Urgensi Asnaf Fi Sabilillah

ISLAM adalah agama yang berpihak pada keadilan dan pembelaan terhadap orang-orang miskin serta termiskinkan. Buktinya bisa kita lihat pada adanya syariat zakat dalam Islam. Andai tidak ada rukun Islam ketiga, zakat, entah bagaimana nasib para dhuafa (orang-orang miskin) dan mustadh’afin (orang-orang yang termiskinkan).
Sudah banyak kajian yang menjelaskan bahwa tipologi kemiskinan di Indonesia terbagi dua; kemiskinan natural (dhuafa) dan kemiskinan stuktural (mustadh’afin). Menyelesaikan kemiskinan natural relatif lebih mudah dibandingkan kemiskinan struktural. Pemberdayaan bisa menjadi solusi menyelesaikan persoalan kemiskinan natural.
Namun, menyelesaikan kemiskinan struktural tidak cukup dengan pemberdayaan, melainkan melalui kebijakan. Di sinilah pentingnya asnaf fi sabilillah ayau golongan yang berjuang di jalan Allah Subhanahu wa ta’ala. Itulah kenapa salah satu dari delapan asnaf zakat adalah fi sabilillah. Asnaf fi sabilillah diharapkan memiliki keberpihakan kepada orang-orang miskin, sehingga tidak ada lagi kebijakan yang memproduksi kemiskinan.
Oleh karena itu, mesti ada Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang menggarap asnaf fi sabilillah secara serius. Jika semua LAZ fokus menggarap asnaf fakir miskin, maka bisa jadi pada satu titik kita akan kehabisan darah. Sebab pada satu sisi kita berusaha mengurangi kemiskinan, namun sisi lain ada yang “memproduksi” kemiskinan. Kita akan seperti berjalan dalam labirin yang tidak tahu di mana titik ujungnya.
Menggarap asnaf fi sabilillah memang lebih berat daripada asnaf fakir miskin. Tuntutannya secara syariat pun lebih besar. Gagal melahirkan kader-kader pejuang umat, sama dengan kesia-siaan penyaluran dana zakat. Berbeda dengan asnaf fakir miskin yang andai kita bagikan langsung kepada mereka pun, sah secara syariat. Namun di sinilah letak peluang keberhasilannya. Tuntutan yang berat secara syariat justru akan menghadirkan keseriusan dan kehati-hatian dalam pengelolaannya.

Maka itu, asnaf fi sabilillah memang tidak perlu banyak. Secukupnya sesuai kebutuhan, namun mesti powerful dan berdampak besar. Perubahan masyarakat dan bahkan negara, seringkali hanya digerakkan oleh segelintir orang. Asnaf fi sabilillah diharapkan mampu memainkan peranan tersebut.



Bayangkan jika asnaf fi sabilillah ini digarap dengan serius dan didukung dengan pendanaan yang memadai. Maka pada waktunya kita akan menghasilkan generasi pejuang umat di berbagai sendi kehidupan. Itu artinya umat akan memanen investasi yang telah dikeluarkan lewat zakat yang mereka tunaikan.

Sebaliknya jika para LAZ abai untuk menggarap asnaf fi sabilillah, maka umat tidak akan memiliki generasi elite dan strategis yang memperjuangkan dan membela kepentingan mereka. Bisa jadi umat Islam kembali hanya akan menjadi objek kebijakan yang merugikan.

Pertanyaannya, mengapa sampai saat ini sedikit sekali LAZ yang serius menggarap asnaf fi sabilillah? Barangkali karena asnaf fi sabilillah merupakan investasi jangka panjang. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk bisa memanen.



Padahal jika value kepemimpinan dan keberpihakan pada keadilan telah terinternalisasi dengan kuat, sebetulnya kita tinggal menunggu masa berbuah. Sebab, para penerima asnaf fi sabilillah tersebut hanya perlu dibina dalam jangka waktu tertentu. Selebihnya mereka dapat mengembangkan diri secara mandiri menuju bidang kontribusi terbaiknya.

Akhirnya, bila asnaf fi sabilillah tergarap dengan optimal, maka bolehlah kita katakan di situlah terletak masa depan para dhuafa dan mustadh’afin. (okz)

Oleh Muhammad Syafi’ie el-Bantanie

Direktur DD Pendidikan

No comments: