Bukan Besar Kecilnya Kurban, yang Diterima Allah Ta'ala Adalah Ketulusan



Miftah H. Yusufpati

SECARA etimologi, kurban berarti mendekat/pendekatan. Sedangkan menurut istilah adalah usaha pendekatan diri seorang hamba kepada penciptanya dengan jalan menyembelih binatang yang halal dan dilaksanakan sesuai dengan tuntunan, dalam rangka mencari ridla-Nya. 

Salah satu ajaran Islam yang penuh dengan kesakralan (suci) dan juga syarat dengan muatan kemanusiaan adalah ibadah kurban.

Dalam konteks ini, ibadah kurban adalah kesempatan bagi si miskin untuk merasakan kenikmatan dari si kaya. Mengalirnya darah-darah suci dari hewan kurban akan menghanyutkan noktah-noktah hitam di hati manusia, memercikkan aroma harum jalinan kasih antara sesama sembari menyemaikan rona ceria di wajah masing-masing.

Dari sinilah, Prof Dr M. Quraish Shihab menyatakan ibadah kurban merupakan ibadah yang sempurna sepanjang hayat manusia. Pasalnya, ibadah kurban merupakan ajaran tertua sepanjang sejarah kehidupan manusia yang terus berlangsung hingga saat ini.

Makna Kurban
Menurut Quraish Shihab, kurban dalam bahasa Indonesia ada dua makna: seseorang yang disakiti, bisa jadi hatinya atau badannya. Kurban juga berarti ketulusan, persembahan. 

Persembahan kepada siapapun, apalagi kepada Allah, tidak bisa kalau tidak disertai dengan ketulusan. Orang yang dikorbankan mestinya menimbulkan rasa sedih di hati kita, tapi kesedihan itu baru muncul kalau hati kita lembut, kalau hati keras, tidak ada rasa peduli. Dengan demikian, dalam bahasa Indonesia diartikan dengan ketulusan, pengabdian, atau yang disakiti, yang dikorbankan.

Dalam bahasa Al Quran, Quraish Shihab menjelaskan, pengertian kurban bukan dalam arti yang disakiti, tapi kurban lebih banyak diartikan sebagai persembahan. 



Qurb itu artinya dekat, sesuatu yang berharga kita persembahkan dalam rangka mendekatkan diri pada Allah, itulah kurban. 

Dalam Idul Adha, memang ada kata yang juga diartikan kurban terambil dalam kata adha ini. "Karena itu tadi, seorang atau sesuatu yang terlukai itu mestinya menimbulkan rasa iba kepadanya dan pada akhirnya anda akan merasakan sakit sebagaimana sakitnya yang dikurbankan," tuturnya.

Dalam Al Quran, diceritakan bahwa dua anak Adam, Qabil dan Habil mempersembahkan hasil usahanya, kepada Tuhan. Yang satu diterima, yang satu tidak. Dijelaskan bahwa yang diterima Allah adalah kurban yang baik, yaitu kurban yang diberikan Habil. Tapi dari persembahan yang diberikan Habil, Allah tidak menerima daging korban, tidak juga menerima darahnya. Yang diterima Allah dari kurban yang diberikan manusia adalah ketulusan hati dan ketakwaan yang memberikan.

Menurut Quraish, berkaitan dengan hati, Rasul menunjuk bahwa takwa itu adanya di hati. Karena itu, disyariatkannya Idul Adha dengan mengurbankan, dengan menyembelih binatang tertentu itu sebenarnya adalah kurban untuk mendekatkan diri pada Allah SWT, dan yang diterimaNya itu bukan daging atau darah kurbannya tapi ketulusan hati yang memberikan. 

"Karena itu bisa jadi satu orang mempersembahkan satu kambing, yang lain kerbau yang besar, tapi yang diterima kurbannya adalah yang memberikan kambing, karena Tuhan tidak lihat besar atau kecil kurbannya, tapi ketulusan hati masing-masing hambaNya dalam berkurban," jelasnya.

Rabul Alamin
Di sisi lain, Quraish Shihab menjelaskan dikaitkan dengan Hari Raya Haji, kita dalam Islam merujuk lebih banyak pada Nabi Ibrahim daripada pada Nabi Adam. 

Agama-agama samawi (langit), Yahudi, Nasrani, Islam, ajarannya lebih banyak dikaitkan pada Nabi Ibrahim. Dalam Islam, ibadah kurban dan haji lebih banyak dikaitkan pada Nabi Ibrahim. Mengapa? Menurut Quraish, karena Nabi Ibrahim punya keistimewaan luar biasa yang tidak dimiliki oleh yang lain.

Nabi Ibrahim itu adalah nabi yang mengumandangkan pada umatnya bahwa Tuhan yang disembah itu adalah Rabul alamin, Tuhan sekalian alam, berbeda dari nabi lainnya yang memperkenalkan Tuhan pada umatnya sebagai “Tuhan Kami”.

Nabi Ibrahim juga dijelaskan dalam Al Quran, bahwa beliau sering berkata “Ah..” yang maksudnya, Nabi Ibrahim memiliki hati yang sangat halus, sangat lembut, sampai-sampai menurut sementara ulama, ada yang berkata, nama Ibrahim itu terambil dalam kata abun rahim, ayah yang sangat pengasih.

Nabi Ibrahim juga sangat mengasihi sesama manusia. Kalau ada tamu berkunjung, selalu disambut dengan luar biasa. Dengan sembunyi-sembunyi, Nabi Ibrahim memberi tahu keluarganya untuk membuatkan makanan dan minuman untuk tamu yang sedang berkunjung. Kenapa sembunyi-sembunyi? Karena ia khawatir, kalau tamunya tahu akan merasa sungkan dan menolak jamuan. Kalau sang tamu pamit pulang, Nabi Ibrahim tidak mengantarnya sampai ke pintu keluar, tapi diantar sampai jauh ke luar rumah, begitu hormatnya dia pada tamu. 

Karena hormatnya Nabi Ibrahim pada sesama itu, Allah memerintahkan larangan pada kebiasaan manusia untuk mengurbankan manusia lain melalui Ibrahim. 

Pada zaman dulu, ada sebagian orang yang mengurbankan manusia sebagai persembahan pada ‘tuhan’ mereka atau dewa-dewa mereka. Ada yang mengurbankan nyawa gadis cantik setiap tahun, ada juga mengurbankan tokoh agamanya yang paling hebat, dan ada yang mengorbankan bayi, dan Allah melarang hal-hal itu. 

Pada Nabi Ibrahim, Allah berkata, “Ibrahim, sembelih anakmu!” Lalu, meskipun berat hati, mendapatkan perintah dari Tuhan untuk menyembelih anak yang sangat disayanginya, akhirnya patuhlah Ibrahim. 

Ia percaya bahwa Tuhan mengetahui yang baik dan pasti memiliki maksud yang baik padanya. 

Setelah Nabi Ibrahim menunjukkan kepatuhannya pada perintah Tuhan, Allah kemudian melarangnya, dan membuat Ibrahim menyembelih hewan ternak, hingga anak Ibrahim tetap selamat. 

Menurut Quraish Shihab, dari kejadian itu, Allah ingin menunjukkan pada manusia bahwa pengurbanan manusia itu adalah hal yang terlarang. Untuk itu semua, kita lantas beridul Adha mengikuti nabi Ibrahim, untuk menauladani Nabi Ibrahim yang memiliki keimanan yang luar biasa pada Tuhan. Karena itu turunlah perintah berkurban dengan menyembelih binatang kurban, seperti kambing, domba, sapi, unta. Tapi syaratnya, kurban yang diberikan harus yang sempurna, dan dengan hati yang sungguh-sungguh untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Mengapa Allah Memerintahkan Ibrahim Menyembelih Ismail?
Quraish Shihab menjelaskan Allah menyuruh Nabi Ibrahim menyembelih Nabi Ismail dan tidak langsung menyuruhnya menyembelih domba karena,

Pertama, Allah Maha Mengetahui, tapi Allah ingin menunjukan pada manusia betapa hebatnya keimanan seorang manusia bernama Ibrahim ini, dengan diujinya Ibrahim dengan ujian yang luar biasa beratnya. 

"Anda bisa bayangkan, anak ditunggu sekian lama, dari istrinya yang telah bertahun-tahun mandul, akhirnya diberikan anak. Ketika anaknya lahir, dan sudah besar, harapan Ibrahim tentu untuk menjadikan anaknya sebagai penerusnya, namun tiba-tiba mendapat perintah untuk disembelih dengan tangannya sendiri, itu adalah puncak dari pengurbanan seorang manusia," jelas Quraish Shihab. 

"Hal ini untuk menunjukkan bahwa tokoh ini memiliki sifat-sifat yang luar biasa," tambahnya.

Kedua, ada orang-orang yang berpendapat, bahwa menyembelih anak sebagai persembahan pada tuhan adalah hal yang terlalu mahal, terlalu berharga. Mereka berpendapat, jangan anaklah, yang lebih murah saja dari anak. 

Menurut Quraish, Allah bermaksud memerintahkan menyembelih Ismail anak Ibrahim untuk membantah mereka yang berkata tadi, bahwa anak yang paling anda cintaipun kalau Allah yang perintahkan anda harus laksanakan. 

Setelah Ibrahim AS membuktikan kepatuhannya pada Allah, Allah membatalkannya dan menggantinya dengan kambing. Hal ini memiliki maksud untuk menunjukkan pada seluruh umat manusia, bahwa manusia tidak boleh menjadi kurban persembahan atau dikurbankan.

Jadi dari perintah ini ada dua sisi, pertama, apapun kalau Allah yang perintahkan, apapun itu walaupun anda sangat cintai, kita harus kurbankan. Tapi kedua, Allah juga ingin mengatakan bahwa jangan jadikan manusia sebagai kurban.

"Jadi sebenarnya dalam ajaran berkurban itu berkurbanlah untuk Allah SWT dan berkurbanlah sesempurna mungkin. Ada juga yang berkata, dari berkurban dengan menyembelih binatang kurban ini memiliki makna kurbankanlah sifat-sifat atau naluri kebinatangan yang ada di dalam diri anda," jelasnya.

Hakikat Berkurban
Agama Islam ini sangat realistis, dalam perintah berkurban, yaitu menyembelih hewan kurban, kita tidak diperintahkan untuk mempersembahkan semua bagian dari binatang yang disembelih, tapi kita juga boleh berpikir tentang diri kita.

Dari hewan yang kita kurbankan, diperintahkan bahwa 1/3 bagiannya menjadi bagian untuk kita dan keluarga, dan 2/3 dibagi lagi: 1/3 untuk orang yang membutuhkan, yaitu orang-orang dhuafa, dan 1/3 lagi untuk orang yang tidak butuh dan sebenarnya mampu, boleh jadi saudara atau teman, dalam rangka menjalin hubungan yang lebih harmonis. Nilai-nilai itulah yang terdapat dalam ibadah kurban.

Ketika kita bicara idul Adha dan Nabi Ibrahim, kita bisa berkata bahwa inti yang dikehendaki dari Hari Raya Qurban ini, yang pertama adalah mendidik kita untuk bersedia berkurban. Kita bisa bertanya sekarang, perlukah manusia berkurban? Kenapa kita harus berkurban? Yang pertama, kita manusia adalah satu kesatuan, karena kita tercipta dari unsur yang sama, berasal dari kakek yang sama, dari Adam. 

Jadi karena manusia itu satu kesatuan, dia harus berjalan seiring untuk mencapai cita-cita kemanusiaan. Karena itu Al Quran mengingatkan, siapa yang merusak satu orang, atau melakukan pengerusakan di muka bumi ini, maka dia bagaikan merusak semua orang, karena manusia adalah satu kesatuan, kita semua bersaudara, dari keturunan yang sama, dan pada saudara, harus kita membantu sebelum dia minta, dan harus ikut merasakan apa yang dia rasakan.

Kedua, kenapa kita harus berkurban? Secara individu orang per orang memiliki kebutuhan. Misalnya, saya tidak bisa memenuhi semua kebutuhan saya tanpa anda bantu, begitu juga sebaliknya. Kita ini makhluk sosial, tapi semua individu punya ego. 

Contohnya seperti dalam berlalu lintas, kita semua memiliki keinginan yang sama, yaitu ingin cepat sampai ke tujuan, atau misalnya rumah. Tapi kalau satu sama lain tidak ada yang mau mengalah, bisa terjadi kecelakaan, tabrakan. Misalnya, di persimpangan jalan, kalau semua orang mendahulukan kepentingannya masing-masing, ingin cepat sampai sendiri, dan tidak ada yang mau berhenti dengan mengikuti rambu dari lampu lalu lintas, justru hal itu dapat menghambat dan bisa jadi mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Karena itu, masing-masing orang harus mengorbankan sedikit waktunya untuk bersabar, menunggu gilirannya untuk jalan, dan tidak mendahulukan kepentingannya sendiri. 
Jadi masing-masing individu mau berkurban sedikit atau banyak, bukan untuk orang lain, tapi juga untuk dirinya sendiri. Semakin banyak kita berkurban, semakin lancar lalu lintas. Begitu juga dengan lalu lintas kehidupan, dan korban itulah menyisihkan sebagian dari kepentingan ego diri sendiri, untuk orang lain, itulah yang akan melahirkan akhlak. 

Jadi kepentingan kita sendirilah sebenarnya yang mengundang kita untuk berkurban. Kurban itu yang dinilai Tuhan adalah ketulusan, semakin banyak berkurban dengan ketulusan, semakin tinggi akhlak, semakin sedikit berkurban, semakin sedikit akhlak. Kalau pengurbanan itu sudah tidak ada, akhlak tidak ada, kalau akhlak tidak ada, runtuhlah masyarakat. "Itu substansinya dari Hari Raya Qurban, kita diminta berkurban demi orang lain, demi masyarakat, yang kebaikannya juga akan kembali kepada kita," demikian Prof Dr M. Quraish Shihab

===
(mhy)

No comments: