Politik Kristenisasi dan Perlawanan KH Ahmad Dahlan


Atas hal tersebut, maka Kyai Dahlan merespon dengan mendirikan sebuah organisasai bernama Persyarikatan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang dakwah, sosial, dan pendidikan.

 SEJAK tahun 1900-an, kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda di tanah jajahan Hindia Timur atau Indonesia saat ini, adalah menggunakan berbagai pendekatan halus, yang disebut dengan Politik Etis (Etische Politiek).

Politik Etis dikeluarkan oleh Ratu Wilhelmina pada 1901, sebagai upaya untuk melakukan pembaratan, yang disebut oleh Ratu Wilhemina dengan ”kewajiban moral” terhadap masyarakat pribumi. Conrad Theodore (CT) van Daventer, salah seorang propagandis gerakan ini, menyebutnya sebagai “Politik Balas Budi.”

Sebelumnya, Belanda menerapkan kebijakan politik liberal dan sistem tanam paksa (cultuurstelsel) yang dimulai pada tahun 1830 sampai penghujung tahun 1800-an. Hasil tanam rakyat di tanah jajahan dibeli dengan harga yang murah. Kalau pun rakyat dipekerjakan di ladang-ladang yang dikuasai mereka, maka harga upahnya sangat murah.

Politik Etis kemudian menjalankan programnya dengan mendekati para priyai dan anak keturunan priyai, untuk bisa dididik dalam pola pendidikan Barat, dan kemudian menjadi aparat pamong praja di bawah mereka atau setidaknya menjadi penghubung antara pemerintah kolonial dengan rakyat di tanah jajahan.

Priyai di sini, menurut Robert van Niels dalam buku “Munculnya Elite Modern  Indonesia (1984:30) adalah kelompok yang disebut elite bagi orang Indonesia, khususnya Jawa, yang berdiri di atas rakyat jelata, yang dalam beberapa hal memimpin, memberi pengaruh, mengatur, dan menuntun masyarakat.

Maka kalangan priyai dan anak keturuanannya inilah yang kemudian disasar menjadi target kebijakan Politik Etis. Mereka ditawarkan untuk bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda, mempelajari kebudayaan Barat, dan lain sebagainya. “Putra-putri dari turunan Paku Alam terutama telah mengikuti sistem pendidikan Eropa. Tentu saja asal keturunan yang menjadi faktor utama yang memungkinkan ini. Paku Alam Studie Fond (Dana Studi Paku Alam) dengan bantuan dan rangsangan dari Freemason telah membantu kemungkinan-kemungkinan ini menjadi kenyataan,” terang Van Niels (1984: 73)

Dalam kebijakan Politik Etis inilah diantaranya dijalankan program “asosiasi” dan “asimilasi.” Pendekatan-pendekatan dengan berbagai iming-iming, utamanya tawaran menempuh pendidikan di sekolah-sekolah Belanda  dengan nilai-nilai Barat yang dianggap modern, dilakukan pada kelompok priyai tersebut.

Selain itu, dibuka juga sekolah lanjutan dalam bidang aparatur pemerintahan (pamong praja), sekolah kedokteran, sekolah hukum, sekolah guru, dan lain-lain. Dari sinilah kelak, lahir tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan atau tokoh-tokoh nasional Indonesia. Dalam perjalanan itu, tersebutlah nama-nama seperti Snouck Hurgronje, Dirk van Hinloopen Labberton, CT van Daventer, KF. Holle, Hendrik Kraemer, Abendanon, dan lain sebagainya yang ditugaskan untuk melakukan berbagai pendekatan dalam mewujudkan keberhasilan Politik Etis.

“Minat dan perhatian pribadi Snouck Hurgronje telah menyebabkan anak asuhannya amat terpengaruh oleh kebudayaan Barat. Snouck Hurgronje bukanlah satu-satunya orang Eropa yang mempunyai perhatian seperti itu terhadap kelompok orang Indonesia. Nama Abendanon telah disebut juga dan nama-nama seperti Engelenberg, Van Lith, Hardeman, dan lain-laian dapat pula masuk ke sini, tetapi mereka tetap merupakan kelompok kecil,” tulis Van Niels (1984: 72)

Snouck Hurgronje, K.F Holle, Abendanon, diantaranya melakukan pendekatan dengan RA Kartini, tokoh yang kemudian dijadikan ikon perjuangan perempuan Indonesia. Sementara Dirk van Hinloopen Labberton, tokoh yang di kalangan kebangsaan saat itu disebut sebagai “Bapak Kebatinan” menjadi mentor Boedi Oetomo. Sedangkan Hendrik Kraemer, seorang yang disebut sebagai pembawa misi Kristen, melakukan mentoring pada organisasi Jong Java (Perhimpunan Pemuda Jawa). Kelak, Kraemer-lah orang yang dianggap berperan penting dari tersingkirnya anak-anak muda Islam di organisasi itu, sehingga kemudian para pemuda Islam itu keluar dari Jong Java dan mendirikan Jong Islamietend Bond (Perhimpunan Pemuda Islam).

Sejak kedatangan orang-orang penganut humanisme dari Eropa ke Hindia Timur sejak tahun 1900-an tersebut, maka upaya pembaratan terhadap rakyat semakin kuat. Kebanyakan para humanis Eropa yang datang ke wilayah ini pada masa itu, sebagaimana keterangan Van Niels, adalah orang-orang yang aktif di organisasi Masoos dan organisasi “Order of Eastern Star” (Ordo Bintang Timur). Ordo Bintang Timur ini ternyata erat kaitannya dengan kelompok Vrijmetselaarij (Freemason).

Orang-orang Eropa itu, yang menganut paham humanisme, banyak mendirikan lembaga-lembaga pendidikan netral (neutral orderwijs), yang mengenyampingkan pelajaran-pelajaran agama. Sementara itu, sebagian lain dari mereka mendirikan sekolah-sekolah Kristen yang lekat dengan jaringan missi (zending) agama mereka. Menjamurlah sekolah-sekolah tersebut, terutama di Jawa.

Sementara itu, kebijakan politik itu pun semakin menunjukkan coraknya yang lekat dengan agama tertentu, yaitu Kristen. Sehingga ada yang menyebut Politik Etis (Etische Politiek) tak lebih sebagai Politik Kristenisasi (Kerstening Politiek) terhadap umat Islam. Apalagi, kata Van Niels, “kegiatan missi pemerintah juga melanjutkan pokok-pokok ajaran Kristen di dalam pelaksanaan tugas sehari-hari tata pemerintahan Hindia Timur.” (Niels, 1984:117).

Niels mencontohkan dikeluarkannnya “Edaran Minggu” dan “Edaran Pasar” oleh Gubernur Jenderal pada tahun 1910, yang berisi larangan mengadakan kegiatan pemerintahan pada hari Minggu, dan melarang hari pasar pada hari yang sama juga.

Di dalam lingkungan elite keraton di Jogjakarta, KH Ahmad Dahlan, seorang pemuda yang pernah menempuh studi di Makkah Al-Mukarramah, berasal dari kampung Kauman, dan menjadi pemuka agama di Mesjid Ghede, merasa prihatin dengan kondisi ini. Kyai Dahlan, sebagaimana ditulis dalam disertasi Dr. Alwi Shihab, prihatin dengan kondisi maraknya sekolah-sekolah yang dikelola oleh kelompok Kristen dan kalangan Freemason.

Atas hal tersebut, maka Kyai Dahlan merespon dengan mendirikan sebuah organisasai bernama Persyarikatan Muhammadiyah, yang bergerak di bidang dakwah, sosial, dan pendidikan. Dalam kondisi dimana upaya-upaya Politik Kristenisasi itu dikhawatirkan meluas, Van Niels menulis, “Yang menjadi pemimpin penyerang dari pihak oposisi Islam terhadap politik peng-Kristenan pemerintah adalah suatu organisasi pembaharu Islam bernama Muhammadiyah yang didirikan oleh Haji Ahmad Dahlan.” (Niels, 1984:118)

Semua peristiwa sejarah tersebut, juga saya tulis dalam buku berjudul “Freemason dan Teosofi: Persentuhannya dengan Elite Modern Indonesia.” Lebih lanjut tentang respon Kyai Ahmad Dahlan tersebut, bisa dibaca dalam buku ini.* Arta Abu Azzam

No comments: