Dekrit Presiden 5 Juli, Kekalahan Islam?
Lalu kenapa pihak Islam tidak segera menerima Pancasila di Konstituante?
Ahmad Khoirul Fata
SEJARAH politik Islam di Indonesia selama ini diwarnai dengan rentetan kegagalan demi kegagalan. Gambaran seperti ini terlihat dalam berbagai kesimpulan penelitian tentang politik Islam di Indonesia. Bahtiar Effendy (2009) menyebutkan dua kekalahan yang dialami umat Islam dalam perjuangan legal formal menjadikan Islam sebagai dasar negara. Pertama, saat pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta di PPKI sehari setelah proklamasi kemerdekaan. Pencoretan tujuh kata itu juga dibarengi dengan penghapusan unsur-unsur formalitas Islam dalam konstitusi Indonesia merdeka, seperti tentang Islam sebagai agama resmi negara dan aturan tentang kepala negara harus beragama Islam.
Menurut Artawijaya (2014), kelompok Islam kemudian bersatu mendirikan Partai Masyumi untuk melanjutkan perjuangan mengembalikan tujuh kata tersebut. Namun upaya ini kembali mengalami kegagalan ketika Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi Negara Republik Indonesia itu dinilai telah ‘mengkudeta’ Konstituante dan menggagalkan upaya kelompok Islam untuk mengembalikan tujuh kata Piagam Jakarta. Peristiwa inilah yang disebut sebagai kegagalan kedua perjuangan politik Islam di Indonesia.
Ada beberapa momen lain yang juga disebut-sebut sebagai bukti kekalahan kelompok Islam. Deliar Noer (2000) menyebutkan beberapa hal itu: Dari 136 anggota KNIP, hanya 15 orang yang dianggap sebagai mewakili golongan Islam. Dan dari 15 anggota Badan Pekerja KNIP, hanya 2 orang yang mewakili Islam, yaitu A Wahid Hasyim dan Syafruddin Prawiranegara. Ketika keanggotaan BP KNIP bertambah menjadi 17 orang, pihak Islam hanya diwakili empat orang dengan kehadiran M Natsir dan M Zen Djambek. Sementara di pemerintahan, hanya ada dua wakil Islam yang masuk kabinet, yaitu Abikusno Tjokrosujoso sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan A Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama.
Gagal, Benarkah?
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Sukarno memang mengembalikan Pancasila sebagai dasar negara, dan menghentikan perjuangan pihak Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta. Namun hal itu bukan berarti menjadi sebuah kegagalan politik bagi kelompok Islam.
Dalam tulisannya di majalah Hikmah, No 43-44 (26 Oktober 1955), Zainal Abidin Ahmad menulis bahwa Masyumi menetapkan tujuan maksimal dan tujuan minimal dalam perjuangan di Konstituante. Tujuan maksimalnya adalah pencantuman secara legal-formal Islam sebagai ideologi negara. Dengan demikian negara Indonesia akan menjadi “negara Islam dalam arti yang sesungguhnya,” yaitu negara yang menempatkan Islam sebagai dasar negara, dan penyelenggaraan negara berdasar pada hukum-hukum Islam. Namun, jika tujuan maksimal itu tidak tercapai, Zainal Abidin menegaskan, Masyumi menetapkan untuk “menerima Pancasila sebagai ideologi negara, dengan memasukkan dan mengisinya dengan jaminan cita-cita dan kehendak umat Islam.”
Tokoh-tokoh Masyumi sendiri sesungguhnya sejak awal bisa menerima Pancasila. Pidato Natsir di Pakistan pada tahun 1952 mengonfirmasinya. Sikap serupa juga ditunjukkan Buya Hamka yang menyambut baik Pancasila dan menyebut sila pertama sebagai inti dari empat sila lainnya. Rekan Natsir di Masyumi itu sila pertama itu sebagai “urat tunggang Pancasila”. Menurut Yusril Ihza Mahendra (1999), Masyumi sejak semula memandang Pancasila telah “mencerminkan kehendak Islam”. Bahkan UUD 1950 yang berlaku saat itu dianggap telah “melampaui garis tengah negara yang dikehendaki Islam.” Padahal rumusan dasar negara yang ada di UUD 1950 tidak jauh berbeda dengan rumusan sila-sila dalam Pancasila. Sikap seperti ini juga diungkapkan tokoh-tokoh NU seperti yang dinyatakan Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat Dari Pesantren.
Lalu kenapa pihak Islam tidak segera menerima Pancasila di Konstituante? Selain ingin mendapatkan hal yang lebih sebagaimana dinyatakan Zainal Abidin di atas, sikap kelompok Islam juga dilatari oleh kenyataan bahwa di kalangan pendukung Pancasila pun belum ada kesepakatan akan makna sila-sila Pancasila, khususnya sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Keragaman latar belakang pengusung Pancasila di Konstituante menyebabkan keragaman pula dalam menafsirkan Pancasila.
Mahendra mencatat, sila pertama Pancasila dipahami secara panteistik oleh Wongsonegoro, juru bicara Partai Indonesia Raya dengan latar belakang Kejawen. Sudjatmoko dari Partai Sosialis memahaminya secara teosofis. Di kalangan PNI sendiri ada banyak tafsir tentang sila pertama, dari yang sekuleristik, mistis, hingga kristianistik. Sementara PKI yang mengaku mendukung Pancasila menafsirkan sila pertama sebagai “kebebasan untuk beragama dan tidak beragama,” bahkan “kebebasan untuk melakukan propaganda anti agama.”
Keraguan pihak Islam semakin kuat tatkala Sukarno sendiri tampak tidak mementingkan sila pertama. Dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di sidang BPUPK Sukarno hanya menempatkan sila ketuhanan di urutan terakhir. Pandangan “sebelah mata” ini kembali dikemukakan Sukarno saat memberi kuliah umum di Makassar tangal 5-6 Mei 1954, dan ketika bertemu Gerakan Pembela Pancasila tanggal 17 Juni 1954. Ketuhanan dalam versi Sukarno tidak memiliki ikatan organik dengan doktrin sentral agama apapun. Sukarno hanya melihat Ketuhanan sebagai fakta sosiologis rakyat Indonesia. Dari sekian banyak juru bicara pendukung Pancasila, hanya M Hatta dan Arnold Mononutu yang sikapnya dekat dengan aspirasi kelompok Islam, di mana keduanya menempatkan sila pertama sebagai sumber etis bagi sila-sila lainnya.
Kenyataan ini membuat pihak Islam memainkan stretegi “tidak lantas menerima Pancasila” sebagai dasar negara. Dengan strategi ini sesungguhnya pihak Islam ingin diyakinkan bahwa sila pertama memang bermakna tauhid, dan menjadi sumber etik bagi sila-sila yang lainnya. Paling tidak, pihak tidak ingin sila pertama bermakna mistis, panteistis, sosiologis, apalagi sekuleristik.
Dalam konteks seperti inilah kita bisa melihat bahwa Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang dikeluarkan Sukarno sesungguhnya bukan sebentuk kekalahan dan kegagalan politik Islam. Sebaliknya, Dekrit tersebut justru menunjukkan “keberhasilan” kelompok Islam, meski bukan keberhasilan yang “maksimal.” Adanya konsideran bahwa “Piagam Jakarta menjiwai Pancasila dan menjadi bagian tak terpisahkan dari Pancasila” dalam Dekrit tersebut menjadi dalil kuat untuk menegaskan keberhasilan itu.
Dengan konsideran tersebut, maka tafsir sila pertama telah dikunci oleh Piagam Jakarta, dan tidak bisa ditarik ke tafsir mistis, panteistik, atau sekuleristik. Secara tegas konsideran tersebut menyatakan bahwa “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah tauhid. Dengan demikian, pihak Islam telah berhasil mencegah Indonesia menjadi negara sekuler.
Penegasan bahwa Piagam Jakarta menjiwai Pancasila juga secara langsung menyatakan bahwa syariat Islam merupakan ruh dari dasar negara dan konstitusi Indonesia. Dengan adanya konsideran ini maka segala macam perundang-undangan di Indonesia tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini sesungguhnya telah ditegaskan oleh Perdana Menteri Juanda dalam Surat No 9761/59 tanggal 25 Maret 1959 sebagai jawaban tertulis atas pertanyaan anggota DPR Ahmad Sjaichu. Dalam surat itu Juanda menulis: “Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pembukaan UUD 1945, dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk melaksanakan syariat Islam,’ sehingga dengan dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam yang disesuaikan dengan syariat Islam.”
Dengan demikian, alih-alih mengandaskan perjuangan politik Islam, Dekrit 5 Juli itu justru menjadi tanda kesuksesan politik Islam saat itu. Paling tidak, tokoh-tokoh Islam saat itu telah berhasil mencegah Indonesia menjadi negara sekuler. Tentu saja keberhasilan ini tidak lepas dari kegigihan mereka berjuang meski dalam posisi terjepit, sehingga “memaksa” pemerintah untuk mengakomodasi aspirasi politik mereka.
Saifuddin Zuhri menceritakan, beberapa hari sebelum Sukarno mengeluarkan dekrit, dua petinggi militer AH Nasution dan Letkol CPM R Rush menemui dirinya dan Idham Chalid. Nasution meminta masukan dari NU tentang materi dekrit yang akan dikeluarkan presiden, yang dijawab dengan tegas oleh Idham Chalid: “Isinya terserah pemerintah tetapi hendaknya memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante.” Sikap Idham Chalid ini dikongretkan oleh Saifuddin Zuhri: “Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai yang menjiwai UUD 1945!”. Allahu a’lam*
*Dosen IAIN Sultan Amai Gorontalo/Kandidat Doktor Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Daftar Bacaan
Artawijaya, Belajar Dari Partai Masjumi (Jakarta: al-Kautsar, 2014).
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara (Jakarta: Paramadina, 2009)
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional (Bandung: Mizan, 2000)
Hamka, Urat Tunggang Pantjasila (Jakarta: Pustaka Keluarga, 1952)
Lukman Hakim, Perjalanan Mencari Keadilan & Persatuan: Biografi Dr Anwar Harjono (Jakarta: Media Dakwah, 1993)
Saifuddin Zuhri, Berangkat Dari Pesantren (Yogya: LkiS, 2013)
Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme Dalam Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1999)
No comments:
Post a Comment