Hagia Sophia Pintu Masuk Dakwah Islam ke Daratan Eropa
Miftah H. Yusufpati
SEBELUM ditaklukkan, Konstantinopel menjadi hambatan besar bagi tersebarnya Islam di Benua Eropa. Namun setelah penaklukan, ia seperti membuka jalan yang lebar bagi dakwah Islam untuk menyebar ke Benua Eropa dengan kekuatan dan kedamaian, lebih dari masa-masa sebelumnya.
Prof Ali Muhammad Ash-Shalabi dalam Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah menyebut penaklukkan Konstantinopel dianggap sebagai peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia, dan secara khusus di mata sejarah Eropa dalam hubungannya dengan Islam.
Para sejarawan Eropa dan mereka yang sepaham, menganggap penaklukkan Konstantinopel sebagai akhir dari abad pertengahan dan sebagai titik awal menuju abad modern.
Setelah itu, Sultan Muhammad Al-Fatih melakukan penertiban berbagai masalah di Konstantinopel, lalu melakukan pembentengan kembali dan sekaligus menjadikannya sebagai ibukota Khilafah Ustmaniyah.
Dia menyebut kota itu dengan Islambul yang berarti kota Islam. Namun dalam perjalanan waktu, ia lebih dikenal sebagai Istambul.
Dakwah Islam
Penaklukan Konstantinopel tak hanya sekadar menjadikan kota ini takluk di bawah kekuasaan Utsmaniyah saja, melainkan sebagai titik tolak dakwah Islam ke seluruh Eropa, khususnya semenanjung Balkan.
“Dia (Muhammad Al-Fatih) sangat bersemangat dalam menyebarkan Islam ke segala penjuru dunia,” ungkap Muhammad Said Mursi dalam Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa tujuan utama penaklukan Muhammad Al-Fatih adalah mendakwahkan Islam kepada wilayah-wilayah yang telah berhasil ditaklukkan.
Mursi menyatakan misi dakwah yang dilakukan Muhammad Al-Fatih tergambar saat jatuhnya Konstantinopel, ia langsung mengubah gereja megah Hagia Sophia untuk dialihfungsikan menjadi masjid dan mengganti nama kota menjadi Islambul yang berarti kota Islam.
Tujuan utama pembebasan Konstantinopel adalah untuk menyeru manusia kepada Islam, tentu Muhammad Al-Fatih selalu berpegang teguh terhadap etika atau adab yang ditentukan oleh syariat Islam dalam memperlakukan wilayah yang telah dibebaskan.
Ash-Shalabi menceritakan bahwa Sultan Muhammad Al-Fatih memperlakukan penduduk Konstantinopel dengan cara yang ramah dan penuh rahmat. Sultan memerintahkan tentaranya untuk berlaku baik dan toleran pada para tawanan perang. “Bahkan dia telah menebus sejumlah tawanan dengan mempergunakan hartanya sendiri. Khususnya para pangeran yang berasal dari Yunani dan para pemuka agama Kristen,” tulisnya.
Keberhasilan dalam penaklukan Konstantinopel merupakan pembuka bagi perkembangan Islam di Eropa, menurut Ash Shalabi, bahwa sebelum ditaklukkan, Konstantinopel telah menjadi hambatan besar bagi tersebarnya Islam di benua Eropa.
Ahmad Al-Usairy dalam Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX juga berpendapat penaklukan yang dilakukan Al-Fatih berarti jalan pembuka bagi Islam untuk masuk ke benua Eropa dengan kekuatan dan kedamaian lebih dari masa-masa sebelumnya.
Menurutnya, pascapembebasan Konstantinopel agama Islam lebih tersebar luas di benua Eropa dengan kekuatan (jihad) dan kedamaian (dakwah) khususnya wilayah semenanjung Balkan, Eropa Timur dan Eropa Tengah.
Karena pembebasan Konstantinopel sebagai titik tolak untuk menyebarkan agama Islam ke seluruh Eropa, sudah tentu pembebasan Konstantinopel yang dilakukan oleh Muhammad Al-Fatih tersebut bukanlah akhir dari pembebasan yang dilakukannya, melainkan sebagai batu loncatan untuk membebaskan wilayah-wilayah lain di benua Eropa bagian Timur tersebut.
Menurut H.J. Van Den Berg dalam Sejarah Dunia, Jilid II; Sejarah Negeri-negeri Sekitar Laut Tengah dan Sejarah Eropah Sampai Tahun 1500, penaklukan Byzantium bukanlah akhir gerakan sultan Turki itu, melainkan permulaan dari pada rangkaian penaklukan, yang dilakukannya di seluruh Balkan.
Boleh dikatakan, menurutnya, seluruh Jazirah Balkan dapat ditaklukkan oleh Sultan yang masih muda itu. Bosnia, Walachia, Moldavia, Albania dimasukkan ke dalam wilayah Utsmani.
Ajid Thohir dalam Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam juga mencatat setelah keberhasilannya menaklukkan Konstantinopel Muhammad Al-Fatih melanjutkan serangkaian penaklukan untuk membebaskan seluruh jazirah Balkan yang meliputi semenanjung Maura, Serbia, Albania hingga ke perbatasan Bundukia.
Philip K. Hitti dalam History of The Arabs menambahkan penaklukan Konstantinopel secara formal mengantar negara ini pada satu era baru. Muhammad Al-Fatih telah mengantarkan kesultanan Utsmani mencapai puncak kejayaannya dan tersebarnya Islam ke berbagai bumi Eropa.
Pengaruh di Eropa
Maka wajar jika kaum Nasrani Barat sangat terpengaruh dengan kabar ditaklukannya Konstantinopel. Mereka dilanda rasa takut luar biasa, rasa duka yang dalam, serta gundah-gulana berkepanjangan. Hidup mereka dibayangi ketakutan jika sewaktu-waktu pasukan Islam akan menyerbu mereka dari arah Istambul.
Ash-Shalabi menyatakan para penyair dan sastrawan-sastrawan Barat berusaha sekuat mungkin meniupkan api kebencian dan semburan amarah ke dalam dada setiap warga Nasrani Eropa kepada Islam dan kaum muslimin.
Para pangeran dan raja-raja mengadakan pertemuan panjang dan terus-menerus. Mereka menyeru orang-orang Nasrani untuk melupakan perselisihan dan sengketa di antara mereka sendiri. Menurut Ash-Shalabi, kalau mau dikatakan, mungkin mereka akan berkata "Lupakan segala perbedaan. Mari bersatu menghadapi Turki Utsmani!”
Paus Nicholas V adalah orang yang paling terpukul dengan kabar jatuhnya Konstantinopel. Dia mengeluarkan semua tenaga, energi, waktu, dan semangat untuk menyatukan semua negara di Italia, serta mengobarkan semangat berperang melawan kaum muslimin.
Dia sendiri lalu memimpin sebuah konferensi di Roma. Dalam konfrensi tersebut diumumkan tekad negara-negara Eropa untuk membangun aliansi, saling bahu-membahu di antara mereka, serta mengerahkan semua kekuatan melawan musuh bersama.
Hampir saja aliansi negara-negara ini rampung, kalau saja Paus Nicholas V tidak meninggal akibat benturan keras, saat dia mendengar kabar jatuhnya Konstantinopel ke tangan orang-orang Utsmani. Kejatuhan kota itu telah menimbulkan kesedihan mendalam. Dia meninggal seketika dengan memendam duka-lara sangat dalam pada tanggal 25 Maret tahun 1455 M.
Ash-Shalabi juga menyebut Pangeran Philip dari Burgondia juga sangat bersemangat menyerukan raja-raja Nasrani untuk berperang melawan kaum muslimin. Apa yang dia lakukan diikuti para pangeran dan para jagoan penunggang kuda, serta pengikut fanatik agama Nasrani. Pemikiran untuk memerangi kaum muslimin ini menjelma menjadi “akidah suci” yang mendorong mereka menyerang negeri-negeri kaum muslimin. Tentu kita masih ingat slogan penjajahan Eropa, “Gold, Gospel, Glory” (emas, gereja, kejayaan).
Paus di Roma sendiri memimpin perang orang-orang Nasrani melawan kaum muslimin. Sedangkan Sultan Muhammad Al-Fatih selalu siaga dengan semua gerakan yang dilakukan pihak-pihak Nasrani. Dia merencanakan secara jeli dan merealisasikan strategi-strategi yang dianggap cocok untuk memperkuat pemerintahan dan negaranya, serta menghancurkan kekuatan musuh-musuhnya.
Sedangkan negara-negara yang bertetangga dengan Sultan Muhammad Al-Fatih seperti Amasia, Murah dan Trabzon, mereka terpaksa memendam perasaan yang tersimpan di dasar hati mereka sendiri. Secara zahir mereka menampakkan rasa kegembiraan dan mengutus utusan kepada Sultan di Adrianapole untuk memberi ucapan selamat atas kemenangan yang gilang gemilang itu.
Paus Pius ll dengan kemampuan khutbah berusaha sekuat tenaga membangun rasa kebencian memuncak di dalam dada orang orang Nasrani, baik masyarakat umum, kalangan raja-raja, atau para tentara. Sebagian dari negeri itu telah siap siaga untuk merealisasikan ambisi Paus Pius II untuk melumat pemerintahan Utsmani. Namun saat waktunya tiba, negara-negara Eropa urung berangkat karena mereka menghadapi banyak masalah di negeri mereka sendiri.
Perang 100 tahun yang berlangsung di Eropa telah memporak-porandakan lnggris dan Prancis; sedangkan Spanyol sedang disibukkan dengan pengusiran orang-orang muslim yang berada di Andalusia. ltalia berkonsentrasi menjalin hubungan dengan pemerintahan Utsmani, walaupun secara terpaksa, karena semata cinta harta.
Kampanye Salibisme ini berakhir dengan meninggalnya Paus Pius. Akhirnya Hungaria dan Venezia harus menghadapi pasukan Utsmani sendirian. Adapun Venezia segera mengadakan perjanjian damai secara jujur dengan pemerintahan Utsmani demi menjaga kepentingan-kepentingannya.
Hungaria akhirnya kalah sehingga tentara Utsmani berhasil menjadikan Serbia, Yunani, Valachi, dan Krym, serta pulau-pulau utama di Arkhabil sebagai bagian dari wilayahnya. Semua itu berlangsung dalam waktu sangat singkat. Sultan Muhammad Al-Fatih mampu menaklukkan mereka dan memporakporandakan kesatuan mereka dan mengambil negeri itu.
Paus Pius II dengan segala kecakapan yang dimiliki ingin meraih ambisi besar: Pertama, berusaha meyakinkan orang-orang Nasrani agar tetap memeluk agama Nasrani, sementara dia sendiri tidak mengirim para pendakwah Nasrani Untuk tujuan ini.
Dia hanya menulis surat kepada Sultan Muhammad Al-Fatih dan memintanya untuk mendukung agama Nasrani sebagaimana dukungan yang dilakukan oleh Constantine dan Colovies. Dalam surat itu dia menjanjikan bahwa dia akan mengampuni semua dosa-dosanya jika dia memeluk agama Nasrani dengan tulus ikhlas.
Menurut Ash-Shalabi, dia juga menjanjikan akan memberkatinya dan melindunginya, serta akan memberikan jaminan bagi dirinya untuk masuk surga. Tentu saja ajakan in ditolak oleh Sultan.
Sultan telah mengubah gereja Hagia Sophia menjadi masjid, selanjutnya menjadi pijakan untuk seterusnya terus mendakwahkan Islam ke seluruh Eropa.
(mhy)
No comments:
Post a Comment