45 Tahun MUI: Tetap Berhidmat untuk Umat
Kehadiran kumpulan ulama, zu’ama dan cendekiawan diwarnai dengan penolakan. Tapi kini kehadiran fatwanya sangat dinantikan oleh semua
H.A. Budiono
Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewadahi ulama, zu’ama , dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.
Lembaga ini berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah. Ditambah 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan.
Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zu’ama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:
Pertama, memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kedua, memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;
Ketiga, menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;
Keempat, meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik.
Gejolak hadirnya MUI
Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus, pengasuh pondok pesantren Raudlatuh Tholibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, pernah mempertanyakan keberadaan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“MUI itu sebenarnya makhluk apa? Enggak pernah dijelaskan. Ujuk-ujuk (tiba-tiba) dijadikan lembaga fatwa, aneh sekali,” kata Gus Mus, dikutip tempo.co suatu ketika.
Gagasan pembentukan majelis ulama muncul dalam musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta pada 30 September-4 Oktober 1970. Gagasan itu berasal dari Pusat Dakwah Islam Indonesia, organisasi bentukan pemerintah. Mereka meminta partisipasi ulama dalam pembangunan dan pembinaan kerukunan antarumat beragama.
KH Dachlan, Menteri Agama kala itu, menyokong gagasan tersebut. Saat membuka musyawarah, Kiai Dachlan mengemukakan alasan mendasar pembentukan majelis ulama. “Untuk memperlancar pembangunan dalam segala bidang, dalam hal ini bidang pemersatuan dan peningkatan partisipasi umat Islam pada umumnya dan alim ulama pada khususnya terhadap usaha-usaha pemerintah di bidang pembangunan…” (Panji Masyarakat, 15 April 1975).
Berbeda dari KH Dachlan, sejumlah ulama dan tokoh Islam, seperti Mohamad Natsir dan Kasman Singodimedjo, tak lantas menyetujui pembentukan MUI. Mereka berpendapat majelis ulama bakal lebih menguntungkan pemerintah ketimbang umat Islam.
Hubungan dengan Pihak Eksternal
Sebagaimana dikutip dalam laman www.mui.or.id, organisasi yang dilahirkan oleh para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim serta tumbuh berkembang di kalangan umat Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah gerakan masyarakat. Dalam hal ini, MUI tidak berbeda dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan lain di kalangan umat Islam, yang memiliki keberadaan otonom dan menjunjung tinggi semangat kemandirian. Semangat ini ditampilkan dalam kemandirian — dalam arti tidak tergantung dan terpengaruh — kepada pihak-pihak lain di luar dirinya dalam mengeluarkan pandangan, pikiran, sikap dan mengambil keputusan atas nama organisasi.
Dalam kaitan dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan di kalangan umat Islam, MUI tidak bermaksud dan tidak dimaksudkan untuk menjadi organisasi supra-struktur yang membawahi organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut, dan apalagi memposisikan dirinya sebagai wadah tunggal yang mewakili kemajemukan dan keragaman umat Islam. MUI, sesuai niat kelahirannya, adalah wadah silaturrahmi ulama, zu’ama dan cendekiawan Muslim dari berbagai kelompok di kalangan umat Islam.
Kemandirian Majelis Ulama Indonesia tidak berarti menghalanginya untuk menjalin hubungan dan kerjasama dengan pihak-pihak lain baik dari dalam negeri maupun luar negeri, selama dijalankan atas dasar saling menghargai posisi masing-masing serta tidak menyimpang dari visi, misi dan fungsi Majelis Ulama Indonesia. Hubungan dan kerjasama itu menunjukkan kesadaran Majelis Ulama Indonesia bahwa organisasi ini hidup dalam tatanan kehidupan bangsa yang sangat beragam, dan menjadi bagian utuh dari tatanan tersebut yang harus hidup berdampingan dan bekerjasama antarkomponen bangsa untuk kebaikan dan kemajuan bangsa.
Sikap Majelis Ulama Indonesia ini menjadi salah satu ikhtiar mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin (Rahmat bagi Seluruh Alam).
Kiai As’ad Syamsul Arifin dan Buya Hamka
Meskipun tak terlalu lengkap, ada catatan dokumen yang menceritakan ihwal pendirian MUI dan keberadaan Kiai As’ad. Kira-kira pada tahun 1975, pemerintah menggelindingkan wacana pendirian lembaga ulama.
Di Jawa Timur, info itu juga beredar dengan cepat, termasuk Kiai As’ad Syamsul Arifin yang menerima info dari Gubernur Jawa Timur, Moh. Noer. Dan ternyata, Kiai As’ad juga diminta hadir dalam rapat awal pembentukan MUI ini.
Turut hadir dalam rapat itu, Buya Hamka, Kiai Syukri Ghazali, dan ulama-ulama lain. Ketika rapat sedang berjalan cukup alot, tiba-tiba Kiai As’ad bertanya mengenai status MUI. Mukti Ali, menteri agama yang pada waktu itu memimpin rapat menjawab bahwa lembaga ini akan menjadi wadah para ulama di Indonesia.
Mendengar jawaban itu, Kiai As’ad menjawab dengan nada diplomatis, “Lalu siapa di antara kita ini yang ulama? Kalau saya jelas bukan, barangkali Buya Hamka itu yang ulama ya?”
Mendengar pernyataan Kiai As’ad itu, Buya Hamka menimpali, “Wah, kalau Kiai As’ad saja bukan ulama apalagi saya!”
Dari dialog pendek itu, tampak ketawadhu’an keduanya. Beliau dengan sangat tegas, mengaku bahwa dirinya bukan ulama. Dalam beberapa kesempatan, memang berkali-kali menolak disebut ulama.
Oleh karena itu, tidak heran setelah Muktamar NU tahun 1984, Mahbub Djunaidi dan Chalid Mawardi hendak meminta izin untuk menuliskan sejarah hidupnya, Kiai As’ad menolak. Dan beliau (Kiai As’ad) mengatakan dengan nada tegas, “Buat apa cerita hidup saya ditulis? Apanya yang mau ditiru dari orang seperti saya? Saya tidak ingin membaca cerita hidup saya sendiri? Kalau saya membaca riwayat hidup saya sendiri bisa-bisa telinga saya lebar dan saya bisa riya’, padahal riya’ itu maksiat, maksiat itu haram dan haram itu dosa.”
Begitulah perjalanan panjang berdirinya MUI. Meski awalnya penuh liku-liku, namuan fakta menunjukkan, kehadiranya sampai saat ini telah dinanti umat. Selamat Milad ke-45, semoga MUI tetap istiqomah berhidmat untuk ummat.*
Sekretaris MUI Jatim Bidang Ekonomi, dari berbagai sumber
No comments:
Post a Comment