Memandang Orang Saleh Bisa Melembutkan Hati



Karib seperti apa yang baik untuk kami?” Rasulullah menjawab, ”Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah.”

ORANG aneh. Begitu mungkin kata orang tentang apa yang dilakukan Abu Bakar Al Muthawi’i. Betapa tidak, 12 tahun ia aktif  mengikuti majelisnya Imam Ahmad. Mestinya, catatannya sudah berlembar-lembar, sebagai bukti bahwa ia serius mengikuti majelis tersebut. Ternyata tidak. Jangankan selembar, secuil pun ia tak punya catatan.

Ia datang memang bukan untuk mencatat. Ia datang hanya karena ingin memandang Imam Ahmad. Itu saja. Lebih “gila” lagi, Muthawi’i tidak sendiri. Mayoritas yang datang di majelis itu seperti Muthawi’i, cuma ingin menikmati wajah Sang Imam. Padahal, yang hadir tak kurang dari 5 ribu orang. Dari jumlah tersebut, yang kelihatan aktif mencatat sekirar 500 orang. Demikian Ibnu Al Jauzi mengisahkan (Manaqib Imam Ahmad, 210).

Seorang perempuan cantikah Imam Ahmad? Jelas bukan. Imam Ahmad adalah seorang lelaki yang menyandang gelar imam mazhab. Majelisnya adalah majelis Hadits, karena ia memang ahli Hadits. Tak heran bila majelis pengajiannya menjadi rujukan banyak orang.  Demikian juga kitab-kitabnya. Namanya harum hingga sekarang, bahkan sepanjang masa.

Ingat kepada Allah

Kembali kepada Muthawi’i, apa yang ia lakukan bukanlah sia-sia. Tetapi ada dasarnya. Orang saleh punya aura positif. Dan aura itu bisa menular kepada orang yang memandangnya.  Jelasnya, ia bisa membangkitkan semangat untuk meningkatkan amal kebaikan, apalagi saat keimanan sedang menurun.

Itu pernah dilakukan oleh Abu Ja’far bin Sulaiman, salah satu murid Hasan Al Bashri. Beliau mengatakan, ”Jika aku merasakan hatiku sedang dalam keadaan qaswah (keras), maka aku segera pergi untuk memandang wajah Muhammad bin Wasi’ Al Bishri. Maka hal itu mengingatkanku kepada kematian.”

Imam Malik sendiri juga melakukan hal yang sama, tatkala merasakan qaswah dalam hati. Beliau  berkisah, ”Setiap aku merasakan adanya qaswah dalam hati, maka aku mendatangi Muhammad bin Al Munkadar dan memandangnya. Hal itu bisa memberikan peringatan kapadaku selama beberapa hari.”

Imam Al Hasan Al Bashri sendiri dikenal sebagai ulama, yang siapa memandangnya bakal ingat kepada Allah Shubhanahu wa Ta’ala. Begitulah pengakuan seorang ulama semasa beliau, Ibnu Sirin.

Ulama lainnya, yang hidup semasa dengan Hasan Basri yakni Ats’ats bin Abdullah, juga mengatakan hal yang sama. ”Jika kami bergabung dengan majelis Al Hasan, maka setelah keluar, kami tidak ingat lagi terhadap dunia,” katanya.

Jika demikian, besar sekali dampak positif yang diperoleh saat seorang memandang wajah orang-orang saleh. Jadi, jika melakukannya dihitung sebagai ibadah, karena telah melaksanakan saran Rasulullah Shallallahu ‘alihi wa sallam.

Suatu saat beberapa sahabat bertanya, “Karib seperti apa yang baik untuk kami?” Rasulullah menjawab, ”Yakni apabila kalian memandang wajahnya, maka hal itu mengingatkan kalian kepada Allah.”  (Riwayat Abu Ya’la, dihasankan Al Bushiri).

Sabda Rasulullah yang lain,  “Sesungguhnya sebagian manusia merupakan kunci untuk mengingatkan kepada Allah.” (Riwayat Ibnu Hibban, dishahihkan oleh beliau).

Tak mengherankan jika Waqi’ bin Jarah menilai bahwa memandang wajah Abdullah bin Dawud adalah ibadah. Abdullah sendiri adalah seorang ahli ibadah di Kufah saat itu.

Lantas, bagaimana mungkin hanya dengan memandang pelakunya bisa ingat kepada Allah? Gampang saja penalarannya. Kadang dalam kehidupan sehari-hari, kita memiliki teman yang amat suka terhadap sepak bola. Setiap pembicaraannya tidak pernah keluar dari bola. Ia hafal di luar kepala semua pemain bola tingkat dunia. Bahkan,  baju yang dipakai serupa dengan kostum klub-favoritnya. Dinding kamarnya juga dipenuhi dengan poster para pemain, dan kendaraannya dihiasi dengan atribut-atribut bola. Otomatis, ketika kita melihat tampilan fisik teman yang demikian, maka ingatan kita langsung tertuju kepada bola.

Demikian pula ketika ada kawan yang “gila” kuliner. Ia selalu berbicara  soal rumah makan dan masakannya. Ia banyak mencurahkan waktu untuk hobinya tersebut. Maka melihat wajah orang yang demikian, akan mengingatkan kita pada makanan.

Tidak jauh berbeda ketika kita memiliki kawan yang amat menjaga perkataan, tidak menyeru kecuali menyeru kapada jalan Allah.  Kita pun mengetahui bahwa ia selalu menjaga puasa dan shalat, baik yang wajib maupun yang sunnah. Ia pun wara’ (hati-hati) dalam bermuamalah, maka bertemu dengannya, bisa membuat kita termotivasi untuk melakukan amalan yang lebih baik dari sebelumnya.

Apa yang telah dilakukan oleh para salaf di atas, mengingatkan kembali pada sebuah lantunan nasihat yang sudah cukup akrab di telinga kita: “Tombo Ati” alias obat hati. “Kaping telu wong kang sholeh kumpulono”. Cara yang ketiga mengobati hati yang qaswah, adalah mendekati orang-orang saleh.

Kalau para ulama salaf saja masih merasa perlu mendekat kepada para salehin hanya untuk memandang wajah mereka, guna melunakkan qaswah dalam hati dan memperbaiki diri, lantas bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah memilih, siapa sahabat-sahabat yang bisa mengingatkan kita kepada Allah di saat kita memandangnya? Padahal, kita sama-sama sadar bahwa kualitas keimanan mereka (ulama) amat jauh berada di atas yang kita miliki.

Nasihat Memilih Teman

Kondisi teman, bisa berpengaruh banyak kapada kita, sehingga perlu berhati-hati memilih teman. Setidaknya, itulah inti dari nasihat yang disebutkan oleh Imam Abu Laits, ”Seorang tidak akan melakukan delapan hal kecuali Allah akan memberinya delapan hal pula. Kalau ia banyak bergaul dengan orang kaya, maka timbul dalam hatinya kesenangan terhadap harta. Kalau ia akrab dengan orang miskin, maka timbul dalam hatinya rasa syukur dan qana’ah. Kalau ia berteman dengan penguasa, maka timbullah rasa sombong. Kalau ia berdekatan dengan anak-anak, maka ia banyak bermain. Kalau ia dekat dengan para wanita, maka syahwatnya akan timbul. Kalau ia berkarib dengan orang-orang fasiq, maka datang keinginan untuk menunda-nunda taubat. Kalau ia dekat dengan ahli ilmu, maka ilmunya akan bertambah. Kalau ia dekat dengan ahli ibadah, maka akan termotivasi melakukan ibadah yang lebih banyak.” (Bughyah Al Mustarsyidin, 9).* Sholah Salim

Rep: ~

Editor: Rofi' Munawwar

No comments: