Ajip Rosidi dan Warisan Keteladanan
Artawijaya |
"Tak heran jika Ajip kemudian menulis biografi Mohammad Natsir, salah satu biografi terbaik tentang Natsir yang ditulis oleh seorang sastrawan yang hebat"
Meski hidup tanpa gelar, nama Ajip Rosidi di kalangan penulis-penulis besar bidang kesusastraan, sangat terkenal. Sejak usia belasan tahun, Ajip Rosidi yang tak tamat sekolah, tulisan-tulisannya dimuat di majalah-majalah terkemuka di Indonesia.
Ia membuat takjub para penulis dan sastrawan-sastrawan besar ketika itu. Bagaimana mungkin, seorang bocah masih mengenakan celana pendek, namun tulisan-tulisannya sangat baik dan diminati pembaca.
Ajip lahir pada tahun 1938. Lebih dari seratus karya buku sudah ia lahirkan. Meski tak pernah mengenyam bangku kuliah, ia justru diminta menjadi dosen luar biasa di Jepang. Selama belasan tahun, Ajip mengajar di Negeri Sakura.
Kedekatannya dengan tokoh-tokoh Islam, terutama tokoh-tokoh Masjumi, bermula dari pertemuannya dengan Endang Saefuddin Anshari (ESA), anak salah seorang tokoh besar Masjumi, KH Isa Anshari, di salah satu toko buku di kota Bandung.
Dari pertemuannya dengan Endang, Ajip kemudian sering diajak untuk kumpul-kumpul dengan para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII). Atas jasa Endang Saefuddin Anshari pula, Ajip bisa bertemu lebih dekat dengan para tokoh Partai Masjumi, seperti; Moh.Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Prawoto Mangkusasmito, dll.
Karena kedekatannya dengan Endang Saefuddin Anshari pula, banyak orang yang menduga bahwa Ajip banyak belajar Islam dan dekat dengan para tokoh dan aktivis Islam karena ‘bimbingan’ dan kedekatan dengan ESA tersebut.
Tak heran jika Ajip kemudian menulis biografi Mohammad Natsir, salah satu biografi terbaik tentang Natsir yang ditulis oleh seorang sastrawan yang hebat. Ajip juga pernah mengumpulkan tulisan-tulisan Natsir yang kemudian dibukukan lewat penerbit yang ia kelola.
Suatu ketika, Ajip yang sudah sangat dekat dengan ESA kemudian berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya di pondok pesantren. Lalu diantarlah Ajip oleh ESA ke Pesantren Persatuan Islam (Persis) Bangil, Jawa Timur. Di pesantren itu, ia bertemu dengan Ustadz Abdul Qadir Hassan, putra Tuan A.Hassan, yang mengelola pesantren tersebut.
ESA sudah sangat kenal dengan Ustadz Qadir, karena ayahnya, KH. Isa Anshari, adalah sahabat karib ustadz tersebut. Ajip sendiri mengenal Tuan Hassan, lewat buku-buku karyanya yang ia baca.
“Aku sendiri banyak membaca buku-buku A.Hassan yang sangat keras dalam menghadapi pihak-pihak yang dianggap keluar dari Al-Qur’an dan hadits,” kenang Ajip.
Dari Bangil, Ajip dan ESA lalu pergi ke Pesantren Darussalam Gontor, dalam rangka mencari pesantren yang pas untuk anaknya. Di PP Gontor, ia disambut oleh Kiai Zarkasyi dan Kiai Sahal, yang juga sudah kenal baik dengan ESA.
Takdir Allah berkata lain, setelah dari Bangil dan Gontor, Ajip akhirnya memasukkan anaknya di Pesantren Pabelan, Jawa Tengah. Bahkan di usia senjanya saat ini, ia juga tinggal dan menghabiskan waktu di Pebelan.
Selain dengan ESA, Ajip juga dikenal dekat dengan sastrawan dan budayawan Taufiq Ismail. Ketika sastrawan dan dramawan WS Rendra bersyahadat memeluk Islam, yang membimbingnya mengucapkan dua kalimat syahadat itu adalah KH. Abdul Gaffar Ismail, ayah dari Taufiq Ismail. Dalam surat keterangan saksi masuk Islamnya Rendra, tertera tandatangan Ajip dan Taufiq.
Buku “Hidup Tanpa Ijazah” adalah otobiografi yang sangat inspiratif. Dari Ajip kita belajar, bahwa dengan ketekunan, rajin membaca dan belajar, Anda yang tak memiliki gelar, bisa menjadi orang besar. Ini bukan berarti gelar akademik itu tidak penting, tetapi yang lebih penting dari gelar yang melekat itu adalah kontribusinya bagi masyarakat luas, sehingga gelar yang didapat bisa melahirkan manfaat.
Rabu, 29 Juli 2020, Ajip Rosidi meninggal dunia. Ia mewariskan berbagai keteladanan, di antaranya bahwa meski tanpa ijazah, hidup harus terus terasah; dengan kerja keras dan semangat untuk terus belajar. Inna lillahi wa Inna ilaihi raaji’un. Allahummaghfirlahu warhamhu wa ‘afihi wa’fu Anhu. Aamiin.*
Wartawan dan penulis buku-buku sejarah
No comments:
Post a Comment