NU dekat PKI, NU Hadapi PKI: Kisah Konflik Santri-Komunis
Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI. |
Akhmad Khoirul Fahmi, Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Komunikasi Unsoed dan Pengurus Pesanteb al Azhari, Banyumas.
Inilah uniknya politik. Meski satu kepala dalam selimut yang sama, --sebagai bagian tiga kekuatan dalam Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunis) di era Bung Karno-- NU dan PKI ternyata punya tujuan lain. Istilahnya 'rambut memang sama hitam' namun kepala dan isinya setiap kepala orang berbeda-beda.
Kisahnya ini terekam kuat dalam kisah tokoh Islam seperti Isa Anshari dan KH Syaefudin Zuhri, Ceritanya dimulai usai menghadiri rapat beberapa hari setelah Peristiwa PRRI meledak. Kala itu KH M Isa Anshari yang tokoh Masyumi akan pulang dengan menumpang mobil tokoh NU, Kiai Saifuddin Zuhri.
“Saudara akan lewat jalan mana?” bertanya KH M Isa Anshary.
“Ke Kramat Raya, ” jawab Kyai Saifuddin.
”Aku biasa tiap hari pergi pulang antara kantor PBNU di Jalan Kramat Raya dan Gedung DPR di Jalan Wahidin di depan Lapangan Banteng”.
“Saya ikut," seru KH M Isa Anshary. “Nanti saya diturunkan di kantor PBNU. Biarlah saya naik becak menuju Jatinegara,'' tambahnya.
“Biar aku antar, kemana tujuan saudara?” balas Kiai saifuddin.
“Kalau begitu ke Kantor Persis di Jalan Raya Jatinegara saja,'' jawab KH M Isa Anshary.
Dalam perjalanan pulang di dalam mobil itu, keduanya agak lama saling membisu. Peristiwa meledaknya pemberontakan PRRI membuat antara KH Isa Anshari dan KH Saifuddin Zuhri seperti ada jarak. Ada semacam rasa kikuk. Meskipun tokoh-tokoh puncaknya memang tidak secara langsung terlibat dalam peristiwa itu, tetapi tidak semua tokoh Masyumi setuju PRRI.
“Medan perjuangan itu disini, di Jakarta, bukan di hutan...!” tiba tiba KH M Isa Anshary memecah keheningan. Suaranya setengah berteriak. "Seorang pemimpin tidak pantas meninggalkan anak buah begitu saja!” lanjunya dengan suara seperti menahan geram.
KH Saifuddin Zuhri kemudian mengaku bahwa dirinya tak punya keberanian untuk menatap wajah KH M Isa Anshary saat itu. Tak juga ada keberanian berkomentar demi persahabatan dan toleransi. Meski begitu dirinya paham, kepada siapa sindiran dalam nada amat marah itu diajukan oleh KH Isa Anshari.
Ketika tiba di kantor Persis, Isa Anshari pun turun dari mobil. Dia tak lupa mengucapkan terima kasih sambil mengelus tanganku.
Kisah ini ada dalam buku biografi KH Saefuddin Zuhri. Dia banyak menulis hal tentang pengalama hidupnya itu. Di sana tertulis begini misalnya:
Perkawanan dan pertikaian politik kadang persoalan hanya kecocokan antar pribadi. Bisa jadi akrab secara pribadi, tapi tidak cocok dengan kelompoknya. Atau dalam satu kelompok politik dan keagaman sama, namun tidak suka dengan pribadinya. Dan berbagai variasi dari hubungan komunikasi antar pribadi tokoh tokoh politik.
Namun yang pasti dalam cacatan perjalanan politisi dahulu, perkawanan lebih alami. Termasuk hal akrab satu sama lain. Sukiman Wiyosanjoyo (tokoh Masyumi) lebih dianggap bisa diterima di kalangan NU, seperti dibanding sosok Natsir yang lebih dekat ke pemikiran organisasi Persis. Akan tetapi dalam riwayat, juga dikisahkan kedekatan M Natsir dengan Kyai Masykur tokoh NU yang lain.
Kiai Saifuddin Zuhri juga memberikan catatan dalam memoirnya, bahwa suatu saat meneirma kunjungan KH Faqih Usman, salah seorang tokoh Masyumi (Muhammadiyah) yang berpengaruh di Kantor PBNU di Jl Kramat Raya, Jakarta. Kunjungan ini baginya bukan hal istimewa karena sejak zaman revolusi antara dirinya dengan KH Fasqih Usman telah bersahabat dengan baik, sekalipun usia terpaut 10 tahun. Apalagi, KH Faqih Usman juga salah seorang tokoh barisan Sabilillah yang mendampingi KH Masykur dan bahkan pernah menjadi atasannya.
Kala itu, KH Faqih Usman datang berkunjung untuk melihat-lihat kantor PBNU yang masih baru. Dari ruangan bawah hingga ke ruangan-ruangan bagian atas, dari bagian belakang hingga ke bagian depan dicermatinya dengan lengkap. Ia memberi komentar bahwa gedung itu cukup lumayan dan termasuk murah. Ia memuji pula bahwa letaknya amat strategis.
“Lho, ternyata NU ini amat dekat dengan PKI, ya?” seru KH Faqih Usman setengah berteriak. Pekikan suara itu mungkin hanyalah ekspresi dari hasil tatapannya, setelah melihat dari tingkat dua bahwa ternyata gedung kantor PBNU berhadap-hadapan dengan kantor CC-PKI.
Tapi teriakan KH Faqih Usman, bagi KH Syafeuddin Zurhri bisa juga dianggap sebagai suatu sindirian. Ini karena pada masa itu, beberapa orang Masyumi ada yang senang mengampanyekan NU “dekat” dengan PKI.
Dan memang Jalan Kramat Raya memanjang dari ujung satu di Senen Raya dan diujung lain di Salemba kala itu ruas jalan penting dalam dunia politik Indonesia. Di jalan itu terdapat empat kantor partai politik. Pada deretan sebelah timur dengan berjarak antara 200-300 meter dari kantor PB NU, berdiri kantor DPP Masyumi—terletak di ujung jalan kramat raya atau sekarang kantor Dewan dakwah Indonesia), lalu sebelahnya kantor CC PKI yang persis berada di depan kantor PBNU yang hanya berada di seberang jalan. Lalu, yang terletak mendekati kawasan Salemba raya berdiri kantor PNI. Jadi Kantor Masyumi, PKI dan PNI berada pada satu baris.
Mendengar teriakan pertanyaan KH Faqih Usman dengan berseloroh KH Syaefuddin Zuri menjawabnya: “Habis...Masyumi dan PNI saling menjauhi, makanya PKI kami hadapi setiap hari setiap saat!!, Jawab Kyai Saifuddin setengah ketus berbau sendirian pula. Mendengar itu kedunya pun tertawa berdera berbareng.
Jadi NU ternyata memang terkesan dekat dengan PKI dalam Nasakom, tapi ternyata kemudian berhadap-hadapan langsung dengan PKI. Bahkan beberapa bulan pasca peritiwa G30S PKI maka akar rumput di Jawa Tengah dan Jawa Timur kedua organisasi ini saling berkelahi sampai berdarah-darah dengan korban ribuan orang. Istilahnya gampangnya terjadi tawuran massal 'hidup-mati' seperti perang sipil AS yang kemudian melahirkan para janggo dan film Cowboy (Western Film).
No comments:
Post a Comment