Misionaris dan Orientalis dalam Diskursus Kebatinan di Jawa


Rekayasa Belanda yang melibatkan ‘kaum adat’ sebagai cikal bakal kebatinan tidak bisa dipandang remeh karena mirip dengan fenomena lahirnya Ahmadiyah yang diciptakan oleh penjajah Inggris di India guna menangkal pengaruh Islam

 ABAD XIX oleh sebagian akademisi sering disebut sebagai Abad Misi. Secara spesifik Karel Steenbrink menunjukkan bahwa interval masa antara 1850-1940, dimana Nusantara berada di bawah penjajahan Belanda, merupakan tahun-tahun pelaksanaan misi. (Steenbrink, 1982: 144, 243). Namun bukan berarti misi pada era ini mengalami perkembangan menggembirakan. Spirit perlawanan yang lahir dari ajaran Islam, yang anti penindasan dan penjajahan, turut mengganjal usaha ini. Akibatnya kegiatan misi harus mengubah strategi.

Diskursus Kebatinan

Dalam masa pelaksanaan Cultuurstelsel (1830-1870), Belanda dihadapkan pada posisi yang dilematis. Disatu pihak berharap pribumi bersedia menjadi Kristen yang taat sehingga Belanda dapat menjalankan pemerintahan tanpa gejolak berarti. Untuk itu di negeri jajahan mereka harus melakukan pendekatan dengan bersikap lembut kepada pribumi. Program pemurtadan tidak jarang memantik gejolak sosial dan tidak jarang berlanjut memantik perlawanan. Menurut Harry J. Benda, sikap Belanda terhadap Islam di Indonesia memang telah lama dibentuk oleh pandangan-pandangan tradisional yang kontradiktif antara ketakutan dan harapan berlebihan. Sikap ini lebih banyak dibentuk dari minimnya pengetahuan terhadap kalangan muslim bumiputra (1980: 38).

Maka diperlukan kristenisasi guna menciptakan kekuatan baru dari kalangan pribumi. Melalui gerakan itu diharapkan akan muncul rival dan penyeimbang bagi kekuatan umat Islam. Menurut Sartono Kartodirjo, kondisi perpolitikan Belanda pasca 1850-an harus diterangkan bukan hanya mengungkap kepentingan ekonomis semata, namun sifat dan penyebabnya harus dirunut menggunakan faktor perluasan militer, perluasan pegawai, perluasan politik dan agama (1987: 4-5). Terhadap bidang agama, pemerintah kolonial memberikan kebebasan beribadah bagi mereka sepanjang tidak mengganggu stabilitas kekuasaan. Namun terkait dengan ketatanegaraan, Belanda harus mencegah setiap usaha yang mengarah kepada fanatisme dan terbentuknya persatuan Islam (Suminto, 1996: 12).

Belanda juga memberikan dukungan kepada golongan, yang dalam istilah Snouck Hurgronje disebut ‘kaum adat’ yaitu kaum yang tetap mempertahankan tradisi yang oleh Belanda disebut ‘pagan’. Mereka yang disebut ‘pagan’ ini sebenarnya adalah golongan beridentitas Islam namun belum menjalankan syariat secara formal. Gap yang kemudian muncul di antara ‘kaum adat’ dan mereka yang menjalankan syari’at dimanfatkan sebagai bagian dari kebijakan dalam menghadapi pribumi Islam. Kombinasi gerak antara kristenisasi dan ‘kaum adat’ sedikit banyak diharapkan bisa menjadi oposan bagi gerakan ‘Islam politik’ yang dimungkinkan akan tumbuh.

Salah satu misionaris yang bergerak pada era ini adalah Hendrik Kraemer (1888-1965). Ia adalah utusan Perkumpulan Bible Belanda yang ditugaskan untuk mengamati perkembangan intelektual muda Jawa dan Islam. Dalam organisasi Jong Java, sebuah organisasi pemuda Jawa yang berorientasi intelektual, ia berperan sebagai penasehat dan sekaligus memberikan kuliah Agama Kristen dan Theosofi. Kraemer termasuk misionaris yang mendukung tumbuhnya ‘kejawen’. Dukungan ini diberikan bukan sebagai bentuk simpati terhadap eksistensi ‘kejawen’ itu sendiri, melainkan sebagai akibat ‘kekesalan’ atas sulitnya usaha misionaris menundukkan Islam. Usaha Kremer masuk ke dalam Jong Java sendiri dinilai sebagai realisasi atas tekadnya untuk melenyapkan unsur Islam dari kaum intelektual muda Jawa. (Steenbrink, 1982: 162-164)

Rekayasa Belanda yang melibatkan ‘kaum adat’ sebagai cikal bakal kebatinan tidak bisa dipandang remeh. Institusionalisasi kebatinan ini oleh A. Hasymy dinilai mirip dengan fenomena lahirnya Ahmadiyah yang diciptakan oleh penjajah Inggris di India guna menangkal pengaruh Islam. Pelembagaan ini berfungsi untuk membidani lahirnya sebuah “agama baru” yang akan diposisikan sebagai oposan dari Islam. Salah satu tujuannya adalah untuk meracuni pemikiran, jiwa, dan semangat para pemuda di tanah jajahan (Hasymy, 1993: 22-23).

Senada dengan Hasymy, Roeslan Abdulgani dalam seminar “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh” pada 10-16 Juli 1978 di Aceh, menyatakan bahwa munculnya kebatinan merupakan upaya yang benar-benar disengaja. Belanda berusaha mengisolasi golongan Islam yang berada di pedalaman agar tidak tersentuh dengan spirit dan ajaran murni Islam. Akibatnya mereka tenggelam dalam takhayul dan kemusyrikan. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal munculnya aliran kebatinan yang terlembagakan.

Kebatinan Dan Budaya Bangsa

Diskursus orientalis seringkali mengarusutamakan wacana bahwa kebatinan merupakan wujud kebangkitan budaya asli Jawa dalam menghadapi perubahan jaman. Tidak jarang kebatinan diklaim sebagai “agama asli Jawa” yang muncul sebagai reaksi dari keberadaan “agama asing” seperti Islam. Niels Mulder, salah satu orientalis Belanda, misalnya, menyebutkan bahwa kebatinan Jawa merupakan pengorganisasian gejala mistik untuk menemukan kebenaran dan identitas asli Jawa yang berasal dari warisan kulturalnya sendiri dalam rangka menghadapi perubahan jaman (Mulder, 1984: 10-11).

Philip van Akkeren, orientalis Belanda lainnya, berupaya membangun teori tentang perjumpaan pandangan antara Jawa dan Kristen melalui konsep mesianisme. Ia mencontohkan, melalui ritus pemujaan terhadap Dewi Sri dan Sadhana menunjukkan bahwa penanaman padi bagi orang Jawa merupakan sebuah ritual ibadah keagamaan, satu bentuk persekutuan, sekaligus persatuan antara sosok Ilahi dan sosok manusiawi yang bisa disejajarkan dengan kehidupan Yesus (Akkeren, 1969: 17-22). Rupanya van Akkeren lupa bahwa konsep Sri-Sadana dalam pandangan Jawa lampau ini lebih merepresentasikan pandangan tentang hieros-gamos. Dibandingkan dengan kehidupan Yesus yang menjalankan celibasy, sebagaimana konsep Kristen, keduanya sangat berbeda secara diametral.

Sejumlah orientalis juga berupaya melukiskan bahwa konsep Jawa lebih banyak direpresentasikan oleh lingkungan kraton. Pandangan “istana-sentris” ini diaplikasikan untuk mendeskripsikan wajah Jawa sebagai hasil dari sinkretisme, sehingga Islam tidak tampil sebagai “arus utama” melainkan sebagai “pecundang” dihadapan Hinduisme atau Budhisme. Hatley menjelaskan “the picture of the culture of Java most often seen is that of the Javanese court, or of the [allegedly non-Islamic] Kejawen heartland. Padahal menurut Hatley kebanyakan tempat kebudayaan dan peradaban Jawa justru berada di luar Kraton (Moller, 2005: 20).

S.M.N. Al-Attas menolak pandangan bahwa dasar kebudayaan Melayu, termasuk Jawa adalah hasil pengaruh dari proses indianisasi sebagaimana diungkapkan oleh sejumlah orientalis. Menurutnya, Hindhu dan Budha justru hanya merupakan lapisan tipis struktur masyarakat. Itu pun terbatas pada lingkup kaum rohaniawan dan bangsawan semata yang secara umum berada dalam strata sosial tinggi. Kedua ajaran itu oleh kalangan raja dan bangsawan lebih banyak difungsikan untuk memperkokoh kedudukan, kewibawaan, dan kekuasaan politik di hadapan rakyatnya (Al-Attas, 1972: 12-13).

Keberadaan naskah-naskah Jawa berwatak Islam yang ditemukan di daerah yang jauh dari pusat Kraton, sering kali tidak diperhitungkan sebagai bukti “eksistensi” Islam. Karya semacam Suluk Syekh Bari dan Suluk Wujil, justru menunjukkan bahwa Islam telah berkembang secara murni dan tidak terpengaruh oleh anasir dari proses Indianisasi. Munculnya sejumlah ajaran kebatinan itu sendiri tidak luput menuai perlawanan dari mistikus Jawa. Serat Bayanullah karya Raden Panji Natarata merupakan salah satu dari sederetan karya yang mengkritisi penyimpangan pemikiran yang dihasilkan oleh kalangan kebatinan seperti konsep penciptaan manusia sebagai keturunan para dewa Hindu, paham penyatuan antara Tuhan dan manusia, reinkarnasi, dan lain sebagainya (Bratakesawa, 1975). Serat Bayanullah justru menguatkan bahwa bangunan dasar dan jiwa Jawa bukanlah Hinduisme maupun Budhisme apalagi kebatinan, melainkan Islam.

Melihat fakta-fakta historis semacam itu, maka institusionalisasi ajaran kebatinan sebagai budaya dan watak asli bangsa Indonesia tidak bisa tidak harus dipertanyakan. Peran misionaris Kristen dan orientalis terhadap fenomena kajian tentang kebatinan ini menarik untuk dicermati ulang. Terutama menyangkut peran yang bersifat manipulatif, dekonstruktif, dan sejumlah perilaku yang terkait dengan suatu kepentingan tertentu.*



Dosen FAI Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, tulisan ini pernah dimuat di rubrik Opini Majalah Hidayatullah edisi Desember 2019

No comments: