Abu Ayyub Al-Anshary dan Kesuksesan Al-Fatih dalam Pembebasan Konstantinopel

[Ilustrasi] Pasukan Panglima Muhammad al Fatih melakukan penaklukan benteng Konstantinopel. Gambar ini direpro dari lukisan raksasa di Museum Panorama 1453 Istanbul, Turki
"Dulu, saat pertama kali hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad singgah di rumah Abi Ayyub Al-Anshary. Di kemudian hari, Abu Ayyub pergi ke daerah ini dan dikebumikian di sini."

DUA tokah besar ini memadukan cerita legendaris dalam sejarah umat Islam. Yang satu adalah sahabat mulia yang gugur dalam perjuangan membebaskan tanah yang pernah disabdakan Nabi akan ditaklukkan pasukan terbaik. Sedangkan yang satunya, adalah pahlawan besar Islam yang bisa mewujudkan cita-cita umat Islam –termasuk Abu Ayyub—setelah berabad-abad lamanya dalam membebaskan Konstantinopel.

Nama lengkap sahabat agung ini adalah Khalid bin Zaid bin Kulaib Al-Anshary. Beliau adalah sahabat yang menjamu Rasulullah saat hijrah ke Madinah, bahkan menginap di rumahnya. Ikut serta dalam perang legendaris Badar Kubro. Meninggal dunia pada tahun 50 H (ada yang mengatakan sebelum itu bahkan sesudahnya) saat dalam kondisi perang (Ash-Shan’any, Subul as-Salam, I/115).

Sahabat Anshar ini, memiliki cita-cita unik di akhir hayatnya. Dalam kitab “Rijaal Haula ar-Rasuul” (2000: 300, 301) dikisahkan bahwa suatu ketika –pada momentum pembebasan Konstatinopel (49 H/669 M)– ia menyampaikan wasiat atau pesan kepada Yazid bin Mu’awiyah, agar ketika meninggal dimakamkan di wilayah musuh.

Sebenarnya, jika ingin hidup mapan, bisa saja Abu Ayyub tetap menetap di Madinah dengan menjadi manusia yang hidup normal atau bisa juga menjadi pejabat. Namun, cita-citanya melampau semua kenyamanan duniawi itu. Beliau ingin dimakamkan di negeri musuh saat gugur syahid. Menariknya, lokasinya di Konstatinopel sebuah wilayah yang jauh-jauh hari sudah dinubuatkan Nabi akan dibebaskan oleh tentara kuat yang dipimpin oleh pemimpin hebat.

Ia mengatakan kepada Yazid, “Kalau aku meninggal, bawalah jenazahku ini jauh…jauh…ke negeri Romawi, kemudian makamkanlah aku di sana!” Kemudian, dalam peperangan itu beliau gugur syahid. Dan keinginannya untuk dimakamkan di negeri musuh, bisa terwujud karena Yazid bin Mu’awiyah benar-benar merealisasikan keinginannya.

Khalid Muhammah Khalid dalam catatan bukunya ini menukil tulisan menarik dari para sejarawan yang menggambarkan rekaman peristiwa itu, “Orang-orang Romawi menjaga makamnya, menziarahinya, dan meminta hujan melaluinya saat terjadi kemarau atau paceklik…”

Pada tahun 1453, Konstantinopel dibebaskan oleh Sultan Muhammad Al-Fatih. Seorang pemimpin muda, yang dikelilingi oleh ulama-ulama hebat. Seringkali ia diyakinkan oleh para gurunya bahwa inilah saatnya mewujudkan nubuat Nabi itu. Dan Al-Fatih sangat bersemangat untuk membebaskannya. Tentunya, tak lepas dari bimbingan ulama.

Dr. Ali Muhammad Shallaby menggambarkannya dengan sangat menarik peristiwa pembebasan Konstantinopel. Sebelum perang, para ulama berkeliling memberikan motivasi kepada para prajurit atau mujahidin yang hendak membebaskan Konstantinopel. Mereka diingatkan dngan ayat-ayat jihad, kemuliaan mati syahid.

Selain itu, mereka juga diingatkan dengan pahlawan-pahlawan yang telah gugur dalam misi pembebasan Konstantinopel. Di antara yang disebut menjadi pionir adalah Abu Ayyub Al-Anshary.

Para mujahid dibakar semangatnya dengan kata-kata demikian, “Dulu, saat pertama kali hijrah ke Madinah, Nabi Muhammad singgah di rumah Abi Ayyub Al-Anshary. Di kemudian hari, Abu Ayyub pergi ke daerah ini dan dikebumikian di sini.” Ucapan ini benar-benar membuat para mujahid berkobar semangatnya dan membangkitkan rasa antusias dalam diri mereka.

Siapa yang tak semangat, ketika diceritakan ada sahabat yang pergi jauh dari kampung halaman menuju negeri yang sangat jauh Konstantinopel untuk berjuang sampai tetes darah penghabisan meraih kesyahidan. Sedangkan para prajurit Muhammad Al-Fatih kala itu secara lokasi lebih dekat, dan selangkah lagi sudah bisa membebaskannya.

Singkat cerita, dalam proses pembebasan Konstantinopel, ulama dan guru Muhammad Al-Fatih yang bernama Aq Syamsuddin bisa menemukan makam sahabat agung ini (Abu Ayyub Al-Anshary) di dekat pagar Konstantinopel.

Dalam buku “Tarikh Ibnu Khaldun” (2012: 157) karya Syakib Arsalan juga dibahas mengenai kuburan Abu Ayyub Al-Anshary. Sejak zaman Ibnu Saad, Ibnu Qutaibah kuburan itu sudah disebutkan sampai nanti akhirnya ditemukan kembali oleh maula Aq Syamsuddin.

Muhammad Farid dalam “Tarikh ad-Daulah al-‘Aaliyah al-Utsmaaniyyah”  (1981: 161, 162) menulis bahwa pada saat momen pengepungan, ditemukanlah makam Abi Ayyub Al-Anshary.  Kemudian, pasca pembebasan Konstatinopel, dibangunkan masjid untuk Abu Ayyub Al-Anshary. Masjid itu pun juga dinamakan dengan nama beliau. Bahkan, di kemudian hari ada sebuah tradisi unik di Daulah Utsmaniyah bahwa setiap sultan ketika mengemban amanah, prosesi pengangkatannya di masjid ini.

Kisah Abu Ayyub Radhiyallahu ‘anhu dan Muhammad Al-Fatih ini memberikan pelajaran luar biasa bagi umat Islam. Ketika kita bersungguh-sungguh berjuang di jalan Allah, maka Dia akan memudahkan jalan kesuksesan itu. Meskipun, terkadang kesuksesan itu baru bisa dinikmati oleh generasi yang jauh di era berikutnya. Tapi yang pasti, dalam perjuangan, gugur syahid sudah suatu capaian yang luar biasa, sebagaimana Abu Ayyub Al-Anshari. Atau hidup mulia dalam menggapai kemenangan sebagai mana Muhammad Al-Fatih. Kalau bisa disingkat, mirip suatu ungkapan: hidup mulia atau mati syahid. Itulah gambaran dari kisah dua pahlawan ini.* Mahmud Budi Setiawan

No comments: