Mengenal Muslim Moro

Dr. Seraj Ahsan Sepanjang sejarahnya Muslim di wilayah itu menunjukkan kegigihan mereka dalam mempertahankan identitas Islam meskipun menghadapi banyak permasalahan.


PEMERINTAH Filipina dan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) mencapai kesepakatan damai pada tahun 2014 setelah perselisihan panjang sejak tahun 1970an. Masa baru ini dianggap sebagai kesempatan besar bagi Muslim Moro untuk memutuskan masa depan mereka sendiri.

Sepanjang sejarah mereka, Muslim di wilayah itu menunjukkan kegigihan mereka dalam mempertahankan identitas Islam meskipun menghadapi banyak permasalahan. Kesepakatan damai terakhir dan referendum pada Februari 2020 membawa normalisasi di wilayah tersebut. Dengan membawa beban berat di masa lalu, Muslim Moro sekarang berusaha untuk menentukan nasib mereka sendiri.

Muslim Moro terdiri dari berbagai kelompok etnis Muslim yang berjumlah sekitar 6-10 juta; mereka adalah penduduk asli Filipina Selatan. Sejak abad kesembilan, para pedagang Muslim menggunakan Filipina Selatan untuk mencapai China untuk berdagang, mereka mengajarkan Islam kepada populasi setempat dan ini adalah pertama kalinya Islam dikenalkan di wilayah tersebut.

Dulunya ada beberapa kerajaan kecil di kepulauan Mindanao; meskipun begitu, beberapa pulau di dekat Borneo Utara juga berada di bawah kepemimpinan kerajaan Sulu, wilayah penduduk asli Muslim Moro berasal. Karena itu sejarah Muslim Mindanao tidak bisa dipisahkan dari sejarah wilayah juga yang terletak Asia Tenggara.

Secara historis, masyarakat Malaysia dan Indonesia dipengaruhi oleh budaya India kuno; kemudian Islam dan penjajahan Barat membuat pengaruh besar dalam kedua masyarakat itu. Masyarakat Muslim Mindanao saat ini juga memanifestasikan tren budaya yang sama dengan kedua tetangganya.

Konflik etnis-agama kontemporer di tanah Moro adalah hasil dari penjajahan Amerika dan Spanyol. Para penjajah menghancurkan kesinambungan budaya dan geografis tanah Moro seperti yang telah mereka lakukan di tempat lain di dunia.

Pengaruh Islam pada Muslim Moro tercermin di berbagai aspek kehidupan mereka. Sejak abad ketujuh Masehi, Muslim mulai datang ke wilayah kepulauan Asia Tenggara untuk berdagang. Mereka juga menetap di tanah Moro. Mayoritas populasi setempat menerima Islam dari tangan pemukim baru itu, seiring waktu jumlah pemeluk Islam bertambah; mereka membangun lembaga-lembaga Islam seperti Masjid dan pondok pesantren, Islam mengubah kehidupan mereka dan mereka menjadi bagian dari Ummat yang lebih besar.

Islam menyebar hampir di seluruh wilayah dan mengakar dalam di masyarakat etnis Tausug, Maguindanao dan Maranao. Biasanya, kekerabatan, bahasa dan budaya yang sama dianggap sebagai dasar identitas nasional. Islam membawa ide “umat” yang menciptakan ikatan spiritual kuat sehingga membantu untuk membentuk struktur politik dan sosial yang baru. Karena faktor-faktor ini, sebuah jenis persaudaraan baru muncul, membentuk ulang identitas masyarakat-masyarakat yang berbeda, menyatukan mereka, dan memberi mereka rasa persaudaraan dengan kelompok Muslim lain. Ini juga membantu menghasilkan identitas Muslim bersama di wilayah Mindanao.

Pada awal abad keenam belas, imperialisme Barat juga menjajah Asia Tenggara. Orang-orang Eropa mulai berdatangan ke berbagai bagian Asia Tenggara. Pada pertengahan abad keenam belas, orang Spanyol juga mulai menjajah Filipina. Hingga pada awal abad kesembilan belas, mereka telah menjajah seluruh wilayah negara itu, wilayah besar di pesisir telah berada di bawah kendali mereka dan akhirnya kekuasaan Barat mengubah seluruh sistem perdagangan maritim untuk kepentingan mereka sendiri.

Para penjajah Eropa tidak hanya memperluas wilayah yuridiksi mereka dan menarik batas-batas internasional baru yang sebelumnya tidak diketahui, namun mereka juga mengubah total struktur politik dan sosial tanah itu. Sehingga, proses kolonisasi merusak semua elemen masyarakat Muslim. Muslim Moro merasa bahwa eksistensi mereka sebagai kelompok beragama Islam berada di bawah ancaman. Mereka menghadapi tantangan-tantangan baru yang disebabkan kolonialisme, khususnya tantangan untuk melindungi identitas agama dan budaya mereka.

Karena penjajahan Spanyol, Muslim Moro berhadapan dengan sebuah budaya yang benar-benar berbeda, mereka juga merasa asing dengan struktur sosio-politik baru. Penjajah Spanyol memperkenalkan sebuah sistem hukum baru yang tidak menghormati sistem lama yang dikenal secara lokal sebagai Syariat dan adat, dan mereka membuat kelompok sosial baru yang menghapuskan taritib.

Penjajah juga menggunakan kekuatan negara untuk menyebarkan agama Kristen. Tiga abad penjajahan Spanyol penuh dengan ketegangan, penjajah Spanyol sangat memusuhi Muslim, sebaliknya juga begitu, tidak ada perdamaian sama sekali; sebuah konflik yang tercipta antara para penjajah dan orang-orang yang dijajah.

Pada tahun 1898, perang antara Spanyol dan Amerika Serikat pecah. Orang-orang Spanyol kalah dalam perang, setelah itu perjanjian Paris disepakati. Perjanjian ini mengharuskan Spanyol menyerahkan Filipina kepada AS. Perang Spanyol-AS membawa perubahan baru dalam sejarah politik Muslim Moro.

Pada awal kolonialisme Amerika, Muslim Moro sangat menderita. Pemerintah kolonial memperkenalkan beberapa reformasi administrasi untuk mengintegrasikan populasi Muslim Moro dengan sistem yang baru didirikan; pemerintah meresmikan sistem sekolah umum dan sekolah kepolisian. Setelah penjajahan Amerika, migrasi internal terjadi di Filipina; Orang-orang Filipina Kristen mulai bermigrasi dari pulau-pulau lain sebagai pejabat sipil dan pemukim pertanian ke tanah Moro. Tujuan migrasi adalah untuk memungkinkan kekuatan kolonial mengubah demografi wilayah mayoritas Muslim.

Mayoritas Muslim Moro menghindari berpartisipasi dalam gerakan nasionalis Filipina, yang bertujuan untuk mendapatkan kemerdekaan dari AS. Sebelum pembentukan pemerintahan Persemakmuran pada tahun 1935, beberapa datu atau pemimpin Muslim Moro mencoba meyakinkan pemerintah kolonial untuk tidak mengintegrasi provinsi-provinsi Muslim dengan negara republik baru yang akan dibentuk pada tahun 1946. Muslim Moro pada dasarnya menginginkan negara terpisah; oleh karena itu mereka memilih untuk tetap berada di bawah pengawasan AS sampai mereka berhasil mendapatkan kemerdekaan sehingga mereka dapat membentuk negara mereka sendiri.

Muslim Moro dengan jelas telah menyampaikan permintaan mereka kepada pemerintah kolonial bahwa mereka tidak ingin dipimpin oleh orang Kristen Filipina. Mereka tidak melihat diri mereka sebagai orang Filipina; menurut sudut pandang mereka orang Filipina berarti orang Kristen dan mereka bersikeras untuk diidentifikasi secara terpisah dari orang Filipina pada umumnya. Pemerintah kolonial tidak menerima tuntutan Muslim Moro; mereka telah menjadi bagian dari Persemakmuran tanpa persetujuan mereka dan akhirnya, Muslim Moro dipaksa menjadi bagian dari Republik Filipina pada tahun 1946.

Pembantaian dan genosida Muslim Moro terjadi beberapa kali dalam sejarah Filipina Modern selama era Perang Dingin. Peristiwa-peristiwa seperti pembunuhan 30 tentara Muslim pada tahun 1968 dengan dalih tidak patuh kepada atasan mereka dan aksi pembakaran masjid dengan 70 Muslim di dalamnya pada tahun 1971 menyebabkan ketegangan antara kedua belah pihak sehingga menyebabkan konflik dan perselisihan bersenjata. Dengan demikian, perjuangan bersenjata Muslim Moro untuk kemerdekaan dimulai pada akhir 1960-an.

Dalam ruang lingkup perjuangan Muslim Moro untuk merdeka dari pemerintahan pusat Filipina, Gerakan Kemerdekaan Mindanao (MIM) didirikan pada tahun 1968. Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF), kemudian didirikan di bawah kepemimpinan Nur Misuari pada tahun 1969, setelah MIM tidak mampu membawa keberhasilan besar. Front ini telah membuat kontribusi penting dalam mencapai dasar tertentu dan menarik kesadaran penting di tingkat nasional dan internasional dengan perjuangannya baik di bidang politik maupun militer. MNLF, yang menyepakati dua perjanjian damai dengan pemerintah pusat pada tahun 1976 dan 1996, adalah aktor penting dalam proses evolusi perjuangan dari kemerdekaan penuh menjadi pemerintahan otonomi.

Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang didirikan di bawah kepemimpinan Salamat Hashim sebagai fraksi MNLF pada tahun 1977, muncul ke permukaan sebagai gerakan Islam yang memprioritaskan petunjuk agama sebagai bentuk perjuangannya. Seiring waktu, MILF, yang telah menjadi perwakilan nyata dan asli dari Muslim Moro dan perjuangan Moro, telah menjadi pihak yang melakukan negosiasi dengan pemerintah pusat dan memainkan peran penting dalam proses yang menghasilkan perolehan otonomi. Hacı Murad İbrahim memimpin MILF setelah Salamat Hashim wafat pada tahun 2003.

Tidak bisa dipastikan dengan tepat jumlah kebijakan kekerasan dan tekanan pemerintah pusat Filipina yang menarget Muslim Moro selama lebih dari setengah abad. Meskipun begitu, organisasi independen non-pemerintah mengungkap bahwa lebih dari 120 ribu orang telah tewas, lebih dari 2 juta Muslim telah menjadi pengungsi, lebih dari 200 ribu rumah telah dihancurkan, ratusan masjid dan sekolah juga bernasib sama.

Selama periode panjang ini, Muslim Moro kehilangan hak asasi manusia dasar dan kebebasan, pemukiman sipil dihancurkan oleh operasi bersenjata; penangkapan politik dan eksekusi dilakukan. Anak-anak dan pemuda Muslim tidak dapat mengakses pendidikan, ribuan perempuan diperkosa, Muslim dihalangi untuk melakukan bisnis, dan wilayah ini belum menerima kontribusi yang sesuai dari investasi negara di bidang-bidang seperti kesehatan dan transportasi.

Serangkaian perundingan damai antara pemerintah pusat Filipina dan Muslim Moro dimulai pada tahun 1996. Dengan kerangka perjanjian pada tahun 2012, diputuskan untuk membentuk daerah otonomi Bangsamoro di pulau Mindanao dan pada 28 Maret 2014, Perjanjian Komprehensif Bangsamoro telah ditandatangani. Dengan demikian, proses menuju semi-kemerdekaan Muslim Moro menjadi resmi.

Mayoritas Muslim Filipina Selatan menyetujui perjanjian damai dan memberikan suara mendukung pembentukan daerah otonom baru yang mencakup lima provinsi dan tiga kota; rencana pemerintah Filipina saat ini adalah untuk menciptakan struktur federal yang memberi provinsi Muslim Moro lebih banyak kekuatan dan sumber daya, diharapkan bahwa kebijakan ini akan memberi Muslim Mindanao (ARMM) lebih banyak otonomi.*

No comments: