Sumbangan Kaum Muslimin untuk Pembangunan Irian Barat

Sumbangan Kaum Muslimin untuk Pembangunan Irian Barat
Warga Kesultanan Tidore bersama Muslim Papua
SEJAK terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Mosi Integral yang disampaikan oleh Mohammad Natsir dari Masjumi, masalah Irian Barat tidak sekalipun lepas dari perhatian Presiden Soekarno dan bangsa Indonesia.
Bagi Presiden Soekarno itu merupakan kemenangan besar dalam mempertahankan tanah air. Kembalinya Irian Barat ke Indonesia menjadi suatu peristiwa yang membanggakan karena dengan diplomasi berhasil mengembalikan Irian Barat tanpa penggunaan persenjataan yang lebih jauh.
Tidak berhenti sampai ditingkat diplomatik. Umat Islam Indonesia telah bahu-membahu membantu saudara-saudara sebangsa mereka di Papua yang dulu bernama Irian Barat (sebelum bergabung dengan Republik Indonesia). Apa saja sumbangan umat Islam atas Irian Barat dan sejarah perkembangan Islam di bumi Papua.
Kotak amal
Tak lama setelah Presiden Soekarno mengeluarkan instruksi yang terkenal dengan sebutan “Tiga Komando Rakyat” (Trikora) di Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1961, umat Islam di seluruh tanah air bergerak dengan spontan untuk membantu saudara-saudara mereka di Irian Barat (sekarang disebut Papua-red), dengan tidak memandang agama, puak, dan warna kulit.
Seperti yang dikutip Dr. Suryadi, MA dengan judul Kilas balik: Dana Pembangunan Irian Barat (1960-an), umat Islam lndonesia langsung berada di garis depan, menyokong sepenuhnya imbauan Presiden mereka.
“Sebagai Umat Islam kita menginginkan Keselamatan dunia dan achirat. Dan dalam dunia, sebagai bangsa, kita menginginkan kesatuan tanah air kita. Kesatuan jang tidak berbelah bagi; Sedjak dari Sabang sampai ke Merauke! Hanja satu bendera jang berkibar; sang Merah Putih!” Demikian antara lain ditulis oleh seorang yang berinisial “M.R.” dalam majalah Gema Islam, No. 1, Th. ke I, 15 Djanuari 1962 / 8 Sja’ban 1381, hlm. 2 (lihat artikel: “Tri Komando Rakjat”, hlm. 1-2).
Maka kaum muda Islam dengan spontan mendaftarkan diri untuk ikut mobilisasi umum dan tanpa rasa takut bersedia dikirim ke Irian Barat, termasuk para muballigh muda dari Sumatera dan Jawa. Seorang di antaranya yang bernama Sjaifurrahman S. melaporkan dalam Gema Islam No. 26-27, Th. II, 1 Maret 1863 / 5 Sjawal 1382, hlm.38 (lihat artikel “Surat Dari Seorang Rohaniawan Islam di Irian Barat”, hlm. 37-39) bahwa pada awal tahun 1963 sudah ada 3 buah mesjid dan sekitar 500 penduduk (5%) yang beragama Islam di Kotabaru (sekarang: Jayapura), Papua. Sementara di Merauke juga ada 3 mesjid dengan penduduknya 10% beragama Islam, dan disana Muhammadiyah sudah masuk sejak 1933, dan lambang NU (Nahdatul Ulama) juga sudah ditemukan walau maknanya belum dimengerti oleh penduduk setempat.
Penggalangan dana umat Islam
Masih menurut Dr Suryadi, salah satu aksi nyata yang dilakukan oleh umat Islam untuk menyokong gerakan penyatuan Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia dan membantu penduduk setempat ialah dengan mengumpulkan dana untuk disumbangkan kepada saudara-saudara sebangsa mereka di Irian Barat. Media-media Islam membuka kotak amal untuk menghimpun dana umat. Siapa saja boleh menyumbang: kaya-miskin, perempuan-lekaki, tua-muda. Berapa saja sumbangan akan diterima.
Demikianlah umpamanya, Redaksi majalah Gema Islam menghimpun sumbangan dari umat Islam Indonesia dengan membuka kotak sumbangan yang disebut “Dana Pembangunan Irian Barat” yang mulai diumumkan dalam edisi No. 21, Th. I, 1 Desember 1962 / 4 Djumadil Achir 1382, hlm. 29
“Guna ikut merealisasikan segala sesuatu pembangunan di Irian Barat, mulai nomor ini “Gema Islam” membuka “Dana Pembangunan Irian Barat”. Kepada para pembatja diberikan kesempatan untuk menjampaikan sumbangan dgn perantaraan Redaksi “Gema Islam”, jang selandjutnja akan diteruskan kepada jang berhak.”
Dari senarai nama-nama penyumbang dapat diketahui bahwa mereka berasal dari berbagai tempat. Ada yang menyumbang Rp. 15, tapi ada pula yang menyumbang sampai Rp. 1.000,-, jumlah yang cukup banyak di zaman itu. Dari variasi jumlah sumbangan masing-masing donatur dapat dikesan bahwa kaya-miskin, umat Islam saling berlomba memberikan sumbangan untuk membantu saudara-saudara mereka di Irian Barat.
Berbagai organisasi dan perkumpulan umat Islam di seluruh Indonesia berlomba-lomba mengumpulkan uang dan benda-benda lainnya untuk disumbangkan kepada saudara-saudara mereka di Irian Barat. Demikianlah umpamanya, di Sulawesi masyarakat menghimpun “Dana Perdjuangan Irian Barat” yang melibatkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (G.P.I.I.) setempat (Gema Islam, No. 23, Th. I. 1 Djanuari 1963 / 5 Sja’ban 1382:22).
Demikianlah sekelumit perjalanan sejarah bangsa ini di tahun 1960-an yang telah mencatat antusiasme dan keterlibatan langsung umat Islam dalam perjuangan menegakkan bangsa dan negara yang bernama Indonesia ini. Ini hanyalah salah satu dari berbagai macam sumbangan dan perjuangan umat Islam Indonesia dalam menegakkan bangsa dan negara ini.
Sekilas Islam di Irian Barat
Wajar saja jika umat Islam di Indonesia membantu masyarakat Papua, saat itu menjadi rebutan Belanda dan Indonesia. Sejak lama, masalah Papua menjadi isu sensitif bagi Indonesia.
Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949 menghasilkan penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia. Namun, KMB juga menyisakan masalah belum tuntas, yakni mengenai status Papua atau Irian Barat. Persoalan ini seolah menjadi bom waktu bagi Indonesia -juga rakyat Papua sendiri- di kemudian hari. Baik Indonesia maupun Belanda sama-sama ngotot merasa lebih berhak atas tanah Papua Barat.
Bagi Belanda, Papua bagian barat, atau yang mereka sebut Netherlands New Guinea, bukanlah bagian dari kesatuan wilayah yang harus dikembalikan kepada Indonesia. Salah satu alasan Belanda adalah karena orang-orang asli Papua memiliki perbedaan etnis dan ras dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka dari itu, mereka ingin menjadikan Papua bagian barat sebagai negara tersendiri di bawah naungan Kerajaan Belanda. Bukan. Sesungguhnya Belanda menginginkan eksploitasi sumber daya alam yang tak akan habis hingga 100 tahun.
Menurut catatan Wikipedia, dari sumber-sumber Barat diperoleh catatan bahwa pada abad ke XVI sejumlah daerah di Papua bagian barat, yakni wilayah-wilayah Waigeo, Missool, Waigama, dan Salawati tunduk kepada kekuasaan Sultan Bacan di Maluku. Berdasarkan cerita populer dari masyarakat Islam Sorong dan Fakfak, agama Islam masuk di Papua sekitar abad ke 15 yang dilalui oleh pedagang–pedagang muslim. Perdagangan antara lain dilakukan oleh para pedagang–pedagang suku Bugis melalui Banda (Maluku Tengah) dan oleh para pedagang Arab dari Ambon yang melalui Seram Timur.
Selain melalui jalur perdagangan, di daerah Merauke Islam dikenal melalui perantara orang-orang buangan yang beragama Islam, yang berasal dari Sumatra, Kalimantan, Maluku dan Jawa. Terdapat istilah yang populer di Merauke, yaitu “Jamer” (dari kata Jawa-Merauke), untuk menyebut orang-orang keturunan Jawa baik yang merupakan keturunan orang-orang yang dipindahkan pada zaman penjajahan Belanda ataupun keturunan penduduk program transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan Indonesia.
Menurut Beggy Rizkiyansyah, Penggiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB), dalam tulisannya yang berjudul Menyusuri Jejak Islam Di Tanah Papua, tersebut bahwa pada masa Kerajaan Sriwijaya, Papua disebut Janggi. Pelaut Portugis yang pernah singgah di Papua tahun 1526-1527 menyebutnya ‘Papua.’ Namun ada pula yang menyebutnya Isla de Oro (Island of Gold). Kemiripan fisik orang Papua dengan orang Afrika membuat pelaut Spanyol menyebutnya ‘Nieuw Guinea’, merujuk pada wilayah Guinea di Afrika Barat. Papua, mungkin juga berasal dari bahasa Melayu, pua-pua, yang berarti keriting. Istilah ini dipakai oleh William Mardsen tahun 1812, dan terdapat dalam salah satu kamus bahasa Melayu -Belanda karya Von der Wall tahun 1880, dengan kata ‘papoewah’ yang berarti orang yang berambut keriting.
Istilah Papua sendiri tampaknya berasal dari bahasa Tidore, Papo Ua, yang berarti tidak bergabung atau tidak bersatu. Maksudnya adalah wilayah luas dan tanah besar itu (Papua) tidak termasuk ke dalam induk kesultanan Tidore.
Seorang dari asli Papua, M Fadlan Garamatan mengungkap fakta tentang keberadaan agama Islam di Papua. Menurut Fadlan, Irian artinya bumi yang panas. Penggunaan nama Irian disepakati pada Konferensi Malino di Makassar. Arti Irian adalah “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”.
Nama Irian sebelumnya adalah Nuu Waar artinya Negeri yang menyimpan cahaya rahasia atau pulau awal belahan dunia. Portugis yang pertama menyebut pulau ini dengan nama Papua yang artinya hitam, keriting.
Menurut Fadlan, agama pertama dan tertua di Papua adalah agama Islam. Fadlan menjelaskan bahwa pada 17 Juli 1224, Kerajaan Samudra Pasai mulai mendakwahkan Islam di bumi Papua. Tahun 1574 Masehi, Ibnu Batutah juga pernah ke Papua. Terkait Manokwari disebut sebagai Kota Injil karena agama Kristen pertama kali masuk melalui Kota Manokwari.
Seperti dikutip harian Republika, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Papua Barat, Ahmad Nausrau mengatakan, sejumlah kabupaten di Papua Barat masyarakatnya sudah beragama Islam sejak dulu. Seperti Kabupaten Raja Ampat, Kaimana, Fakfak, Bintuni, dan Sorong Selatan. Menurutnya, kalau melihat dari sisi sejarah, Islam adalah agama yang pertama masuk ke Papua.
“Sebagian besar wilayah Papua Barat merupakan wilayah Kesultanan Ternate, sehingga daerah ini penduduknya Muslim karena daerah Kesultanan Ternate,” kata Ahmad.
Menurut sejarah, kata Ahmad, ketika dua orang misionaris dari Jerman datang ke Papua pada Abad 18, sebenarnya mereka difasilitasi oleh Kesultanan Ternate. Kemudian mereka datang ke Pulau Mansinam yang ada di Kabuapaten Manokwari. Padahal, Islam sudah masuk ke Papua jauh sebelum itu.
Ia menerangkan, sejumlah sejarawan mengatakan Islam masuk di Papua sekitar abad 14 dan 15. Tapi, berdasarkan hasil penelitian LIPI, Islam masuk ke Papua sekitar abad 16 dan 17. Ia menegaskan, artinya jauh sebelum misionaris datang, sebenarnya Islam sudah hadir di Papua.
Meski belum ada kesepakatan kapankah Islam masuk ke bumi Cenderawasih ini. Menurut Republika, Islam masuk ke Papua tidak terlepas dari pengaruh Kerajaan Majapahit dan kerajaan lain di nusantara yang ekspedisinya melalui Maluku. Sementara, versi lain menyebutkan bahwa Islam masuk ke Papua sekitar Abad XIII, tepatnya 1224 dibawa oleh Syekh Iskandar atas titah Syekh Abdurrauf dari Kerajaan Samudra Pasai yang merupakan keturunan ke-27 dari ulama sufi terkenal, Abdul Qadir al-Jilani.
Meski masih menjadi perdebatan kapan Islam masuk ke Papua, yang tidak bisa dibantah lagi bahwa fondasi Islam telah berdiri kokoh di tanah yang kaya dengan hasil tambang itu, terutama di wilayah Fakfak.
Hanya dari versi atas titah Kerajaan Samudra Pasai-lah beberapa peninggalan Islam di Papua masih tersisa sampai saat ini. Berikut sejumlah bukti kuat akar Islam di Papua:
Mushaf Tua
Mushaf al-Quran ini merupakan tulisan tangan Syekh Iskandar Syah dengan ukuran sekitar 50 x 40 cm di atas kulit kayu. Sebelum wafat, Syekh Iskandar yang dipercaya sebagai tokoh yang menyebarluaskan Islam di Papua mengamanatkan kepada keturunan Raja Patipi di Papua.
Setelah mushaf tua ini hilang selama kurang lebih 800 tahun, kini mushaf itu sudah tersimpan rapi di kediaman Raja Patipi ke XVI H Ahmad Iba di Fakfak.
Manuskrip
Selain menulis mushaf Al-Quran, Syekh Iskandar Syah juga menulis kitab tentang hadis, ilmu tauhid, dan kumpulan doa sebagai penunjang dakwahnya di tanah Papua.
Empat kitab ini bersampul kulit rusa yang ditulis di atas daun lontar, pelepah kayu, dan daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Berdasarkan cerita turun-temurun, lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua pada 1214.
Dalam rangka penyebaran Islam, kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh Iskandar Syah dari Kerajaan Samudra Pasai di Aceh yang datang menyertai rombongan ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat mes yang berada di wilayah Kerajaan Teluk Patipi saat itu.
Masjid Tua Patimburak
Salah satu peninggalan sejarah Islam di Kokas, Fakfak, Papua Barat adalah masjid tua di Kampung Patimburak. Tepatnya masjid yang masih berfungsi hingga saat ini dibangun oleh seorang alim bernama Abuhari Kilian pada 1870.
Menurut catatan sejarah, masjid dengan konsep sebuah geraja ini merupakan masjid tertua di Fakfak. Selama keberadaannya, masjid ini pernah beberapa kali direnovasi. Namun, masjid tetap dipertahankan bentuk aslinya, seperti empat pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid dan lubang bekas peluru tentara Jepang.
Akan tetapi, keberlanjutan dakwah di Papua tidak terus berlanjut sampai sekarang. Sebab, Islam masuk ke Papua melalui jalur perdagangan. Sehingga, ketika para pedagang yang datang ke Papua pulang kembali. Dakwah tidak berlanjut, akhirnya banyak yang murtad. “Apalagi saat Belanda menjajah Indonesia secara umum termasuk Papua,” ujarnya.
Jadi sesungguhnya umat Islam punya peran dalam kebangkitan peradaban dan pembangunan di Papua dari dulu hingga kini. Sejarah telah mencatat tinta emas di Bumi Cendrawasih.*

No comments: