesan saat belajar Islam pada HOS Cokroaminoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Tahun 1975, meskipun menerima jabatan Ketua Umum MUI, demi menjaga kemandiriannya, sejak awal Hamka menolak berkantor di Masjid Istiqlal. Hamka juga memilih tidak digaji sebagai ketua MUI. Maka, tatkala situasi menuntut mundur dari MUI, bukan masalah baginya. Keteguhan, keberanian, keikhlasan dan kecerdikan senantiasa menyatu pada diri tokoh-tokoh panutan umat tersebut.

Haji Agus Salim, salah satu guru Hamka, dikenal sebagai cendekiawan hebat dan mandiri. Kesepuluh anaknya dididik sendiri. Mereka tidak disekolahkan. Ia bertahan dengan identitas Islamnya. Gelar haji, jenggot, dan sarung menjadi ciri khasnya. Ia dikenal teguh pendirian dan pandai berargumen.

Saat beliau sedang berorasi, lawan-lawannya mengejeknya dengan cara mengembik, mengejek jenggotnya seperti jenggot kambing. Di tengah-tengah orasinya, beliau diam memandangi sebagian orang yang menghinanya. Lalu berkata, “Maaf, para kambing. Saya sedang berbicara dengan manusia. Saya faham anda tidak mengerti bahasa manusia, oleh karena itu silakan kalian tunggu di luar. Setelah selesai bicara dengan manusia, saya akan melayani anda dengan bahasa Anda. Sebab, saya ahli dalam berbagai macam bahasa.”

Ketika berdebat dengan orang Belanda di konsulat Jeddah Arab Saudi, Agus Salim yang sangat cerdas dan menguasai banyak bahasa asing itu disentil, “Anda jangan merasa pintar sendiri. Banyak orang pintar selain anda.” Dengan santai Agus Salim menjawab, “Memang banyak orang pandai di dunia ini. Tapi sampai saat ini saya belum bertemu dengan orang tersebut.” Demikian ungkapan beliau secara diplomatis untuk mengatakan bahwa orang Belanda tersebut bukan orang pintar.

Kisah-kisah Haji Agus Salim itu diceritakan Hamka dalam bukunya, Pribadi.

*****

Adakah kini orang-orang seperti mereka? Tentu jawabnya: “Ada!”. Namun repotnya barangkali jumlah mereka terlalu kecil dibanding kebutuhan. Yang jelas, kita merasakan orang-orang yang pintar dan layak menjadi panutan terasa semakin langka. Padahal begitu banyak kini orang bergelar profesor, doktor, Kyai, dan sebagainya.

Generasi KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim, Hamka, adalah produk pendidikan. Mereka dididik langsung oleh guru-guru yang ikhlas dan hebat. Kyai Hasyim dan Kyai Ahmad Dahlan adalah murid KH Soleh Darat Semarang, seorang ulama hebat, yang keilmuan dan perjuangannya sangat hebat. Setelah itu mereka belajar kepada ulama-ulama di Mekkah, termasuk Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang juga guru dan paman Haji Agus Salim.

Bagaimana dengan Generasi saat ini (Generasi 2020)? Rata-rata mereka – terutama para pemimpinnya — adalah produk pendidikan universitas, baik yang di Indonesia atau pun di luar Indonesia. Kondisi mereka saat ini bisa ditelusuri pada visi dan misi lembaga-lembaga Pendidikan Tinggi tersebut. Jika visi-misi universitas yang dominan adalah bersifat sekuler-materialistik, maka para lulusannya pun tak akan jauh-jauh dari kondisi seperti itu. Tentu ada perkecualian para lulusan universitas yang mendapatkan pendidikan lain yang lebih kuat pengaruhnya.

Inilah pentingnya kita menghayati peringatan Rasulullah saw, bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrahnya. Kedua orang tuanyalah yang mengarahkan mereka menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majuzi. Salah niat dalam mencari ilmu, fatak akibatnya. Kata Imam al-Ghazali, dalam Bidayatul Hidayah, jika seorang mencari ilmu untuk tujuan-tujuan duniawi, maka ia sedang dalam proses merusak agama dan dirinya sendiri!

Para ulama yang hebat itu dilahirkan langsung jadi ulama. Artinya, tidak ada jaminan bahwa ulama pasti melahirkan ulama. Ulama pun tidak turun dari langit. Ulama lahir dari proses pendidikan. Ketika umat menghadapi problema krisis kepemimpinan, lihatlah kondisi pendidikannya. Apakah pendidikan Islam mampu melahirkan ulama pemimpin umat? Apakah pendidikan Islam melahirkan manusia-manusia beradab yang cinta Allah, cinta Rasul, cinta ilmu, cinta ulama, dan cinta perjuangan? Atau, pendidikan kita lebih banyak melahirkan manusia-manusia  cinta dunia?

Maka, saatnya, kita renungkan sungguh-sungguh rumus Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin: Rakyat rusak karena penguasa rusak; penguasa rusak karena ulama rusak; ulama rusak karena cinta harta dan kedudukan!

Jika keluarga, pesantren, madrasah, masjid, sekolah, universitas  kita gagal melahirkan para pemimpin ideal dalam berbagai bidang, maka jangan heran, yang tampil adalah pemimpin-pemimpin “palsu”. Karena itulah, kita berkewajiban menyiapkan Generasi 2045 yang ideal, sebagaimana Generasi 1945 dulu. Dan itu harus dilakukan melalui proses pendidikan yang benar. Semoga Allah SWT menolong kita. Amin.*

No comments: